Belakangan ini kita disuguhi sajian-sajian yang cukup menguras emosi―dis amping juga sedikit menggelitik menurut saya pribadi. Mulai dari orang tua yang memarahi kasir Indomaret gara-gara melayani anaknya yang berbelanja voucher game senilai Rp 800.000 hingga berita tentang kebijakan pemerintah terkait mudik dan keluar-masuknya WNA yang ah, sudahlah! Selain itu, terdapat juga satu sajian yang cukup menarik, yakni kasus emak-emak “blok-goblok”.
Emak-emak “Blok-Goblok” nan Viral
Dalam kasus tersebut, si emak-emak memaki seorang kurir habis-habisan lantaran barang yang diterimanya tak sesuai dengan pesanan. Mas kurir bahkan menerima kata mutiara “blok-goblok” dari si emak-emak beberapa kali. Meski begitu, mas kurir tetap berusaha merespons dengan tenang. Kejadian tersebut terhimpun dalam video berdurasi sekitar 2 menit 15 detik. Video tersebut pun viral dan banyak mendapat respons (negatif) dari netizen (bagi si emak-emak).
Hal yang tak kalah menarik dari kata mutiara “blok-goblok” adalah sikap anaknya si emak-emak. Alih-alih menjelaskan duduk perkara yang terjadi sebenarnya, si anak justru ikut emaknya memaki mas kurir. Pertanyaannya, mengapa sikap si anak tersebut tak kalah menarik dari kata mutiara “blok-goblok”?
Sepakat atau tidak, harusnya si anak bukan ikut emaknya memaki-maki. Si anak mestinya menjelaskan kepada emaknya apa yang sebenarnya terjadi. Ini merupakan salah satu tanggung jawabnya sebagai generasi milenial yang lebih mafhum dengan teknologi.
Yap! Di antara sekian banyak usia, sudah tentu anak mudalah yang paling mengetahui sekaligus menguasai teknologi―terutama HP dan internet. Mengacu pada hal tersebut, maka merupakan suatu kewajiban bagi anak muda untuk memberikan pemahaman/edukasi kepada anak-anak juga orang tua yang saat ini mulai ikut menggunakan teknologi. Ini sesuai dengan pesan paman Ben kepada Peter Parker―dalam film Spider-Man versi Sam Raimi―yang kurang lebih begini, “Seiring adanya kekuatan yang hebat, akan datang tanggung jawab yang besar”.
Kerumitan Era Digital
Era digital memang penuh dengan kerumitan. Pernyataan tersebut berlaku khususnya bagi para orang tua yang belum pernah sama sekali menemui hal-hal yang terdapat dalam era digital. Mayoritas orang tua tentu tak bisa begitu saja memahami istilah-istilah seperti like, share, follow, story, tweet, download, upload, dan sebagainya.
Pun demikian dengan apa yang terjadi pada emak-emak “blok-goblok”. Si emak belum terlalu paham dengan sistem jual-beli online―khususnya terkait peran masing-masing pihak. Akibat hal tersebut, (mungkin) si emak menganggap bahwa kurir juga ikut dalam proses pengemasan sehingga kurir mengetahui isi dari paket yang diantarkannya.
Hal tersebut lantas berdampak pada sikap si emak yang seketika memaki mas kurir setelah mengetahui isi dari paket yang diterimanya tak sesuai dengan yang ia pesan. Nah, di sini harusnya si anak menjelaskan dengan bahasa yang sederhana apa yang sebenarnya terjadi. Sebab, hal tersebut merupakan tanggung jawabnya sebagai pihak yang lebih paham problematikanya ketimbang si emak.
Bila si anak justru ikut memaki―seperti yang ada dalam video―justru mengindikasikan bahwa dia juga nggak paham pembagian tugas dalam semesta jual-beli online. Atau mungkin sebenarnya si anak tersebut paham, tetapi ia lebih memilih untuk mendahulukan kebodohannya.
Masyarakat Indonesia menggunakan internet tiap harinya lebih dari 8 jam. Namun, melihat sikap si anak (milenial) dalam kasus emak-emak “blok-goblok”, membuat tingkat literasi digital kita―terutama anak muda―dipertanyakan.
Kita hanya rajin menggunakan internet, tetapi tak paham terhadapnya. Atau mungkin diganti begini, “Kita rajin menggunakan internet dan paham terhadapnya, tetapi sayang kita enggan bertanggung jawab atas pemahaman kita tersebut”. Oleh sebab itu, mari kita ambil hikmah dari kasus emak-emak “blok-goblok” dengan cara meningkatkan literasi digital kita dan memberikan pemahaman kepada generasi selain generasi muda tentang apa yang kurang mereka pahami (dalam dunia digital).
Editor: Nirwansyah
Gambar: Suara.com
Comments