Di suatu pagi yang cerah di mana saya baru beranjak dari tempat tidur untuk menjalani rutinitas harian sebagai seorang penulis lepas, terdengar sebuah nyanyian kartun bus kecil ramah menggaung di ruang keluarga. Begitu pintu kamar dibuka, terlihat keponakan laki-laki saya yang masih berusia satu tahun setengah sedang terpana melihat layar televisi sembari berjoget seperti penguin mengikuti irama lagu pembuka kartun Tayo.
Setelah sejenak meminum sedikit air putih dan menunaikan buang hajat, entah kenapa suasana musik yang riang itu seketika berubah menjadi riuh genderang perang dengan teriakan serdadu Inggris dan Jerman. Rupanya keponakan laki-laki saya yang paling besar sudah merebut remote televisi dan menonton film epik Perang Dunia Kedua. Melihat kakaknya yang menguasai tontonan, adiknya yang kecil itu hanya bisa merengek dengan berkata, “Bus, bus, bus.”
Begitulah saya melalui hari-hari di rumah bersama dua orang keponakan yang mewarnai hidup saya. Kalau saya boleh katakan, tinggal bersama keponakan ini bukan yang pertama kalinya. Saat saya masih duduk di kelas 12 SMA, kakak sulung saya melahirkan bayi perempuan yang kini menginjak kelas 3 SD. Momen kelahiran keponakan pertama itu tentu saja menambah status saya yang tadinya hanya seorang anak bungsu dari tiga bersaudara, kini bertambah menjadi seorang paman.
Rumah yang mungil itu lantas menjadi ramai dengan kegembiraan walau terasa sempit setelah dihuni enam orang dewasa dan satu bayi perempuan. Tidak sedikit tamu berdatangan untuk menyapa bayi mungil itu.
Sejujurnya pada waktu itu saya merasa agak aneh dengan menyandang status sebagai seorang paman. Karena kebanyakan teman saat sekolah dulu adalah anak pertama atau anak tunggal. Sangat sedikit di antara mereka adalah anak tengah atau bungsu dan alhasil saya pun nggak mendapat banyak insight dari kawan-kawan sebaya di SMA.
Walau begitu, saya menikmati proses menjadi seorang paman meski mulanya sangat canggung. Panggilan ‘mamang’ awalnya terdengar menggelikan buat saya sendiri yang belum terbiasa pada saat itu tapi lambat laun ternyata menyenangkan. Terus terang saja, hal pertama yang menjengkelkan buat saya adalah tangisan yang terus menerus. Sebagai remaja tanggung yang gemar menyetel lagu lewat speaker sambil main gitar, saya sempat merasa terusik oleh kebisingan itu untuk beberapa waktu.
Ditambah lagi, menyempitnya ruang gerak di dalam rumah kecil nan mungil bikin saya jadi serba kagok. Maksud saya, rumah yang sedari awal nggak bisa menampung orang banyak menjadi semakin sesak oleh lalu lalang penghuni rumah beserta perabotan rumah yang terus bertambah. Satu-satunya hal yang mengobati keriuhan itu adalah mendengar suara tawa si bayi mungil ketika tengah bermain bersama kedua orang tuanya.
Kalau saya tidak salah ingat, keponakan yang paling besar hanya menetap di rumah saya selama satu tahun sebelum kemudian kakak sulung saya punya tempat tinggal sendiri. Momen yang tadinya terasa menyebalkan buat saya langsung terasa begitu dirindukan.
Selang beberapa tahun kemudian, kakak kedua saya bersama istrinya menikah dan tinggal satu rumah bersama orang tua saya. Momen penting kemudian terjadi lagi ketika saya sedang mengalami pahitnya jadi mahasiswa semester 5. Istri kakak saya yang kedua melahirkan seorang anak putra pada tahun 2015. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya diberkahi seorang keponakan laki-laki.
Lucunya, keponakan laki-laki yang satu ini punya kelakuan yang sangat mirip dengan bapaknya. Selain cuek, ia juga punya keinginan kuat untuk memiliki sesuatu. Bahkan nggak jarang dia memaksa kedua orangtuanya untuk dibelikan mainan baru. Setelah diperkenalkan dengan Youtube pada umur setahun, keponakan saya ini jadi keranjingan mainan. Mainannya pun macam-macam, mulai dari truk, bus, hot wheels, pesawat tempur, dan sebagainya.
Jika saya kedatangan sepupu yang umurnya sebaya dengan keponakan saya, suasana santai di rumah seketika riuh macam bandara, terminal, dan pelabuhan ketika semua mainan itu tumpah ruah untuk dimainkan bersama. Sebagai paman yang tidak tahu harus bagaimana, saya pun dengan pasrah berdiam di teras seolah-olah sedang berada di halte atau loket antrian terminal.
Pernah suatu kali ketika saya sedang bepergian bersama teman kuliah, keponakan saya ini bikin ulah dengan menjatuhkan minum di atas laptop saya saat ia sedang menonton video Wheels on The Bus. Alhasil skripsi dan laporan magang yang sedang saya susun itu pun raib termakan listrik korsleting. Tentu saja hal itu bikin kepala pening dan sakit hati. Gimana nggak pening? Tumpahan air itu rupanya mencederai motherboard saya yang sudah nggak mungkin tertolong.
Sekarang ini, keponakan laki-laki saya yang paling besar itu sedang keranjingan dengan negara-negara dunia. Nggak jarang ia bertanya kepada saya siapa presiden Amerika, jam berapa di Belanda, apakah ada Indomaret di Arab Saudi, kapan Palestina merdeka dari Israel, dan kenapa bahasa Prancis itu aneh sekali. Sejumlah pertanyaan yang nggak lumrah dari seorang bocah umur 5 tahun.
Lima tahun setelah ponakan laki-laki saya menginjak bangku TK, istri kakak kedua saya kembali melahirkan seorang putra kedua. Tampangnya mirip benar dengan kakak laki-laki saya. Sekarang anak itu sudah berumur satu tahun setengah dan dia sangat doyan gangguin kakaknya kalau sedang makan. Keponakan saya yang paling kecil itu bisa dibilang cukup cerewet kalau jika dibanding ponakan saya yang lain. Selain itu dia juga cukup jahil namun seringkali pasrah kalau diganggu kakaknya.
Saat tulisan ini dibuat, mereka berdua tengah menonton film The Mitchells vs The Machines di televisi sambil makan eskrim. Yang paling besar sedang menenteng pistol mainan sambil menyanyikan lagu kebangsaan Kerajaan Jerman dan yang paling kecil tengah menghabiskan cemilan favoritnya.
Saya hanya bisa tertawa mereka dan penasaran bagaimana jadinya mereka kalau sudah besar nanti? Lagipula, hadirnya keponakan-keponakan lucu ini mungkin bentuk pelatihan saya jika suatu saat saya sudah punya anak. Tunggu dulu, memangnya ada yang mau sama saya? Ah, saya sendiri pun tidak tahu. Biarkan waktu yang menjawab.
Editor: cika
Gambar: Pexels
Comments