Secara mengejutkan, pandemi ini membuat saya sering kali mendapati Twitter user yang menumpahkan kisah pilu terkait kekerasan yang tengah dialaminya. Entah karena memang intensitas bermain Twitter saya meningkat ketika pandemi sehingga lebih sering memantau linimasa, atau justru peningkatan faktor lain. Tweet mereka terkadang sangat panjang, berisi kronologi kejadian, juga ada pula yang meminta bantuan. Hal ini membuat saya tersentak bahwa rupanya, selain sedang berada di situasi pandemi Coronavirus-19, saat ini kita juga sedang digentayangi oleh pandemi lain. 

Penyebaran novel Coronavirus telah menciptakan banyak sekali masalah yang harus dihadapi orang-orang. Belum terdapatnya vaksin dan pengobatan yang efektif untuk virus ini membuat pemerintah terpaksa memberlakukan karantina untuk mengurangi penyebaran penyakit tersebut. Namun, hal ini mengakibatkan konsekuensi serius. Studi menunjukkan bahwa risiko konsekuensi psikologis dan gangguan sosial yang serius meningkat seiring peningkatan durasi karantina. Situasi ini dikenal dengan paradoks karantina yang mencakup isu-isu seperti ketidakstabilan ekonomi, masalah kesehatan mental, isolasi, dan juga lonjakan kasus kekerasan berbasis gender yang dalam kondisi pandemi ini, sayangnya, seringkali diabaikan.

Pandemi dalam Pandemi

Pandemi lain yang sedang kita bicarakan disebutkan oleh Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Margaret Chan, dalam presentasi laporan global dan perkiraan regional kekerasan terhadap perempuan. Saat itu, Margaret menyatakan bahwa ‘violence against women is a global-health problem of epidemic proportions’. Ya, kekerasan terhadap perempuan adalah masalah kesehatan global. Kekerasan terhadap perempuan juga telah diakui oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB) sebagai “pandemi global”. Di tengah pandemi Covid-19, kompleksitas yang ditimbulkan oleh koeksistensi dua pandemi memperburuk risiko hasil negatif pada kesehatan dan kesejahteraan mereka yang sudah hidup dalam situasi rentan sebelum munculnya Covid ‐19.

Di Indonesia, lonjakan peningkatan kekerasan berbasis gender bahkan telah mencapai angka 75% (14.719 kasus). Dari kasus tersebut berdasar data menurut pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak (P2TP2A) dan Komnas Perempuan, total kekerasan pada perempuan yang paling banyak terjadi adalah jenis kekerasan fisik yang jumlahnya mencapai 5.548 kasus, kekerasan psikis 2.123 kasus, dan kekerasan seksual 4.898 kasus. Sedangkan kekerasan ekonomi mencapai 1.528 kasus dan kekerasan khusus terhadap buruh migran dan trafficking mencapai 610 kasus.

Kekerasan Berbasis Gender

Kekerasan Berbasis Gender (KBG) adalah sebuah istilah untuk menjelaskan berbagai macam bentuk tindakan kekerasan yang membahayakan atau mengakibatkan penderitaan pada seseorang, yang dilakukan berdasarkan perbedaan sosial termasuk gender laki-laki dan perempuan, yang dapat mengakibatkan penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran termasuk berupa ancaman, paksaan dan berbagai bentuk lainnya yang merampas kebebasan seseorang, baik di ruang publik/umum maupun dalam lingkungan kehidupan pribadi.

Konsep kekerasan berbasis gender atau gender violence sejatinya mengacu pada posisi subordinasi perempuan karena relasi keduanya mencerminkan powerless dan powerful, dengan kata lain, terdapat ketimpangan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki. Hal itu juga dapat terjadi dikarenakan sistem tata nilai yang mendudukkan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan lebih rendah dibandingkan laki-laki; perempuan masih ditempatkan dalam posisi subordinasi dan marginalisasi yang harus dikuasai, dieksploitasi dan diperbudak laki-laki, juga karena perempuan masih dipandang sebagai second class citizens.

Kesetaraan Gender dalam Quran

Saat ini, isu kekerasan terhadap perempuan tengah menjadi sebuah fokus kebijakan di seluruh dunia terutama pada umumnya di negara-negara yang sudah menghirup udara kebebasan berdemokrasi. Jika ditilik dari kacamata agama, kekerasan terhadap perempuan bukanlah tradisi Islam. Dr. Jamal Badawi dalam publikasinya berjudul “Gender Equity in Islam” mengindikasikan bahwa dalam keadaan apapun, Al-Quran tidak mendorong, mengizinkan, atau membenarkan kekerasan dalam keluarga atau penganiayaan fisik.

Kekhawatiran yang muncul tentang status perempuan dalam hukum Islam seringkali timbul dari representasi yang keliru dan kesalahpahaman tentang bagaimana wanita diperlakukan oleh syariat. Hal ini sering digunakan untuk memajukan gagasan bahwa Islam adalah agama yang misoginis. Padahal sehubungan dengan perspektif Islam tentang kesetaraan gender, Al-Qur’an menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba, sama-sama sebagai khalifah, dan sama-sama berpotensi meraih prestasi.

Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, karena masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan kadar pengabdiannya (QS. al-Nahl: 97). Keduanya juga disebut mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal (QS.Al-Hujurat:19).

Bahkan, Nabi Muhammad juga seringkali mendemonstrasikan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam aktivitas sosial, mulai dari kewirausahaan, politik sampai kepada peperangan. Pertanyaannya, ketika syariat sudah sejelas dan sekomprehensif ini, mengapa kekerasan berbasis gender masih terjadi? Apa kita belum menjadi muslim yang cukup baik dalam hal pengajaran dan implementasi syariat pada hidup kita sehari-hari?