Sejauh yang saya tau, hampir semua kampus di Indonesia memiliki akun kampus cantik di platform Instagram. Biasanya akun-akun ini menggunakan tambahan kata cantik setelah nama kampusnya.
Sesuai namanya, akun ini dimaksudkan untuk memberikan ‘apresiasi’ pada setiap mahasiswa yang dinilai memiliki paras cantik dengan cara mengunggah ulang foto mahasiswa yang bersangkutan dengan caption berisi nama, asal jurusan/fakultas, dan angkatan.
Namun, di balik itu, ada beberapa hal yang justru membuat saya bertanya-tanya. Apakah benar adanya kampus cantik dimaksudkan untuk memberikan apresiasi bagi mahasiswa dengan paras cantik?
Lantas bagaimana dengan mahasiswa yang tidak memenuhi standar kecantikan dari akun tersebut? Apakah berarti mereka tidak cantik karena fotonya tidak diunggah sebagai bentuk validasi kecantikan mereka?
Apakah kemudian mereka tak layak untuk diapresiasi? Beberapa pertanyaan tersebut menjadi keresahan tersendiri untuk saya yang berakhir dengan dibuatnya tulisan ini.
Konstruksi Makna Kecantikan
Apa itu cantik?
Merupakan pertanyaan yang tepat sebagai awal menggali lebih dalam mengenai akar permasalahan hal ini. Seperti yang kita ketahui di setiap wilayah memiliki makna cantik yang berbeda satu sama lain.
Di Amerika Serikat, definisi cantik adalah ketika memiliki kulit kecoklatan. Sedangkan, di Afrika terdapat praktik melubangi bibir kemudian diberi lempengan, semakin besar lempengan maka semakin cantik wanita tersebut.
Begitu juga di negara kita, karena mayoritas berkulit sawo matang, maka dengan memiliki kulit putih dapat disebut cantik.
Kecantikan yang berkembang di masyarakat menciptakan pandangan bahwa cantik adalah bagian dari feminitas perempuan, penampilan fisik, tubuh, wajah, warna kulit, hingga atribut yang digunakan dapat mempengaruhi tingkat kecantikan.
Kecantikan tidak memiliki makna universal. Dengan kata lain, makna cantik tidak terbentuk secara alamiah, melainkan terbentuk melalui konstruksi secara sosial dan budaya.
Bagaimana perempuan menilai tubuhnya akan bergantung pada bagaimana lingkungan sosial di luar dirinya menilai tubuh perempuan.
Makna kecantikan terbentuk melalui produksi dan reproduksi secara terus-menerus hingga dianggap sebagai sesuatu yang wajar, sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan sebagai bentuk hegemoni.
Dalam kasus akun kampus cantik, admin akun bisa diibaratkan sebagai penguasa tertinggi dalam sistem. Ia berhak menentukan definisi cantik versinya sebagai filter utama.
Dari hasil pengamatan singkat saya, beberapa definisi perempuan cantik versi akun kampus cantik adalah representasi kecantikan fisik yang meliputi: kulit putih, langsing, fashion-able, ber-make up, dan modern.
Mahasiswa yang memenuhi kriteria tersebut menjadi kandidat yang fotonya akan di-upload di akun instagram mereka. Begitu seterusnya hingga menciptakan standar kecantikan milik mereka sendiri.
Kemudian bagaimana jika tidak memenuhi kriteria tersebut? Mudah saja, berarti mereka masih belum layak disebut cantik.
Komodifikasi Tubuh
Komodifikasi diartikan sebagai proses mengelola barang mentah menjadi sebuah produk yang memiliki nilai jual. Logika kapitalisme ini yang entah disadari atau tidak menyusup melalui praktik akun kampus cantik.
Akun tersebut diibaratkan sebuah etalase kosong yang selanjutnya akan diisi sebuah produk (baca: foto mahasiswa) yang dianggap akan laku dijual di pasar.
Perempuan cantik dijadikan sebagai objek yang memberikan kenikmatan visual bagi setiap orang yang melihatnya, terutama laki-laki.
Hasil dari ‘pameran etalase’ tersebut berakhir pada satu tujuan, meningkatnya engagement. Setiap foto yang diunggah akan mengundang interaksi bagi para pengikut akun cantik. Interaksi yang diberikan dapat berupa like dan/atau komentar di postingan tersebut.
Akhirnya yang terjadi adalah eksploitasi terhadap tubuh perempuan. Andreas (2019) mengatakan, ekploitasi perempuan dapat diidentifikasi melalui kecenderungan media dalam menampilkan perempuan, apakah menitik beratkan pada fitur tubuh tertentu (kecantikan/bentuk tubuh) atau figur personal dan peran sosial perempuan.
Sepanjang hidupnya, perempuan seakan diarahkan untuk mengejar kecantikan sebagai tujuan hidup. Lebih parahnya lagi, validasi akan kecantikan ini bukan berasal dari dalam dirinya, melainkan dari pihak di luar dirinya.
Dekonstruksi Sebagai Solusi
Filsuf asal Prancis, Jaques Derrida, meyumbangkan pemikirannya mengenai dekonstruksi. Derrida menjelaskan bahwa dekonstruksi adalah upaya untuk memahami kontradiksi yang ada dalam teks dan mencoba membangun makna baru yang melampaui konsep yang telah ada.
Mudahnya, dekonstruksi berusaha mencairkan ideologi yang telah mapan, mendestabilisasi makna dalam teks yang bersifat oposisi biner, seperti cantik & tidak cantik, hitam & putih, benar & salah, kemudian membangun kembali ideologi baru yang melampaui ideologi yang telah mapan.
Kembali dengan pertanyaan saya, mengenai apakah perempuan dianggap cantik jika berkulit putih dan fashion-able?
Apakah mahasiswa bisa dikatakan cantik jika fotonya telah diunggah oleh akun kampus cantik? Bagaimana jika fotonya tak diunggah, apakah itu berarti ia tidak cantik?
Apapun jawabannya, jika mengacu pada foto-foto yang diunggah oleh akun kampus cantik, maka dapat dipastikan bahwa kecantikan perempuan masih mengacu pada batasan-batasan yang berlaku di masyarakat. Ideologi inilah yang kemudian akan dicairkan melalui dekonstruksi.
Dengan dekonstruksi, tidak ada lagi oposisi biner yang dikotomis seperti cantik dan tidak cantik. Kriteria fisik dan penampilan tidak lagi menjadi sebuah standar dalam kecantikan, tidak ada lagi yang mendominasi dan terdominasi. Perempuan dianggap sebagai manusia seutuhnya (subjek).
Pemahaman mengenai kecantikan menjadi jauh lebih luas, tak terbatas hanya pada bentuk tubuh atau warna kulit. Melainkan pada bagaimana figur personal dan peran sosial perempuan.
Editor: Lail
Gambar: Pexels
Comments