Magang adalah salah satu mata kuliah wajib yang ada di prodi saya. Magang menjadi sarana mahasiswa dalam mencari pengalaman di dunia kerja supaya ketika sudah saatnya terjun ke dunia kerja yang sebenarnya, mereka tidak kaget dan bisa beradaptasi dengan cepat. Saya pribadi, setuju melaksanakan program magang di industri tersebut.
Gambaran saya, ketika sudah mulai magang nanti, akan ada banyak ilmu dan pengalaman yang bisa diserap, sehingga menjadi hal yang bermanfaat untuk pekerjaan saya di masa mendatang. Entah untuk mendirikan perusahaan sendiri atau supaya ketika sudah saatnya terjun nanti, saya sudah luwes dengan budaya kerjanya.
Akan tetapi, setelah saya terjun ke lapangan langsung, ternyata menjadi karyawan magang tidak semulus dan seindah apa yang dibayangkan. Banyak keresahan yang ingin saya ceritakan, baik dari pengalaman saya sendiri atau pengalaman teman-teman saya.
Penempatan yang Tidak Sesuai dengan Keahlian
Di beberapa perusahaan atau industri, biasanya sistem rolling akan diberlakukan untuk anak PKL dan magang. Itu artinya, setiap hari, seminggu, atau sebulan sekali, masing-masing anak akan merasakan pergantian penempatan kerja sesuai dengan kebijakan perusahaan. Sebagai contoh, industri kuliner yang memiliki beberapa bagian, seperti divisi produksi, pemasaran, atau mungkin pelayanan akan membagi penempatan anak magang secara acak. Nah, pembagian inilah yang sering kali tidak sesuai dengan keahlian peserta magang.
Mungkin mahasiswa jurusan pariwisata, tetapi ditempatkan pada bagian pemasaran. Sementara mahasiswa pemasaran justru ditempatkan di bagian pelayanan atau produksi. Kalau sudah begini kan peserta magang juga kebingungan mau ikut andil dalam hal apa. Mau membantu kok bukan keahliannya, mau diam saja kok ya pekewuh.
Pelit Ilmu
Dalam dunia bisnis, setiap perusahaan tentu memiliki rahasia yang tidak bisa disebarkan seenaknya saja. Salah satu contohnya adalah perusahaan kuliner yang tidak bisa seenaknya membagikan resep atau sistem manajemen perusahaan yang menjadi kunci suksesnya bisnis mereka. Namun, kembali lagi ke tujuan awal sekolah atau kampus menerjunkan peserta didik mereka untuk apa. Kan sudah jelas bahwa mereka dituntut untuk menyerap ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya. Tetapi, sering kali karyawan perusahaan tidak mau mengajari anak magang karena mereka takut bahwa hasil pekerjaannya justru tidak akan beres.
Mas, Mbak, kami cuma ingin tahu ilmunya, kok. Cukup tunjukkan saja pada kami bagaimana caranya, yang meng-handle pekerjaan tersebut tetap kalian saja kalau memang khawatir pekerjaan tersebut justru tidak akan beres. Setidaknya jangan biarkan kami gabut karena tidak ada pekerjaan yang bisa kami lakukan.
Tapi tapi tapi… ada yang perlu kita pahami juga sebagai anak magang. Beberapa karyawan biasanya tidak akan mengajari anak magang jika mereka memang tidak aktif bertanya. Seandainya anak magang punya inisiatif untuk bertanya dan karyawan perusahaan juga sangat terbuka, berarti jangan ada lagi statement “pelit ilmu” di antara kita.
Eksploitasi Kerja
Pada beberapa kasus di perusahaan, karyawan seringkali dengan seenaknya menyuruh kami anak magang untuk melakukan ini itu, bahkan untuk tugas yang sebetulnya tidak perlu bantuan. Lebih parahnya, yang aslinya merupakan tugas mereka, tetapi akhirnya ditimpakan pada kami anak magang, seperti mencuci piring, membersihkan area kerja mereka, dsb. Apalagi kalau jam kerja karyawan sudah overtime, kami juga harus ikut lembur. Kalau kami digaji atau gaji kami disamakan sih no problem. Kalau kami tidak digaji, tetapi harus mengikuti jadwal overtime karyawan tetap, ya kami nggak terima, dong. Kami magang karena ingin mencari ilmu dan pengalaman, bukan untuk dijadikan budak pembodohan.
Gaji dan Upah Lembur
Pak, Bu. Biaya sekolah dan kuliah itu mahal. Kalaupun tujuan utama kita magang hanya mencari ilmu pengalaman, dan nilai, kerja for free itu menurut saya bukan sesuatu yang boleh dinormalisasikan. Setidaknya beri mereka award atau uang saku untuk mengganti biaya transportasi dan biaya makan siang. Seandainya jam kerja mereka melebihi waktu yang sudah ditetapkan, jangan lupa juga untuk memberi upah lembur.
Sangat disayangkan beberapa perusahaan justru memilih untuk mempekerjakan anak magang dengan alasan menurut mereka perusahaan tidak perlu repot-repot lagi mencari pekerja baru. Dengan demikian, perusahaan nggak perlu lagi dan memberi gaji karyawan yang nantinya akan mengurangi pengeluaran perusahaan. Padahal, kami juga nggak minta untuk digaji seperti karyawan tetap di perusahaan Bapak Ibu. Kami hanya perlu dihargai dan diperlakukan sama seperti karyawan lainnya. Bukan justru dianaktirikan.
Uang makan nggak dapat, pun tidak disediakan makan dari perusahaan. Bingkisan sembako tidak dapat, padahal sebenarnya mahasiswa yang belum punya pendapatan tetap seperti kami lah yang lebih membutuhkan. Uang THR-pun nggak bisa diharapkan lagi apakah kami juga akan kebagian, padahal diberi sedikit pun juga nggak apa-apa. Yang terpenting, kami perlu dihargai, bukan malah dilakukan seperti anak tiri.
Seandainya saya yang jadi bos perusahaan, saya berharap supaya bisa menyamaratakan hak dan kewajiban anak magang di perusahaan. Atau kalaupun haknya tidak sama dengan karyawan tetap, setidaknya tugas-tugas mereka yang sedikit saya ringankan, bukan malah dieksploitasi secara besar-besaran. Yang terpenting, selama anak magang tidak tidur ketika jam kerja dan tidak makan gaji buta, mereka akan hidup nyaman di perusahaan saya, deh. Hehe.
Dan semoga siapapun yang sudah membaca tulisan ini bisa mengambil poin penting bahkan turut berperan untuk tidak menormalisasikan kebiasaan yang menurut saya kurang baik ini. Anak magang memang tidak mendapatkan perlindungan undang-undang tenaga kerja sama seperti karyawan, tetapi kami juga manusia biasa yang masih butuh makan untuk menyambung kehidupan.
Editor: Yud
Gambar: Pexels
Comments