Pembajakan buku bukanlah hal yang baru dalam industri perbukuan. Tidak harus menunggu sebulan setelah buku terbit, Anda akan menemukan buku yang lebih murah di berbagai marketplace. Bahkan terdapat lapak khusus yang menjual buku bajakan, salah satunya seperti yang pernah saya jumpai di Kota Jogja. Bukan hanya itu, buku bajakan bersanding dengan buku orisinal juga pernah saya temui pada pameran buku yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Sayangnya, kondisi tersebut masih menjadi hal yang dianggap lumrah di kalangan pemangku kekuasaan. Hak cipta yang tercatat di halaman depan sepertinya hanya digunakan sebagai hiasan pada buku.
“Kalau ada yang murah, kenapa harus beli yang mahal. Toh isinya juga sama saja,” Kurang lebih seperti itulah ungkapan yang terlintas di benak seseorang ketika hendak membeli buku. Tanpa disadari, pemikiran sempit dan instan tersebut berdampak besar pada industri perbukuan. Dampak tersebut dirasakan secara langsung oleh pelaku penerbitan baik tim penerbit maupun penulis. Tinggal menunggu waktu industri buku akan mati ketika penulis produktif enggan menulis dan memilih beralih ke pekerjaan lain.
Salah satu penulis yang menyuarakan pembajakan buku ialah Tere Liye. Penulis dengan nama asli Darwis ini menjadi salah satu penulis favorit generasi Milenial. Pada akhir tahun 2020, Tere Liye menulis novel yang berisi sindiran mengenai pembajakan buku dengan judul Selamat Tinggal. Novel Selamat Tinggal mengisahkan seorang mahasiswa abadi yang membantu sang paman menjual buku bajakan. Akibat kesulitan ekonomi, ia harus menjaga toko buku sebagai imbal balik kepada sang paman. Kondisi tersebut bertentangan dengan idealisme yang ia pegang. Alhasil produktivitasnya dalam mengerjakan tugas akhir menurun dan tertunda selama bertahun-tahun.
Berikut fakta mengenai pembajakan buku dalam Novel Selamat Tinggal karya Tere Liye:
1. Penulis Paling Dirugikan
Penulis sebagai pengarang atau penggagas suatu buku tentu yang paling terdampak. Karya penulis yang telah dirancang berbulan-bulan dengan mudahnya dikutip oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, peredaran buku bajakan mengurangi royalti yang diterima oleh penulis. Bayangkan saja jika peredaran buku bajakan sejumlah 50% dari seluruh buku, tentu penulis mengalami kerugian 50% dari pendapatan yang sebenarnya. Membeli buku orisinal merupakan bentuk penghargaan kepada penulis. Maka jika belum mampu untuk membeli buku orisinal, cukup meminjam atau meminjam di perpustakaan online ataupun offline.
2. Uang Pelicin
Menjalankan bisnis pembajakan dibutuhkan perlindungan dari pihak berwenang dan sudah menjadi rahasia umum jika penegak hukum langsung tak berdaya ketika disodori beberapa lembar uang. Sebenarnya hal ini telah menjadi masalah birokrasi yang dinormalisasi di kalangan masyarakat. Penerbit dan penulis sudah bertahun-tahun melaporkan persoalan buku bajakan ke penegak hukum, namun mereka terus membiarkan pelanggaran hukum seperti ini terjadi.
3. Produksi Lebih Murah
Faktor produksi membuat buku bajakan dijual lebih murah daripada harga pasaran seharusnya. Produksi buku bajakan hanya meliputi biaya produksi secara umum tanpa perlu membayar pajak, ISBN, staff Penerbit, dan royalti. Bahan pembuatan buku bajakan jelas berbeda dari buku orisinal. Biasanya buku bajakan menggunakan kertas buram, tinta yang menyengat, hasil cetakan tidak terang, bahkan terkadang terdapat halaman yang hilang. Faktor-faktor tersebutlah yang menjadikan harga buku bajakan lebih murah dari buku orisinal. Seperti pepatah jawa yang mengatakan “ono rego ono rupo” yang berarti ada harga ada wujud.
4. Kejahatan Terstruktur
Pembajakan buku jelas merupakan kejahatan yang telah terstruktur sejak lama. Sama halnya dengan narkotika yang merusak generasi bangsa, nahas pembajakan tidak dianggap merusak generasi bangsa. Bisnis pembajakan buku ternyata telah turun menurun kepada anak cucu. Begitu pula pemasok buku yang terhubung dengan berbagai toko buku bajakan baik yang beroperasi secara online maupun offline. Selain itu, toko buku bajakan juga telah memiliki pasar yang dapat dengan mudah menghubungkan penjual ke konsumen.
Editor : Faiz
Gambar : Google
Comments