Awan hitam tak henti-hentinya menyelimuti dunia pendidikan tanah air. Taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) tewas setelah dirundung dan dianiaya oleh seniornya. Niat mulia untuk menimba ilmu malah berbuah hilangnya nyawa. Apa memang sistem pendidikan di sekolah kedinasan harus selalu mengedepankan egoisme kekerasan? Ataukah sistem pendidikan yang humanis di sekolah kedinasan tak dibutuhkan atau memang tak lagi dilirik? Kabar ini benar-benar menyesakkan dada dan mencoreng dunia pendidikan Indonesia.

Lagi-lagi yang menjadi penyebabnya adalah “kebengisan senioritas” yang berlaku di sekolah. Saat pendidikan di era modern menekankan gaya yang lebih egaliter dan proporsional, tapi nyatanya tahun demi tahun tak ada perubahan yang signifikan dari sekolah tersebut, layaknya penyakit kronis yang tak kunjung sembuh.

Kasus tewasnya taruna STIP bukanlah kali pertama terjadi. Data historis menunjukkan sudah 4 orang menjadi korban kebengisan para senior sejak tahun 2008. Dalam kurun waktu 16 tahun entah berapa banyak korban yang dipaksa menelan bogem mentah hingga serangan maut lainnya. 

Berdasarkan hasil investigasi Kompas yang mewawancarai mantan taruna dan alumni menceritakan pengalaman pahit mereka yang kepalanya disundut rokok, dipaksa menelan duri ikan hingga dipaksa mencuri baju temannya secara sembunyi-sembunyi. Paling parahnya ada taruna nggak sanggup menyelesaikan pendidikan akibat ganasnya tindak kekerasan yang diterima.

Banyaknya para korban tentunya meninggalkan luka fisik dan psikis yang berdampak bagi keluarga yang ditinggalkan. Para keluarga pastinya memiliki keengganan untuk menyekolahkan kembali anaknya di sekolah-sekolah kedinasan, terutama yang menganut sistem militer atau semi militer. Hal ini nyata-nyatanya semakin memperparah image sekolah kedinasan yang acap kali identik dengan kekerasan. Padahal nyatanya tidaklah selalu demikian.

Fenomena “Hidden Bullying” & “Hidden Curriculum” 

Seperti yang sudah kita dengar dari eks pejabat STIP yang dibebastugaskan oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, bahwasanya segala bentuk perpeloncoan, perundungan, atau apalah namanya sudah dilenyapkan dari sekolah tersebut. Hanya kekerasan yang dilakukan dalam bentuk perorangan (person to person) dalam alias “tidak resmi” dan tersembunyi. Pernyataan ini sangat kontradiktif dengan hasil temuan di lapangan, bahkan dalam sejarahnya sudah 4 orang taruna STIP yang meregang nyawa, belum lagi yang menderita luka fisik dan psikis. Artinya memang warisan kekerasan ini sudah seakan-akan menjadi budaya sekolah turun-temurun. 

Perundungan dalam bentuk apapun tetaplah perbuatan haram. Mahasiswa atau taruna yang menjadi korban wajib melaporkan pada pihak terkait apabila hal ini terjadi, namun ada beberapa faktor yang menjadi persoalan seperti: 

  • Nihilnya kesempatan melapor akibat didahului oleh kekerasan dari senior
  • Keengganan korban untuk melapor karena takut akan ada hambatan dan ancaman dalam proses pendidikannya ke depan
  • Merasa skeptis tak akan ada perubahan apapun seandainya sudah melapor
  • Takut akan dikucilkan dari pergaulan
  • Malu karena akan dicap sebagai banci dan “tukang ngadu”

Instansi atau pihak internal sekolah harusnya memiliki kemampuan untuk melakukan pelacakan (tracking) terhadap aroma potensi kekerasan yang mungkin akan terjadi. Jangan sampai hidden bullying ini seakan menjadi sebuah kenormalan yang wajib dimaklumi, ini adalah kesalahan fatal. Tragedi kelam STIP ini harus jadi momentum untuk memusnahkan tradisi arogansi senioritas sebagai hidden curriculum yang ada di sekolah dan perguruan tinggi lainnya.

Pembinaan tak sama dengan perundungan dan kekerasan. Pembinaan ya tujuannya untuk membina dan membimbing siswa atau taruna, bukannya membinasakan siswanya. 

Psikolog dari University of Ljubljana, Slovenia Sonja Pecjak dan Tina Pirc mengungkapkan dalam hasil penelitiannya bahwa 79% dari 404 siswa kelas X SMA mengalami perpeloncoan secara tidak resmi di luar masa orientasi sekolah dan pihak sekolah membiarkan peristiwa tersebut.

Pihak internal sekolah atau kampus harusnya peduli dan memperhatikan hal ini. Cara yang bisa dilakukan adalah dengan membentuk satgas khusus anti perundungan, kekerasan, hingga tindak kejahatan seksual, seperti amanat Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021. Intinya harus ada perlindungan hukum terhadap seluruh siswa atau taruna di republik ini. Apakah hal ini sudah dilakukan? Wallahu a’lam.

Evaluasi & Transformasi Sekolah Kedinasan 

Ketika tragedi seperti ini terjadi, selalu kita dengar dari mulut pejabat kita ungkapan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya atau ucapan turut berduka cita. Ungkapan yang seakan-akan mendinginkan masalah, padahal sungguh kita semua muak dengan retorika omong kosong seperti ini. Lantas apa langkah berikutnya? Memenjarakan pelaku? Itu memang hal yang wajib dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban mereka. Lalu apa? Moratorium? Sampai kapan? Tak ada jaminan insiden buruk seperti ini akan terhenti. Evaluasi dan transformasi total menjadi kuncinya. Jika tidak melakukan hal ini, sama saja nol besar.

Minimal ada beberapa hal langkah cepat tanggap sementara yang dilakukan di antaranya pertama, pihak sekolah wajib memberikan kompensasi ganti rugi baik secara materil dan imateril kepada keluarga korban kekerasan dan perundungan. Kedua, melakukan moratorium hingga evaluasi selesai dilakukan. Terakhir, menutup sekolah selama-lamanya jika gagal melakukan pihak terkait gagal melakukan evaluasi dan transformasi sistem pendidikan sekolah tersebut.

Akhirnya semoga kita berharap ke depan tak ada lagi korban kasus kekerasan senior terhadap junior di seluruh kampus kedinasan kita, aamiin.