Bagi saya, dan mungkin beberapa orang yang suka membaca buku, meminjamkan buku itu adalah cara sakit hati paling sengaja, mending meminjamkan uang saja. Setiap buku yang saya beli, selalu punya kenangan apa pun bentuknya. Mulai dari aroma toko, aroma kertas barunya, sampai momentum saat bersamanya. Buku itu saksi bisu, dibutuhkan saat ingat sesuatu, tetapi tidak ingat seutuhnya.
Berbeda dengan uang, buku sebaiknya jangan dipinjamkan, apa pun jaminannya
Meminjam buku memang bisa di perpustakaan. Akan tetapi, di perpustakaan kadang bukunya kurang menarik atau tidak sesuai. Sehingga, meminjam buku teman saat kantong tipis, itu cara elegan untuk tetap merawat bacaan. Apalagi saat meminjam buku di perpustakaan harus ada jaminan ketat dan tenggat waktu pengembalian. Sementara, meminjam punya teman bisa bebas kapan saja sampai kadang diakui milik sendiri.
Mendingan Meminjamkan Uang
Meski, sudah pernah ada artikel yang membagi tips cara menagih pinjaman buku. Namun, saya menyarankan lebih baik tidak meminjamkan sama sekali. Jujur saja, lebih baik saya dipinjami uang dari pada dipinjami buku.
Kalau nagih uang jelas alasannya karena butuh untuk jajan, makan atau urusan mendesak lain. Sementara kalau buku, saya suka bingung membuat alasan, karena si peminjam terlalu pandai berkelit dari tagihan buku.
Saya keranjingan membeli buku, tepatnya hanya membeli masih belum membaca sejak SLTA. Bagi saya, meminjam buku itu kurang asik, karena harus dikembalikan juga tidak bisa dilihat lagi jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Saya masih ingat buku yang pertama kali saya beli berjudul Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan.
Saat itu saya di pondok dan pembaca budiman mungkin sudah paham isi dari buku tersebut. Sejak saat itu, saya tidak lagi bisa menghitung berapa uang yang sudah dikeluarkan untuk belanja buku. Bahkan, jika dihitung mungkin sudah bisa dibelikan smartphone canggih kekinian.
Akan tetapi, ini semua bukan soal materi, uang masih bisa dicari sementara kenangan saat membeli buku itu mutlak. Di jurusan saya, memang terkenal banyak peminjam buku ulung, entah karena malas membeli atau memang sudah menjadi. Di samping itu, yang mengesalkan adalah ketika buku saya dipinjam lalu pura-pura mengembalikan. Kalau menurut catatan peminjaman sih, terhitung sudah 20 buku melayang. Nama-namanya masih ada, namun saya sudah malas menagih setelah berulang kali.
Biasanya kawan-kawan suka pinjam buku, tapi lupa mengembalikan. Kalau buku tidak penting sih mending, lah tapi semua buku itu penting. Apalagi novel yang nanti bisa jadi bahan untuk skripsian.
Fobia
Kejadian yang paling memuakkan masalah buku ini dilakukan oleh seorang kawan saat meminjam buku fenomenal karya Pramoedya, yaitu Tetralogi Pulau Buru. Sudah jelas buku itu langka dan mahal pula harganya. Ia dengan tega mengakui kalau itu bukunya. Padahal jelas, di halaman awal buku ada tanda tangan dengan tanggal pembelian buku yang jelas itu berasal dari tangan saya.
Lebih dark–nya lagi, ia membaca buku itu di depan saya. Saat berada di lapak baca gratis yang hanya boleh berada di tempat. Ia pamer buku Pramoedya itu. Katanya baru beli. Padahal itu milik saya, sungguh mengenaskan pura-pura lupa.
Setelah kejadian pelik tersebut, saya jadi fobia meminjamkan buku, lebih baik meminjamkan uang saja meskipun sama sama tidak jelas kapan kembali. Memang, beli buku itu pakai uang. Pasti banyak yang berkata, tinggal beli saja buku baru, tentu tidak semudah itu teman.
Buku baru memang banyak beredar di pasaran. Namun, beli buku baru sama dengan membaca dari awal. Sebab biasanya, pembaca buku akan setia membuat penanda pada kalimat atau kutipan penting dari buku. Selain buku mengandung banyak kenangan, goresan penting setiap inci di buku sulit dilakukan.
Editor: Nirwansyah
Comments