Judul Buku: Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur (Memoar Luka Seorang Muslimah)

Pengarang: Muhidin M. Dahlan

Penerbit: ScriPtaManent

Tahun Terbit: 2021 (Cetakan ke-22)

Halaman: 261 halaman

“Biarlah aku hidup dalam gelimang api-dosa. Sebab, terkadang melalui dosa yang dihikmati, seorang manusia bisa belajar dewasa.”

Begitulah penggalan yang ada di halaman awal buku. Novel ini menceritakan kehidupan seorang mahasiswi bernama Nidah Kirani. Kiran, begitu ia akrab dipanggil. Ia merupakan seorang mahasiswi Kampus Barek, Yogyakarta. Kiran mempunyai keinginan yang sangat tinggi untuk mendalami agama Islam.

Alur Cerita Novel

Pada mulanya, Kiran belajar di sebuah pondok bernama Pondok Ki Ageng. Di sana, ia mulai belajar tentang agama Islam. Namun, di sana ia hanya belajar Islam sebatas ritual dan ibadah saja. Kiran mulai tertarik dengan kelompok Jemaah. Kelompok ini berjuang untuk mendirikan Daulah Islam di Indonesia. 

Singkat cerita, Kiran pun akhirnya dibaiat menjadi anggota Jemaah. Namun, apa yang ia dapat di dalam Jemaah itu sangatlah berbeda dengan apa yang ia harapkan. Kelompok Jemaah itu seolah merampas nalar kritisnya, ketika ia bertanya tentang Islam dan politik. Jawaban yang ia terima hanyalah, “Ngapain kamu nanya-nanya begitu? Belum waktunya,” begitulah jawaban tetua Jemaah.

Kiran mempunyai peran yang lumayan besar dalam kelompok Jemaah tersebut. Ia mampu menggalang massa dari kampung halamannya untuk menjadi anggota Jemaah. Bahkan, tetangganya yang sudah dibaiat itu sampai rela menyetorkan sejumlah uang untuk kas perjuangan. Namun, kelompok Jamaah masih stagnan dan tidak mempunyai gerakan yang pasti dan nyata. Jemaah pun tidak pernah mengadakan sesi diskusi tentang gerakan mereka kepada anggotanya.

Merasa sudah tidak lagi sejalan dengan gerakan Jemaah, Kiran melarikan diri dari pos tempatnya tinggal. Ia mengungsi di sebuah kost berukuran sederhana.  Di kamari kost tersebut ia meratapi masibnya yang telah “disia-siakan” oleh Jemaah. Ia juga mulai mencerca Tuhan dan menganggap Tuhan telah lalai dengan tanggung jawabnya. 

Dalam situasi yang pelik itu, ia bertemu dengan kawannya Hudan Hidayat. Dari Hudan, Kiran mulai mengenal candu yang dulu ia sebut dengan obat setan. Dunia malam pun mulai akrab dengan Kiran juga. 

Kiran akhirnya berpacaran dengan seorang aktivis “kiri” yang dulunya dikenal kritis dalam forum, bernama Daarul Rachim. Karena akrab, mereka saling mengunjungi kost satu sama lain. Hingga suatu ketika, ketika di kamar kost mereka tergoda oleh rayuan iblis dan terjadilah sebuah tragedi. Mereka pun memacu syahwat guna mencapai kenikmatan duniawi. 

Suatu ketika, mereka berdua mengikuti demo yang berakhir kacau dan ricuh. Mereka selamat, tetapi itu adalah akhir dari komunikasi mereka berdua. Kiran mulai khawatir. Sebab, gua garbanya sudah beberapa kali dibobol oleh Daarul. Ia takut hamil. Mulai saat itu, Kiran sudah mati rasa dengan yang namanya laki-laki. Sebab, dari sekian banyak lelaki yang menjalin hubungan dengannya, tujuannya hanya satu, menikmati gua garbanya.

Perasaan kecewa kepada laki-laki yang terpendam dalam batinnya itu sangatlah dalam, sedalam kekecewaannya pada Tuhan. Ia melanjutkan hari-harinya di jalanan, dengan hisapan candu di tangan, dan berhubungan badan dengan berbagai pria. Bahkan ia pernah menolak pinangan dari seorang pria yang tulus mencintainya. Akibat penolakan tersebut, ayahnya meninggal sebab mengetahui kelakuannya yang sering memacu syahwat dengan banyak pria.

Ketika Kiran hendak menyelesaikan tugas skripsinya yang terbengkalai, ia mencoba langkah alternatif dengan “melayani” dosen pengujinya, Pratomo Adhi Prasodjo atau yang akrab disapa Pak Tomo. Di samping memuluskan jalan skripsinya, dari Pak Tomo-lah Kiran mendapatkan pengalaman yang baru.

Kiran akhirnya mengetahui sindikat pelacuran di wilayahnya, Yogyakarta. Ia bahkan mengetahui jaringan pelacuran di kalangan pejabat negara. Dari dosennya pula ia mengetahui, bahwa sekelas politisi dari Partai “Islam” sekalipun tak lepas dari sindikat pelacuran. Sejak saat itu, Kiran resmi menjalani profesi barunya sebagai seorang pelacur dan Pak Tomo sebagai germonya.

Mulai saat itu, Kiran benar-benar menjalani dan menikmati profesi barunya. Ia pun tidak lagi menghiraukan panggilan Tuhan. Ia heran dengan manusia yang pergi shalat ke masjid maupun kebaktian ke gereja. Ngapain aja sih mereka? Tak lupa, Kiran juga berkata pada Tuhan, “Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! Biarlah aku hidup dalam gelimang api-dosa.” Dalam setiap memulai pekerjaanya, ia selalu “meminta izin” kepada Tuhan.

Kontoversi Judul Novel “Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur”

Novel ini sangatlah bagus untuk dibaca. Muhidin menceritakan detail demi detail kesahnya dengan bahasa yang enak untuk dibaca. Walaupun dalam beberapa bagian, ada beberapa kosa kata yang masih asing di telinga orang awam. Nampaknya, Muhidin menggunakan taktik ini untuk menghindari kesan “tabu” pada novelnya yang ketika kita baca judulnya saja sudah tabu.

Penggambaran tokoh dan juga latar pun dikisahkan sangatlah mirip dengan kehidupan. Bahkan ada beberapa yang menggunakan nama asli, sebut saja penggunaan latar kota Yogyakarta. Hal ini memicu terjadinya berbagai kontroversi yang menyelimuti novel ini.

Kontroversi yang pertama yang pasti dan sangatlah menonjol adalah penggunaan judul. Banyak kalangan yang menganggapnya tabu untuk dijadikan sebuah tajuk. Kalangan yang lain juga menilai dari judulnya sudah sangat merepresentasikan bahwa sang penulis adalah orang “kafir.” Ada pula yang mengatakan bahwa novel ini adalah agenda untuk merusak akidah umat Islam. Bahkan, ada segolongan kelompok Islam yang merasa tersudutkan dengan adanya novel ini.

Tak berhenti sampai di situ, penggunaan julukan dari nama-nama kampus yang ada juga menjadikan kontroversi selanjutnya. Bahkan pernah ada kejadian, ada seorang mahasiswi yang ijazahnya ditahan oleh pihak kampus, karena diduga dia adalah seorang Nidah Kirani.

Terlepas dari segala kontroversi dan tudingan miring kepada novel ini, saya secara pribadi tidak terlalu berpikir “jelimet.” Menurut saya, dari jenis karangannya saja kita sudah tahu bahwa ini novel. Sekali lagi, ini adalah novel. Seperti yang sudah mafhum di kalangan kita semua, bahwa novel hanyalah karangan dari manusia berupa goresan cerita yang ada dalam imajinasinya.

Saya pribadi hanya menganggap apa yang ada dalam novel ini sebagai bagian dari hiburan atau bacaan ringan saja. Toh, menurut saya setelah membaca novel ini juga tidak akan mempengaruhi iman seseorang. Kecuali jika orang itu lemah imannya. Dengan membaca novel, saya malah terhibur dan sejenak melupakan beban pikiran yang ada. 

Terakhir, keputusan untuk membaca atau tidak itu kembali kepada masing-masing pribadi. Yang jelaas, ketika belum membaca jangan memberikan judge yang buruk dulu ya. Dalam bab paling belakang, penulis novel “Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur” memberikan pembahasan tersendiri dengan tajuk “Yang Memuji, Yang Mengutuk.” Salah satu di antara yang saya kutip yaitu “Seorang penulis itu ibarat pembuat pisau. Pisau yang sudah berpindah tangan dan disalahgunakan, apakah pembuat pisau harus bertanggungjawab? Bukankah itu kesalahan pengguna?” Wallahu A’lam bish-Shawab.

Editor: Ciqa

Gambar: Google