Dewasa ini, mungkin sudah tak terhitung berapa jumlah kendaraan yang berseliweran di jalan raya, mulai dari yang menggunakan kendaraan pribadi ataupun para pengguna transportasi umum. Mungkin bisa mencapai ratusan ribu bahkan jutaan unit jumlahnya. Saya sendiri tak tahu persis berapa jumlah yang sebenarnya.

Meskipun zaman sudah semakin maju, saya sendiri tak memiliki kendaraan pribadi hingga saat ini. Ketiadaan kendaraan pribadi ini juga berlaku pada keluarga saya yang tinggal di Bandar Lampung. Dengan demikian, mau tak mau saya dan keluarga harus mengandalkan kendaraan umum ketika hendak bepergian.

Selama menjadi pengguna transportasi umum selama kurang lebih dua dekade, ada banyak hal yang saya rasakan. Oleh karena itu, saya akan memaparkan manfaat yang didapatkan oleh pengguna transportasi umum di dalam tulisan ini.

Para Pengguna Transportasi Umum Dapat Beristirahat Selama di Perjalanan

Selama tinggal di Jakarta, saya sudah sering merasakan yang namanya kemacetan. Pada setiap waktu pagi atau petang, jalanan di kota metropolitan pasti akan dipadati oleh serdadu kuda besi (sepeda motor dan mobil). Meskipun demikian, pernah juga jalanan terasa lengang pada waktu-waktu tertentu. Namun, kemungkinannya tipis sekali, yakni di bawah 1 persen.

Dalam situasi tersebut, pasti yang namanya lelah akan menyerang badan dan pikiran. Badan terasa lelah karena pegal menunggu kendaraan keluar dari antrean sembari menahan pedal gas kendaraan. Sementara pikiran terasa lelah karena suntuk menunggu dan menahan emosi dari ulah segelintir oknum yang suka menyerobot atau melanggar peraturan lalu lintas.

Rasa lelah tersebut setidaknya dapat direduksi dengan menggunakan kendaraan umum. Kalau memang lelah, paling-paling hanya muncul dari lamanya duduk atau berada di dalam kendaraan.

Jika memungkinkan, saya bisa sekalian beristirahat di dalam kendaraan umum. Oleh karena itu, saya biasanya memilih kursi terdepan (di samping supir) atau terbelakang di dekat kaca ketika naik angkot. Sementara di dalam moda transportasi berupa bus, saya akan memilih tempat duduk dekat jendela. Pada spotspot tersebut, saya bisa merebahkan atau mengistirahatkan sendi-sendi yang lejar.

Setali tiga uang, bisa beristirahat di perjalanan juga menjadi alasan salah satu kakak tingkat saya untuk menggunakan transportasi umum. Meskipun mempunyai motor, beliau kerap naik angkot ketika berangkat atau pulang dari kampus.

Belajar Mengatur Keuangan

Sebagai pengguna transportasi umum, barang tentu saya harus membayar ongkos ketika menggunakan jasa tersebut. Besarnya ongkos tergantung kepada jarak dan juga jenis kendaraannya.

Jika tidak diatur sedemikian rupa, yang namanya ongkos bisa menggerogoti uang di rekening secara perlahan. Oleh karena itu, saya melakukan beberapa strategi agar hal tersebut tidak terjadi. Misalnya, seperti berjalan kaki jika tempat yang dituju tergolong dekat atau menahan pergi ke suatu tempat jika tak urgen.

Melatih Kesabaran

Selama saya menjadi pengguna transportasi umum, terdapat cukup banyak hal yang menguji kesabaran. Sebut saja seperti berdesak-desakan di dalam kendaraan atau menunggu kendaraan yang tak pasti datangnya.

Di samping itu, kesabaran saya sebagai pengguna setia transportasi umum juga diuji dari lingkungan. Ada kalanya saya menerima semacam cemoohan dari beberapa orang. Isinya sih menyuruh saya untuk membeli kendaraan pribadi (terutama motor).

Berbagai ujian kesabaran tersebut berhasil saya lewati. Saya tetap tak memiliki kendaraan pribadi serta setia menggunakan transportasi umum hingga saat ini. Meskipun demikian, saya juga menyadari jika suatu saat nanti saya mungkin harus memiliki kendaraan pribadi. Akan tetapi, saya belum memiliki uang serta kebutuhan yang terbilang urgen untuk membelinya.

Ah, saya jadi rindu dengan yang namanya jalan-jalan dengan transportasi umum. Saya ingin menikmati suasana Jakarta dari balik kaca angkot atau busway seperti dahulu. Semoga saja pandemi Covid-19 bisa segera berakhir dan kita dapat menikmati layanan transportasi umum dengan normal kembali.

Editor: Nirwansyah

Ilustrasi: Otomotif – Tempo.co