Belum lama ini sebuah video dari salah satu kanal YouTube yang membahas tentang sex education atau pendidikan seks ramai dikritik warganet. Pasalnya, konten yang berlabel “sex education” itu ternyata hanya berisi cewek-cewek yang menceritakan soal pengalaman seksual mereka, tanpa ada muatan edukasi seksnya. Alih-alih mengedukasi pemirsa, yang dibahas malah pengalaman FWB-an. Hal lain yang dipermasalahkan oleh warganet adalah tidak ada satu pun dari bintang tamu tersebut yang merupakan seorang profesional di bidang pendidikan seks, seperti psikolog klinis, sex educator atau seksolog.
Pendidikan seks memang ditujukan agar seksualitas tidak lagi menjadi topik yang tabu untuk didiskusikan. Sayangnya, kehadiran konten demikian justru mereduksi makna dan nilai dari pendidikan seks itu sendiri. Bukannya mendobrak tabu, orang yang belum paham jadi semakin alergi terhadap pendidikan seks karena selama ini banyak orang salah kaprah menyangka pendidikan seks itu sebatas soal hubungan seksual. Mengajarkan pendidikan seks dianggap sama dengan mengajarkan seseorang untuk melakukan seks bebas.
Fungsi Pendidikan Seks
Padahal pendidikan seks itu sejatinya mengajarkan dan menanamkan pemahaman tentang fungsi dan kesehatan organ reproduksi. Kita dapat belajar tentang fungsi dari masing-masing organ reproduksi, menstruasi dan kehamilan (termasuk membedah mitos dan tabu yang menyelimutinya), cara menjaga kebersihan dan kesehatan organ reproduksi, dampak dari hubungan seks berisiko hingga yang juga tidak kalah penting adalah mengenai konsep sexual consent (persetujuan untuk melakukan aktivitas seksual) dan kesetaraan gender.
Mengapa konsep sexual consent dan kesetaraan begitu penting dalam pendidikan seks?
Seks itu ibarat makanan. Ada yang boleh, ada yang dilarang. Ada aturan dan etikanya sehingga tidak bisa berlaku sembarangan.
Seks Ibarat Kebutuhan Makan
Ibarat makanan, ada makanan yang boleh dimakan dan ada makanan yang dilarang untuk dimakan, baik karena alasan agama, budaya, kesehatan dan lain-lain. Bagi orang muslim, makan babi itu hukumnya haram. Bagi orang berpenyakit diabetes, makanan berkadar gula tinggi seharusnya dihindari. Bagaimana jika ketentuan ini dilanggar? Ya risikonya ditanggung penumpang.
Begitu pula halnya dengan seks. Aktivitas seksual itu ada yang boleh dan tidak. Pasangan suami istri yang melakukan aktivitas seksual tentu diperbolehkan sebab mereka punya ikatan sah pernikahan. Namun, bukan berarti status suami/istri sah itu menjadi alasan untuk mengabaikan etika dari aktivitas seksual. Sexual consent tetap berlaku sehingga jika terjadi pemaksaan hubungan seksual, meski statusnya suami/istri sah, itu namanya marital rape alias pemerkosaan dalam hubungan pernikahan.
Seks Berkedok Pemaksaan
Terdengar asing? Mungkin iya, karena selama ini kita mewajarkannya. Hanya karena itu terjadi dalam hubungan pernikahan, lantas tidak pernah dianggap sebagai pemerkosaan. Padahal aktivitas seksual yang dilakukan dengan pemaksaan atau tanpa persetujuan—dalam kacamata pendidikan seks—tidak dapat dibenarkan.
“Lho, berarti kalau dilakukan dengan persetujuan tapi yang bersangkutan belum menikah, boleh dong? Berarti konsep consent melegalkan zina dong?”
Oohh, tidak semudah itu Ferguso! Bukan begitu logika berpikirnya.
Seks dalam Kacamata Psikologi
Masalah consent ini ada aturannya dan cukup kompleks untuk dijelaskan. Dalam kacamata hukum dan psikologi, misalnya, ada istilah age of consent untuk menyebut usia minimal seseorang dapat terlibat dalam aktivitas seksual. Age of consent ini berbeda-beda di tiap negara, tergantung dari berbagai faktor, termasuk usia pubertas dan asumsi kedewasaan berpikir.
Selain itu, ketentuan mengenai consent adalah tidak boleh bertentangan dengan hukum. Contohnya, jasa prostitusi. Meski antara konsumen dan pekerja seks komersial terjadi persetujuan untuk terlibat dalam aktivitas seksual, perbuatan ini tidak dapat dibenarkan karena merupakan perbuatan melanggar hukum.
Consent juga harus diberikan dalam keadaan sadar, tanpa paksaan dan intimidasi, serta memahami risiko dan situasi yang dihadapi. Orang yang melakukan aktivitas seksual setelah dicekoki minuman beralkohol atau obat-obatan tidak dapat dikatakan telah memberikan persetujuan sebab ia dalam keadaan tidak sadar. Logika yang sama juga berlaku bagi korban kekerasan seksual yang seringkali diancam, dipaksa, ditakut-takuti jika tidak mau memenuhi keinginan pelaku.
Pendidikan Seks dan Kebersihan Organ Intim
Dengan kata lain, bahasan pendidikan seks itu luas. Bukan hanya tentang aktivitas seksual apalagi soal gaya bercinta. Lebih jauh lagi, pendidikan seks justru mengajarkan kita untuk tidak hanya peduli pada kebersihan dan kesehatan organ intim, tapi juga memahami konsekuensi dari suatu aktivitas seksual sehingga tidak mudah terjerumus pada seks bebas. Mereka yang paham akan konsekuensi dan risikonya, seharusnya bisa menghindari yang namanya hubungan seks berisiko apalagi yang tanpa terikat komitmen macam FWB (friend with benefit), ONS (one night stand) dan sebangsanya.
Pendidikan seks, melalui konsep consent dan kesetaraan, juga mengajarkan kita untuk senantiasa menghormati tubuh sendiri dan orang lain. Tubuh kita berharga, tubuh orang lain pun demikian sehingga kita tidak boleh menyakiti, menyerang, merusak atau melecehkan.
Menceritakan pengalaman berhubungan seksual itu tidak sama dengan memberi edukasi seks. Jika kamu memang ingin mengakses konten sex education, carilah konten yang diisi oleh orang-orang yang paham dan kompeten di bidang tersebut.
Editor : Faiz
Gambar : Google
Comments