Beberapa hari yang lalu di laman twitter, terjadi perdebatan mengenai cara pandang melihat orang kaya dan orang miskin.
Satu sisi ada pandangan yang melihat bahwa orang bisa menjadi kaya karena kerja keras individu si kaya tersebut, bukan karena privilege.
Begitu pula dengan orang miskin, pandangan ini melihat bahwa orang miskin karena tidak adanya kerja keras yang dilakukan si individu yang terlahir miskin ini.
Di sisi yang lain, ada pandangan yang melihat bahwa orang bisa menjadi kaya, itu karena privilege yang didapatkan. Contoh nya adalah karena dia lahir dari keluarga kaya atau keluarga menengah ke atas.
Begitu pula orang miskin, padangan ini melihat bahwa si individu menjadi miskin, bukan karena tidak bekerja keras, tapi karena tidak memiliki privilege, seperti orang kaya dengan privilege yang dimilikinya.
Tulisan ini akan mencoba mengkritik kedua pandangan tersebut, karena tidak memadainya suatu analisis yang dilakukan. Kritikan saya adalah kedua pandangan tersebut tidak melihat masalah yang lebih struktural-sistemik, yakni corak produksi kapitalisme.
Sukses karena Kerja Keras
Kritik pertama, bagaimana mungkin kita bisa menerima pandangan bahwa orang bisa menjadi kaya, hanya karena kerja keras? Jika seperti itu bagaimana kita menjelaskan kesuksean yang didapatkan Putri Tanjung anak dari pengusaha kaya Chairul Tanjung?
Apakah Putri Tanjung mendapatkan kesuksesannya hanya karena kerja kerasnya? Apakah memang tidak ada variabel ayahnya?
Apakah kegagalan yang dialami Putri Tanjung hingga menembus angka ratusan juta itu sama yang dirasakan dengan kegagalan yang dialami orang lain yang memulai usahanya dari nol?
Kompetisi Umat Manusia
Pertanyaan lebih kritis akan saya ajukan, yakni mengapa kondisi kehidupan kita menormalisasi iklim kompetisi antara sesama umat manusia?
Iklim yang mengharuskan untuk ada yang menang dan kalah. Sang pemenang pertandingan, disebut sebagai pengusaha kaya, dan yang kalah adalah pengusaha yang bangkrut?
Apakah itu adalah hal normal untuk diterima? Di sinilah penting pemahaman struktural akan corak produksi kapitalisme.
Corak Kapitalisme
Kapitalisme sebagai sistem totalitas hubungan produksi meniscayakan semua umat manusia tunduk pada mekanisme pasar.
Ini selaras yang dikatakan Ellen Meiksin Woods dalam bukunya “Asal Usul Kapitalisme”. Ia mengatakan kita harus melihat pasar sebagai suatu paksaan, dimana kehidupan kita, entah itu produk, atau bahkan tenaga kerja, harus mengikuti logika pasar.
Kita tahu bahwa logika pasar memgharuskan ada persaingan yang dilakukukan secara terus menerus. Entah itu persaingan dalam menjual komoditas barang, ataukah komoditas umat manusia.
Komoditas barang sudah lazim di kehidupan kita, tetapi yang lebih berbahaya adalah manusia, hanya dilihat sebagai seonggok komoditas yang diperjual belikan.
Mari kita tengok dalam hal persaingan untuk melamar kerja. Kita disuruh untuk saling menyikut entah itu teman, keluarga, ataupun orang lain hanya untuk mendapatkan pekerjaan. Apakah kita pernah mempertanyakan itu semua?
Berbicara tentang Privilege
Mengkritik posisi kedua yang mengatakan orang kaya karena privilege, dan orang miskin yang tidak memiliki privilege.
Kritik saya adalah bahwa memang benar orang bisa menjadi kaya, salah satunya karena privilege yang mereka dapatkan. Begitu pula dengan orang miskin. Dia miskin salah satunya karena tidak memiliki privilege.
Tetapi analisa yang demikian jauh dari analisa struktural-sistemik, karena kita hanya melihat masalah dalam problem individual, bukannya struktural.
Miskin karena Sistem
Orang yang menjadi miskin, sebenarnya dimiskinkan oleh satu sistem produksi kapitalisme, di mana ini bukan hanya soal dia tidak memiliki privilege, atau karena dia malas bekerja.
Hal ini dikarenakan dalam kapitalisme meniscayakan suatu dunia yang kompetitif. Lihat saja para pekerja buruh industri, mereka bekerja dari biasanya pagi sampai sore bahkan malam karena lembur.
Tetapi apakah dia bekerja selama itu membuat dia menjadi kaya? Tentu tidak, anehnya yang menjadi kaya adalah orang-orang yang sama sekali tidak bekerja, yakni para kapitalis.
Bagaimana mungkin bisa terjadi sumber kekayaan suatu bangsa dengan hadirnya barang diciptakan oleh pekerja, tetapi kondisi pekerja terjerat pada kemiskinannya.
Statistik Kekayaan
Data lembaga keuangan Credit Suisse, bertajuk Global Wealth Databook 2021, yang terbit pada pekan lalu menyebut jumlah orang kaya di Indonesia melonjak 61,69% pada 2020 dibandingkan tahun sebelumnya.
Yang termasuk dalam kategori itu adalah penduduk dengan kekayaan bersih lebih dari US$ 1 juta atau Rp 14,5 miliar. Jumlahnya mencapai 171.740 orang pada 2020.
Untuk penduduk dengan kekayaan lebih dari US$ 100 juta atau Rp 1,45 triliun pada tahun lalu mencapai 417 orang. Jumlah ini naik 22,29% dibandingkan 2019.
Laporan tersebut juga menunjukkan jumlah miliuner dunia diperkirakan mencapai 56,1 juta orang pada akhir 2020. Angkanya naik 5,2 juta dibandingkan tahun sebelumnya.
Kembali ke Indonesia, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah orang miskin semakin bertambah sejak pandemi. Angkanya pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang, meningkat 1,63 juta orang dari September 2019
Berangkat dari itu, tulisan ini bertujuan untuk mewacanakan bahwa kita perlu suatu analisa strukutral nan sistemik melihat problem-problem hari ini.
Bukan hanya soal kemiskinan, tetapi soal perampasan tanah petani, pengangguran dan ketimpangan yang terus meningkat, serta masifnya pekerja-pekerja informal.
Bagi saya, hanya dengan berangkat dari analisa strukutral sistemik, kita bisa melihat masa depan yang lebih cerah dari saat ini!
Editor: Lail
Gambar: Pexels
Comments