Sebelum lebih dalam kita masuk pada persoalan ini, yang ingin saya tegaskan pertama kali adalah saya tidak melakukan penelitian khusus terhadap tulisan ini. Melainkan, yang saya gunakan hanya berlandaskan fakta empiris yang berhasil saya tangkap sendiri. Maka, tak ayal jika nanti tulisan ini tidak menyuguhkan data kualitatif dan kuantitatif sebagaimana dalam ilmu statistik. Sekalipun ada, data itu mungkin bersifat dangkal.

Oke, tentu yang harus dipahami betul terlebih dahulu adalah makna dari cinta lokasi. Meskipun, saya merasa akan terkesan klise jika menjelaskannya ulang. Sebab, saya meyakini betul, milenial sekarang—apalagi mahasiswa—tak akan asing dengan istilah tersebut. Istilah yang awalnya asing, namun menjamah bahasa dunia pergaulan sehingga menjadi masyhur.

Cinta lokasi atau yang biasa disingkat sebagai Cinlok merupakan aneksi yang terkenal di kalangan selebritis, pada mulanya. Sedangkan artinya adalah munculnya benih-benih cinta yang disebabkan oleh sering bertemunya dua pihak. Sederhananya gini, ada dua orang yang selalu terlibat pekerjaan dalam lokasi yang sama, kemudian dua orang itu saling mencintai.

Jika kalian pecah dua aneksi tersebut (cinta/lokasi), maka mudah kalian menjumpainya di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Namun jika pencarian kalian adalah “Cinta Lokasi” saya yakin KBBI akan kebingungan. Kasusnya sama dengan kalian searching kata gelay, jijay, dan lain-lain’.

Seperti yang saya katakan di atas, istilah cinta lokasi mulanya masyhur di kalangan selebritis, termasuk pesinetron. Namun, lambat laun istilah itu juga merambah ke kalangan lain, termasuk akademisi, mahasiswa misalkan.

Mahasiswa; Sasaran Empuk Cinlokisme

Pernah mendapati teman kalian (laki-laki dan perempuan) terlihat sangat dekat, bahkan lebih akrab dari yang lain? Padahal sebelumnya terlihat biasa-biasa saja. Ini yang kemudian bisa diusung sebagai tesis awal untuk menaruh curiga, apakah mereka sedang mengalami cinlok yang dimaksud? Kemungkinannya, iya.

Kampus—yang sistem belajarnya campur antara cowok cewek—memang cenderung membuka kesempatan itu. Biasanya terjadi pada kampus-kampus negeri atau kampus swasta yang tidak berada di naungan pesantren. Keseringan berjumpa setiap hari, bukan tidak mungkin untuk saling menaruh benih-benih cinta.

Faktornya pun beragam. Ada yang berangkat dari sesama kelas, sesama organisasi, sesama komunitas kampus, atau sesama grup ngopi/tongkrongan (sebagaimana budaya mahasiswa pada umumnya). Iklim-iklim semacam itulah yang kemudian mengantarkan mereka pada pusaran cinta lokasi. Keadaan itu yang menciptakan fenomena demikian.

Di kampus saya pribadi, meskipun tergolong perguruan tinggi negeri islam, tidak membuat kuantitas semacam itu sedikit. Meskipun saya belum berani membandingkan dengan kampus lain (PTN atau PTS misalkan), namun diakui atau tidak, fenomena tersebut juga sering dijumpai. Sepertinya tidak ada klasifikasi, semuanya sama, hanya saja mungkin beda di jumlah.

Kehidupan modern dan kekinian yang sering menjadi lifestyle mahasiswa sepertinya juga mendukung terhadap hal itu. Mencari pasangan di kampus adalah upaya mereka dalam mengimplementasikan bentuk kekinian yang dimaksud. Bahkan, beberapa stigma menganggap, ngampus tanpa pasangan itu gak keren.

Atau bisa jadi, pandangan yang lebih ekstremis mengatakan, orang gak pacaran itu kolot. Sehingga, alhasil, mereka terjerambab dalam cinta lokasi. Meskipun di banyak realitas, cinlok memang berangkat dari ketulusan hati.

Di Balik Manis, Ada Bahaya yang Mengintai

Cinta lokasi sebenarnya enak jika dilihat dari satu sisi. Namun, beberapa dari mereka lupa terhadap konsekuensi yang bisa saja datang. Bahkan, konsekuensi yang ditimbulkan sangat besar, negative impact-nya bukan hanya pada diri sendiri, namun juga pada orang sekitar.

Gak percaya? Kira-kira analisis dangkalnya begini. Sejak awal dipahami, bahwa cinta lokasi merupakan ketertarikan antara lawan jenis yang ditimbulkan sebab selalu terlibat dalam pekerjaan/kegiatan dan tempat yang sama. Jadi, di sini fokusnya bukan hanya ihwal cinta saja, melainkan juga berhubungan dengan kegiatan (yang itu biasanya melibatkan orang lain).

Keterlibatan dua orang yang mengalami cinlok dalam pekerjaan, profesi, atau kegiatan yang sama—sedikit banyak—akan mengganggu terhadap profesionalitas. Saya ambil contoh; ketua Himpunan Mahasiswa (sebut saja Husein) ternyata menjalin cinta lokasi dengan salah satu anggota pengurusnya. Kemudian, kekasih Husein itu berbuat salah dan melanggar kode etik organisasi. Maka bisa dipastikan, Husein akan memberikan keputusan dan sanksi dengan perasaan berat (terpaksa), atau bisa jadi keobjektivitasannya terhalau. Artinya, dia memberikan sanksi yang tidak sepadan.

Cara menjauhi sikap demikian bagaimana? Tentunya harus tetap berpegang pada objektivitas dan profesionalitas yang sudah menjadi standar ideal para pemangku kebijakan.

Kemungkinan kedua, cinta lokasi dalam organisasi misalkan. Organisasi yang ditawarkan kampus sejatinya untuk menampung minat sekaligus bakat mahasiswa. Tujuan lain adalah mengolah bakat yang sudah ada. Namun, dengan cinta lokasi, semuanya bisa jadi berubah alur, berubah niat. Organisasi dijadikan ladang untuk saling bertemu, tidak lebih dari itu. Bahkan bisa jadi, ikut organisasi karena si doi.

Nah, kemungkinan ketiga inilah merupakan kemungkinan yang—saya yakini— tidak diinginkan semua orang. Ketika dua orang yang terlibat cinlok tadi putus atau mengakhiri hubungan, imbasnya tidak hanya pada diri kedua orang tersebut. Namun, juga akan berimbas pada organisasi, sedikit atau banyak. Misalkan; karena putus, dua orang tersebut memilih hengkang dari organisasi. Tak menutup kemungkinan, mereka juga akan cenderung membenci organisasi itu. Jadi, konklusinya adalah, cinta lokasi memang manis. Namun, ingat! Ada kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Kemungkinan-kemungkinan buruk itu bisa disikapi dengan baik dan bijak. Tergantung siapa yang menjadi aktornya.

Editor : Ciqa

Gambar : Pexels