Permasalahan pelecehan dan kekerasan seksual pada akhir-akhir ini selalu menjadi berita hangat di berita dan media sosial. Dari pelaku yang ternyata adalah tetangga rumah, pelaku yang notabene adalah seorang ustad di salah satu pondok pesantren, pelaku adalah petinggi gereja, pelaku adalah seseorang yang disegani karena ilmu dan profesinya dan masih banyak lagi jenis pelaku dengan sederet latar belakangnya.
Namun, stigma yang berkembang di masyarakat sepertinya tidak relevan dengan fakta yang terjadi yang dialami. Perlu edukasi untuk memahami bahwa pelaku pelecehan dan kekerasan seksual adalah bisa siapa saja, tanpa memandang strata sosial sekalipun orang yang terhormat di mata masyarakat. Oleh sebab itu, tulisan ini sedikit akan memberikan penjelasan mengenai mitos dan fakta pelaku pelecehan dan kekerasan seksual.
Mengutip postingan dari instagram @rumahfaye setidaknya ada empat mitos dan fakta pelaku kekerasan seksual yang berdasarkan hasil riset dan kajian dari Komnas Perempuan sebagai lembaga yang mewadahi hak-hak perempuan.
Mitos pertama, pelaku kekerasan seksual adalah orang asing
Faktanya pelaku pelecehan dan kekerasan seksual seringkali dikenal korban dengan baik. Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2019, bahwa pelaku kekerasan seksual sebagian besar dikenal korban. Berdasarkan data kekerasan di ranah publik, Komnas Perempuan mencatat terdapat 2.521 kasus, 878 diantaranya dilakukan oleh tetangga dan 506 lainnya dilakukan oleh teman.
Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan tahun 2020, pelaku dalam ranah personal (privat) adalah orang yang memiliki hubungan darah (kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran).
Jika pelaku dan korban tidak memiliki hubungan kekerabatan, baik darah maupun perkawinan bisa jadi pelakunya adalah majikan, tetangga, guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang tidak dikenal. Tidak hanya itu, pelaku juga bisa jadi adalah aparatur negara.
Mitos kedua, pelaku pelecehan dan kekerasan seksual berpendidikan rendah
Faktanya, pelaku kekerasan seksual memiliki latar belakang pendidikan yang beragam. Tahun 2019 lalu, Tirto.id melakukan investigasi kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Dari investigasi ini, Tirto.id mengumpulkan 174 kesaksian penyintas dari 70 kampus di Indonesia. Dari 174 kasus tersebut pelakunya terdiri dari dosen, mahasiswa, staf, pastor, warga di lokasi KKN, hingga dokter di klinik kampus.
Berdasarkan CATAHU Komnas Perempuan, guru menjadi yang paling banyak, dalam hal berpendidikan, menjadi pelaku kekerasan seksual yaitu sebanyak 176 kasus. Hal ini menjawab mitos jika pelaku adalah berpendidikan rendah salah besar, karena faktanya seorang guru juga bisa menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak didiknya.
Mitos ketiga, pelaku pelecehan dan kekerasan sekual memiliki tampang kriminal
Faktanya, pelaku kekerasan seksual tidak dapat dikenali dari tampangnya, ada pelaku dengan tampang yang kelihatannya keren dan rupawan. Beberapa pelaku kekerasan seksual bahkan memiliki profesi yang mulia seperti guru, dosen, tokoh agama. Seperti profesi pelaku, lokasi kekerasan seksual banyak juga terjadi di perguruan tinggi, pesantren, sekolah, tempat ibadah dan tempat lainnya.
Contoh kasus yang sedang hangat diperbincangkan adalah kekerasan seksual yang dilakukan oleh eks pengurus gereja di Depok dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku yang notabene adalah seorang ustad di sebuah pesantren di Jombang tempatnya mengajar. Dari kedua permasalahan ini menjadi fakta, bahwa orang yang terpandang atau alim karena profesi yang diemban pun bisa menjadi pelaku kekerasan seksual.
Mitos keempat, pelaku kekerasan seksual memiliki masalah mental dan asosial
Faktanya, sebagian besar pelaku pelecehan dan kekerasan seksual tidak memiliki masalah mental dan memiliki hubungan sosial yang baik, bahkan pelaku pelecehan dan kekerasan seksual yang dikenal ramah, santun, simpatik dan menyenangkan. Meskipun ada pelaku kekerasan seksual yang memiliki masalah mental namun sebagian besar pelaku kekerasan seksual yang dikenal aktif di berbagai lembaga, mudah bergaul, memiliki jaringan yang kuat, santun dan menyenangkan.
Keempat mitos dan fakta tersebut tentu penting untuk merubah stigma masyarakat mengenai pelaku kekerasan seksual supaya lebih waspada; bahwa kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapa saja oleh siapa saja, kapan, dan dimana saja. Hal ini juga untuk menjadi benteng untuk melindungi diri untuk terhindar dari pelecehan maupun kekerasan seksual.
Comments