Ada banyak stereotype yang beredar di dunia ini. Misalnya anak sulung dianggap tahan banting, anak bungsu dianggap kekanak-kanakan sedangkan anak tunggal dianggap egois. Yang paling lucu, anak tunggal dianggap sebagai calon jutawan karena warisan orang tuanya gak akan kemana-mana, jadi gak akan rebutan warisan kayak orang yang punya saudara kandung.
Sebagai anak tunggal, saya gak paham dari mana asalnya stereotype tersebut. Orang-orang banyak yang menganggap anak tunggal tuh dimanja oleh orang tua kayak Suneo Honekawa dalam anime dan manga Doraemon. Padahal gak semua anak tunggal terlahir dengan orang tua yang kekayaannya sebanyak orang tua Suneo, lho.
Ketika berkenalan sama orang baru, beberapa orang berkata, “Enak ya jadi anak tunggal, apa-apa disediakan orang tuanya”, “Enak ya jadi anak tunggal, pasti dimanja”, hingga “Enak ya jadi anak tunggal, warisannya banyak”.
Dugaan saya, orang-orang yang menganggap anak tunggal apa-apa disediakan orang tuanya, dimanja, dan warisannya banyak karena orang tuanya gak harus berbagi rasa cinta, bisa fokus mengurus anaknya, dan beban perekonomian yang ditanggungnya lebih sedikit dibandingkan orang tua yang punya anak lebih dari satu.
Efek paling geli selama saya jadi anak tunggal adalah suka diceng-cengin seperti, “Kalau cari pacar atau calon suami, sama Wisnu aja! Dia anak tunggal, warisannya pasti banyak!”
Berulang kali saya jelaskan pada orang-orang di sekitar saya bahwa gak semua anak tunggal terlahir dari orang tua sekaya orang tua Suneo, tapi mereka tetap gak bisa menerima. Tanggapan mereka, orang tua saya ini pasti sekaya orang tua Suneo.
Standar perekonomian orang tua kan bukan jumlah anaknya ya. Sebab, ada orang yang punya banyak anak tapi perekonomiannya super tajir. Contohnya Keluarga Halilintar. Dan tentu saja ada juga orang tua yang anaknya cuma satu tapi perekonomiannya biasa-biasa aja. Contohnya ya saya. ~wqwqwqwq
Kalau boleh jujur, saya bersyukur juga sih jadi anak tunggal, soalnya saya sering melihat teman atau keluarga yang punya saudara kandung kerjaannya berantem melulu. Mulai dari rebutan remote TV sampai rebutan warisan.
Mungkin bagi orang lain, jadi anak tunggal itu menyenangkan. Sebab orang tua dari anak tunggal bisa memaksimalkan perhatian, rasa cinta, dan materi untuk anak satu-satunya dibandingkan orang tua yang punya lebih dari satu anak. Tapi buat saya, jadi anak tunggal itu beban.
“Kok jadi beban?”
Jadi gini, sebagai satu-satunya anak kandung dari orang tua saya, orang tua saya jelas punya harapan yang sangat besar pada saya. Sayangnya, hingga tulisan ini saya tulis, saya belum bisa memenuhi harapan orang tua saya tersebut. Sejak SD hingga tulisan ini saya tulis, saya belum punya prestasi maupun keahlian yang dapat membuat orang tua saya bangga. Katanya sih punya anak itu investasi. Berarti saya itu termasuk investasi bodong. ~wqwqwq
Beban paling gak enak jadi anak tunggal adalah apa-apa harus dilakukan seorang diri. Ketika ayah saya sakit dan dirawat di rumah sakit, saya harus selalu standby di rumah sakit seorang diri karena gak ada saudara kandung yang bisa diminta untuk gantian. Apalagi setelah ayah saya wafat, saya jadi satu-satunya tumpuan orang tua saya dalam hidup karena ibu saya sejak saya lahir sampai sekarang hanyalah ibu rumah tangga yang gak bekerja sama sekali. Ya kalau saya sekarang bekerja sebagai karyawan tetap atau pengusaha sukses dengan penghasilan jutaan gak masalah. Masalahnya saya adalah satu diantara jutaan orang yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi dan resesi global. ~wqwqwq
Mungkin terkesan berlebihan, tapi coba bayangkan, kamu dianggap mapan dan punya banyak warisan hanya karena berstatus sebagai anak tunggal. Kan aneh! Tolonglah berhenti beranggapan bahwa anak tunggal itu mapan dan punya banyak warisan. Gak semua anak tunggal itu tajir melintir kayak Suneo Honekawa. Gak semua anak tunggal itu dimanja orang tuanya.
Jadi anak tunggal itu gak selamanya enak, percaya deh sama saya. Kecuali jadi anak tunggalnya Hotman Paris atau Elon Musk, lho! ~wqwqq
Editor: Ciqa
Gambar: Google
Comments