“Overthinking tidak bisa dihilangkan, tetapi bisa dikendalikan. Lantas, bagaimana cara mengendalikannya?”
Dulu, kali pertama saya mengetahui kata “overthinking”, entah itu dari perkataan teman-teman sebaya, ataupun di status media sosialnya, pikiran saya langsung mengatakan “kok mereka keren ya, bisa jadi seorang pemikir”. Anggapan saya saat itu tentang mereka yang sedang overthinking adalah seperti halnya seorang filsuf, ilmuwan, akademisi, ataupun peneliti yang memang notabene pribadi mereka adalah seorang pemikir tentang dunia dan ilmu pengetahuan.
Tetapi, setelah mengetahui faktanya, ternyata antara overthinking dan pemikir ini adalah dua hal yang sangat berbeda. Kata Amelia Lia dalam bukunya yang berjudul Di Usia 20, ia mengatakan overthinking adalah kegiatan yang terlalu banyak berpikir tentang hal-hal sepele. Berbeda dengan seorang pemikir yang lebih banyak berpikir tentang hal penting, seperti ide ataupun resolusi untuk suatu permasalahan dunia dan ilmu pengetahuan.
Tak ayal memang, beberapa kawan-kawan sebaya yang menggunakan kata overthinking ini memang selalu dibarengi dengan permasalahan hidupnya yang menurut mereka begitu pelik jika dilihat di story sosial media ataupun curhatan di kehidupan nyatanya. Sangat beragam permasalahannya, mulai dari perkara pasangan romansanya, perkara financial nya, perkara masa depannya, sampai bahkan salah satu teman saya pernah overthinking soal “takut besok nggak bisa hidup, dan mau mengakhirinya juga takut”. Begitu aneh dan menyeramkan, bukan?
Tentu perkara-perkara semacam itu terkesan berat bagi mereka yang sedang di usia 20-an. Menurut hemat saya, secara konkret perkara tersebut hadir karena mereka sedang kaget oleh banyaknya dan kompleksnya informasi tentang kehidupan. Walhasil, kesadarannya tentang keberadaan dirinya, terpantik untuk mempertanyakan hal-hal sepele, yang sebetulnya bisa terjawab dengan berdiskusi dan minum kopi, tanpa memperumit pikiran sampai-sampai merusak aspek fisiologisnya.
Mengenal Inner Voice
Mengenai hal itu, di sini saya akan mengajak kalian untuk sedikit berpikir tentang darimana overthinking itu muncul, bagaimana overthinking itu bekerja, dan bagaimana cara mengatasinya. Dari serangkaian literatur psikologi yang pernah saya baca, overthinking itu bermula pada sebuah sumber dalam diri kita yang bernama “inner voice”.
Inner voice adalah salah satu mekanisme dalam otak yang memungkinkan kita buat mendengar percakapan kita sendiri tanpa harus berbicara dan mengeluarkannya. Di dalam buku Chatter: The Voice in Our Head, karya Ethan Kross, inner voice itu terbentuk semasa kita masih kecil, di mana momen-momen kita baru mempelajari bahasa ibu. Ethan Kross mengatakan bahwa inner voice adalah salah satu anugerah terbaik yang dimiliki manusia. Bahkan dalam bukunya menyatakan kalau manusia bisa menghabiskan sepertiga sampai setengah dari keseharian kita buat berkhayal dan ngomong ke diri sendiri.
Setelah membaca keterangan di atas, kita mungkin sudah mengetahui sebelumnya tentang modal yang ada di dalam diri kita. Hanya saja sebelumnya kita nggak tahu kalau ternyata ketika selama ini yang disebut kata hati, introspeksi, atau berbicara kepada diri sendiri, itu bersumber dari yang namanya “inner voice”. Itulah yang disebut Ethan Kross sebagai anugerah terbaik dalam diri manusia. Sesuatu yang sebetulnya selalu menuntun kita sebelum berpikir, berbicara, dan bertindak.
Inner Voice yang Terdistorsi
Inner voice nggak hanya menjadi sumber yang baik, ia juga dapat menjadi sesuatu yang ganas untuk kita, hasil dari inner voice yang ganas itu disebut dengan chatter atau biasanya kita menyebutnya overthinking. Chatter adalah semacam siklus pikiran dan emosi negatif yang terjadi di pikiran kita. Overthinking tidak bisa dihilangkan, akan tetapi bisa dikendalikan. Sebab, keberadaan overthinking itu sendiri juga bagian dari fitrah kognitif kita.
Karen Horney, seorang psikoanalisis asal Jerman mengatakan bahwa overthinking terjadi karena adanya “tyranny of should” dalam pikiran kita. Seseorang yang overthinking selalu mentiranikan atau menjadikan kata “seharusnya” seperti seorang raja atas segala sesuatu yang dipikirkan. Lebih lanjut, Karen Honey menjelaskan tentang kata ‘seharusnya’ ini adalah sesuatu yang mematikan kemungkinan-kemungkinan lain yang ada dalam pikiran kita.
Pernyataan Karen Horney tersebut, bisa kita korelasikan dengan keganasan yang terjadi pada inner voice. Inner voice menjadi ganas, itu karena ia selalu memosisikan kata “seharusnya” sebagai raja pada setiap hal yang kita pikirkan. Misalnya: Seharusnya aku bisa menikah di usia 26 tahun, seharusnya aku bisa kaya di usia 22 tahun, seharusnya aku bisa menjadi seorang pengusaha muda di masa depan.
Pernyataan-pernyataan di atas yang selalu ada kata “seharusnya”, pasti mematikan kemungkinan-kemungkinan lain yang sebetulnya dapat menenangkan pikiran kita. Misalnya: Aku memang ingin menikah di usia 26, namun kalau situasi dan kondisinya tidak memungkinkan, apa ya bisa aku memaksa untuk ‘harus’ menikah, bukankah itu sesuatu yang ngga logis dan ngga realistis sebagai suatu pernyataan. Itulah yang disebut kemungkinan, kata ‘seharusnya’ ngga akan mampu menawarkan kemungkinan, ia hanya berpatok pada sesuatu yang pasti, tanpa peduli bahwa kepastian itu sendiri bukan sesuatu yang benar-benar pasti.
Upaya Mengelola
Menurut Ethan Kross, premis inti dari mengapa kita overthinking adalah ketika kita nggak percaya diri dalam menghadapi sesuatu. Dalam hal ini inner voice dapat menjadi solusi jika dapat dipahami dan dikelola dengan baik.
Ethan Kross juga mengajarkan, bahwa inner voice yang baik adalah ketika ia berorientasi pada dua hal, yaitu self esteem dan self efficacy. Sederhananya, self esteem adalah kemampuan kita dalam menghargai potensi diri secara apa adanya dari berbagai aspek kehidupan. Dan self efficacy adalah kemampuan melihat tujuan, dan menguasai situasi yang memengaruhi kehidupan.
Misalnya: Kita di usia 25 masih belum menemukan pasangan yang tepat. Inner voice yang berlandas self esteem dan self efficacy akan bekerja dengan cara menghargai diri yang memang belum mampu menemukan pasangan, melihat potensi diri yang masih muda berusia 25, dan masih mampu untuk melakukan segala hal untuk menemukan pasangan.
Terkesan sederhana, tapi sebenarnya inner voice nggak bisa diremehkan. Ia harus dikelola secara kontinuitas. Jika tidak dikelola dengan baik, maka yang terjadi yah overthinking, bukan solution thinking.
Editor: Ciqa
Gambar: Google
Comments