Pedagang sapi di Madura, apa kabarnya?

Keberadaan sapi memang sulit dipisahkan dengan jati diri masyarakat Madura. Berdasarkan literatur yang saya baca, sapi madura sudah ada sejak tahun 1386 yang dimanfaatkan sebagai alat membajak sawah. Selain itu, sapi madura juga menjadi media penyebaran nilai agama melalui tradisi karapan sapi. Sebab, sebelum karapan sapi dimulai terdapat prosesi pembacaan doa dan sholawat.

Oleh karenanya, tidak mengherankan jika masyarakat Madura menjaga keberadaan sapi madura hingga sekarang. Menurut informasi dari guru bahasa Madura saya, bahwa terdapat regulasi yang mengatur perdagangan sapi madura. Yakni, pedagang sapi di Madura dilarang menjual sapi dari luar Madura. Sehingga, ketika saya sering kali melewati pasar sapi di Sumenep, para pedagang hanya menjual sapi madura.

Proses penjualan sapi di Madura bisa dibilang unik. Sebab, pedagang sapi tidak sekadar menjual sapinya di satu tempat. Kenapa bisa begitu? Jadi begini, saya coba jelaskan regulasi perdagangan sapi di Madura. Di setiap Kabupaten Madura, beberapa daerahnya memiliki pasar sapi. Kemudian, setiap pasar sapi tersebut memiliki hari tertentu dalam membuka proses perdagangan sapi.

Saya sendiri kurang memahami sejarah dari adanya regulasi semacam itu. Namun, saya sempat ngobrol dengan teman saya yang kebetulan pedagang sapi. Saya bertanya, “Kenapa saat menjual sapi kok setiap hari beda pasar sapi?” Teman saya berkata, “Enggak tahu pasti. Tapi, kalau jualannya hanya di satu lokasi, pemasukannya kurang menguntungkan. Makanya jualannya di berbagai pasar.”

Mendengar jawaban tersebut, saya justru semakin penasaran dengan keuntungan yang dihasilkan. Maka, saya mengajukan pertanyaan kembali ke teman saya, “Dalam satu minggu dapat keuntungan berapa?” Jawaban dari teman saya cukup menggiurkan karena dalam satu minggu bisa mendapatkan keuntungan hingga jutaan.

“Wah, gokil juga pendapatan sebesar itu. Pendapatan PNS bisa jadi tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan pedagang sapi,” ujar saya kepada teman saya. Namun, saya jadi aneh dengan raut muka teman saya yang tiba-tiba membeku. Apakah perkataan saya tadi salah? Padahal, kalimat barusan adalah pujian kepadanya.

Setelah saya telisik, ternyata teman saya lagi kesusahan di masa pandemi ini. Covid-19 telah menurunkan pendapatannya dalam berdagang sapi. Animo masyarakat untuk membeli sapi di pasar sapi cukup menurun saat ini.  Bagi saya, itu adalah sebuah kewajaran. Mengingat, pasar memang menjadi ruang yang ganas sebagai penyebaran virus Covid-19. Sering kali, saya melihat pedagang atau pembeli tidak menggunakan masker di pasar.

Saya ikut membayangkan kesedihan dari teman saya. Katanya, dua sapi dalam seminggu bisa laku terjual sebelum pandemi. Berbanding jauh ketika pandemi, laku dua ekor saja merupakan rezeki melimpah dari Tuhan. Belum lagi, teman saya dan beberapa pedagang lainnya bisa dikatakan tidak mengambil keuntungan banyak dalam penjualan sapinya sekarang. Para pedagang harus ikhlas menurunkan harga jualnya, agar laku dibeli oleh pembeli.

Ditambah lagi dengan masa PPKM di bulan Juli kemarin. Hal itu menjadi tamparan yang mengiris hati pedagang sapi di Madura. Seharusnya bulan Juli merupakan bulan yang berkah bagi para pedagang sapi, lantaran bertepatan dengan Idul Adha. Setiap mendekati hari Idul Adha, masyarakat akan berbondong-bondong pergi untuk membeli sapi.

Tetapi, pemandangan indah ketika terjadi transaksi jual beli  dan senyum bahagia dari pedagang sapi tidak saya temukan di masa PPKM. Bahkan, pasar sapi dekat rumah saya menjadi begitu sepi ketika saya melewatinya. Mulut saya hanya membisu ketika melihat kondisi nestapa tersebut. Hati saya hanya berujar, “Tuhan, apakah tidak terlalu berat ujianmu pada pedagang sapi? Mereka hanya ingin menghidupi keluarganya dari penjualan sapi.”

Hanya saja dibalik kesedihan saya, juga terselip rasa haru dengan pedagang sapi di Madura yang masih  gigih dalam memutar otak untuk memenuhi perekonomian keluarganya. Beberapa pedagang sapi  memanfaatkan kemajuan teknologi dalam berdagang sapi saat ini.

Prosesnya cukup sederhana: pedagang meminta bantuan pada kerabat atau temannya untuk mempromosikan sapinya ke orang lain. Kemudian jika ada pembeli yang tertarik, akan diberi nomor pedagang sapi tadi. Selanjutnya, pembeli akan meneleponnya, dan dari situ mulai terjadi transaksi tawar-menawar.

Meski kemajuan teknologi memudahkan proses berdagang sapi, ternyata pedagang sapi tetap merasa tidak bisa mengambil untung banyak, bila dibandingkan saat menjualnya di pasar. Belum lagi dengan pedagang sapi yang enggan untuk memanfaatkan kemajuan teknologi dalam menjual sapinya. Ternyata, masih ada pedagang sapi yang menilai pemanfaatan teknologi saat menjual sapi bisa merusak nilai budaya.

Melihat konstelasi pedagang sapi yang merasa kurang nyaman dalam pemanfaatan teknologi, justru membawa saya pada posisi yang bahagia. Soalnya, saya masih memiliki harapan kedepannya bisa melihat pasar sapi kembali sesak oleh pembeli dan pedagang. Dan pemandangan itulah yang saya harapkan semoga cepat terjadi kembali. Sungguh, saya berharap Covid-19 semoga lekas berlalu.

Eh, tapi, apakah Indonesia bisa segera melewati badai Covid-19? Entah lah. 

Editor : Hiz

Foto : Dinas Peternakan Madura