Budaya Madura tersaji dalam karya Muna Asyari.
Sebagai orang keturunan Suku Madura yang hybrid dan tidak tinggal di Pulau Madura atau diaspora atau jika meminjam istilah dari Tretan Muslim dan Habib Husein, Madura Swasta. Saya selalu ingin mencari seperti apa sih sebenarnya tanah garam yang dijanjikan itu? (Wuih udah kayak Yerusalem aja pake dijanjikan segala). Karena memang belum pernah menginjakkan kaki di pulau tersebut dan tidak punya sanak saudara yang tinggal di sana. Maka saya mencari-cari “Madura” itu dalam berbagai media.
Saya membeli sebuah buku tebal berjudul “Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940” karya Kuntowijoyo. Baru melihat tebalnya saja otak sudah lelah terlebih dahulu ini adalah buku non fiksi sehingga buku itu sampai sekarang baru beberapa lembar saja yang sudah saya baca. Dalam pencarian akar jati diri ini, akhirnya saya menemukan dua buah buku yang ringan dan menyenangkan untuk dibaca dengan tema yang kental sekali dengan budaya Madura.
Dua buku tersebut adalah dua buku fiksi karya Muna Masyari, seorang penulis asli Madura dengan berbagai prestasi. Buku Muna Masyari pertama yang saya baca adalah Kumpulan Cerpen berjudul “Rokat Tase’” dari judulnya saja sudah menggunakan bahasa Madura dan itu yang membuat saya tertarik. Kumpulan cerpen yang baru saja menerima penghargaan sastra dari Kemendikbud kategori Kumpulan Cerpen ini berisi 20 cerpen Muna Masyari yang sebagian besar diantaranya sudah pernah tayang di berbagai media seperti Kompas, Majalah Majas, Jurnal Nasional, Republika, Basabasi.co, dan banyak lagi.
Bahkan salah satu cerpennya yang berjudul “Kasur Tanah”, dinobatkan sebagai cerpen terbaik Kompas 2017. Kasur Tanah sendiri bercerita tentang tradisi Sortana dalam masyarakat Madura. Sebuah tradisi menghaturkan seperangkat perabot seperti cangkir kepada seorang kiai atau guru ngaji setelah ada sanak saudara yang meninggal. Menurut yang tertulis di dalam cerita, Sortana berfungsi sebagai sedekah jariyah dan juga pengingat bagi yang sudah meninggal.
Dalam 20 cerpen yang terdapat di Rokat Tase’ semuanya kental dengan budaya maupun kondisi geografi di Pulau Madura. Membaca kumpulan cerpen ini seperti diajak untuk berjalan-jalan menikmati alam sekaligus mengenal adat istiadat masyarakat setempat.
Buku kedua dari Muna Masyari yang saya baca adalah sebuah novel berjudul “Damar Kambang”. Saya awalnya tertarik pada novel ini saat tahu bahwa Damar Kambang masuk 5 besar nominasi Kusala Sastra Khatulistiwa 2020-2021. Damar Kambang bercerita tentang sosok Cebbhing, seorang gadis belia berumur 14 tahun yang menjadi korban dari adat yang dijunjung tinggi oleh keluarganya. Pernikahannya dengan Kacong dibatalkan sepihak hanya karena permasalahan hantaran. Novel ini membuat saya kembali berpikir lagi tentang makna adat dan tradisi. Apakah tradisi harus tetap dijunjung tinggi meskipun ternyata malah menimbulkan korban tak berdosa?
Novel ini penuh dengan konflik dan intrik, mulai dari praktek tradisi yang menimbulkan korban, pertarungan mistis antara dukun dan kiai, serta isu patriarki yang sangat kental. Novel ini ditulis dengan sudut pandang orang pertama dari beberapa tokoh wanita di novel tersebut, namun yang menjadi tokoh utama tetaplah sosok Cebbhing.
Mungkin teman-teman mengira bahwa Cebbhing adalah nama seseorang, namun di dalam bahasa Madura, Cebbhing itu berarti anak perempuan atau dalam bahasa Inggris disebut Daughter, sedangkan Kacong adalah anak laki-laki atau Son. Mungkin Muna Masyari sengaja menamai tokohnya Cebbhing dan Kacong agar kental sekali suasana Maduranya, atau mungkin juga Muna Masyari ingin menunjukkan bahwa tragedi serupa yang dialami oleh Cebbhing dan Kacong juga dialami oleh sebagian besar anak perempuan dan anak laki-laki di Madura.
Entahlah yang mana, namun yang jelas kedua ini merupakan buku yang sangat saya rekomendasikan untuk dibaca siapapun, bukan hanya untuk orang Madura atau Madura Swasta seperti saya. Tanpa perlu saya katakana bahwa ini adalah karya yang sangat bagus dan masterpiece, prestasinya sendiri sudah berbicara.
Editor : Hiz
Comments