Penulis Madura melawan dunia ~

Orang Madura menjadi etnis yang menarik untuk diperbincangkan. Terlihat dari banyaknya toko buku yang menjejalkan buku  tentang Madura. Namun, dari berbagai buku tentang Madura, buku yang ditulis oleh penulis Barat masih menjadi literatur utama bagi masyarakat. Mengapa bisa begitu? Karena, masyarakat Indonesia masih menilai penulis dari Barat lebih berkualitas dan berkompeten.

Padahal, buku Madura yang ditulis oleh orang Barat bersifat kontroversial. Sebab, penulisnya tidak memahami budaya masyarakat Madura secara menyeluruh. Mereka hanya tinggal sementara di Madura untuk mencari data sebagai sumber bahan tulisannya. Sehingga, hasil tulisannya tidak mendalam dan terkesan menyudutkan masyarakat Madura

Karena itulah, buku tersebut semakin memperburuk jati diri masyarakat Madura di mata orang. Tidak mengherankan ketika saya pergi merantau ke luar Madura untuk mencari ilmu pengetahuan, beberapa teman saya sering bertanya, “Kenapa orang Madura kok kasar?” Saya cukup tersentak mendengar pertanyaan itu. Bagaimana tidak tersentak, ketika saya sendiri selaku orang Madura merasa nyaman hidup di Madura.

Hati saya hanya berujar,”Ah, mereka ini tahu apa tentang Madura. Palingan menilai kerasnya orang Madura dengan pengetahuan yang sempit.” Memang benar jika Madura dikenal dengan caroknya. Tetapi, carok tidak selamanya  berorientasi buruk. Ada nilai positif dari carok yang tidak terjamah oleh pandangan masyarakat luar Madura.

Oleh karenanya, keadaan yang menyudutkan status masyarakat Madura, membuat intelektual Madura merasa gusar. Dengan begitu, intelektual Madura coba melakukan perlawanan dengan cara yang elegan, yakni dengan menulis buku. Bagi saya ada 2 penulis  Madura yang bukunya berkompeten. Pertama, Mien Ahmad Rifai dengan bukunya berjudul Manusia Madura. Kedua, A. Latief Wiyata dengan bukunya berjudul Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura.

Kedua buku itu mampu menghasilkan khazanah pengetahuan tentang masyarakat Madura secara cemerlang, jernih, dan berkelas. Tercerminkan ketika isi bukunya membahas jati diri masyarakat Madura yang selama ini terabaikan. Seperti, karakter masyarakat Madura yang memiliki tata krama tinggi dengan sesama manusia. Dan melihat carok sebagai tindakan yang tidak selamanya buruk, karena terdapat nilai romantisme dan solidaritas di dalamnya.

Hanya saja, saya melihat kehadiran kedua buku tersebut tidak bermanfaat secara luas. Lantaran, masyarakat luar Madura masih memandang sebelah mata masyarakat Madura. Kondisi itu saya ketahui saat diceritakan oleh sahabat saya dari Sumenep. Entah apa yang merasuki sahabat  saya, karena tiba-tiba saja dia menelepon saya. Awalnya, saya tidak menghiraukan panggilannya. Mengingat saya sedang tenggelam dengan buku bacaan.

Dia tetap kekeh menelepon saya. Hingga membuat handphone saya bergetar tak kunjung usai. Alhasil, saya tidak tahan untuk menjawab teleponnya. Sahabat saya langsung berujar jika ingin bercerita tentang kekesalannya terhadap teman kampusnya. Saya menanggapinya dengan bertanya, “Lah, kenapa temanmu dan apa urusannya denganku?”

“Jadi begini, Bro. Saya kesal saat teman saya mengatakan kalau orang Madura ternyata gaya berpikirnya masih kolot,” jawab teman saya. Saya coba menenangkan diri dan merespon sahabat saya “Kenapa teman kamu bisa bilang begitu?”

Sahabat saya akhirnya cerita panjang lebar “Soalnya, temanku ini terheran-heran dengan masyarakat Madura yang tidak percaya dengan corona. Sudah jelas-jelas kasus corona di Madura meningkat, malah emosi dan tidak mau di tes antigen. Bahkan, melakukan demo di tengah pandemi. Lebih parahnya lagi, masyarakat Madura masih aja keras. Masak zaman sudah canggih, orangnya masih ada yang jadi begal dan suka tengkar.”

Saya masih coba meresponnya dengan kepala dingin “Apa kamu tidak memberikan pencerahan kepada teman kuliahmu itu?” Sahabat saya langsung menjawab “Sudah. Sebagai seorang mahasiswa, saya membantah pernyataan teman saya dengan acuan literatur. Saya coba pakai buku dari Mien Ahmad Rifai dan A. Latief Wiyata. Tetapi, temanku ini masih saja kekeh dan lebih percaya terhadap apa dilihat melalui berita dari media.”

Mendengar cerita semacam itu, membuat saya jadi berpikir kembali. Apa gunanya kehadiran penulis Madura yang menulis buku untuk memperbaiki citra masyarakat Madura? Atau jangan-jangan penulis Madura tidak perlu lagi bersusah payah untuk menulis buku, daripada tenaganya terbuang sia-sia?

Tidak berlebihan kiranya ketika saya mengatakan “kematian penulis Madura.” Lantaran, tidak ada kebermanfataan yang signifikan buku dari penulis Madura. Sebab, masyarakat luar Madura masih saja mensitgamakan masyarakat Madura, tanpa berpikir panjang dan kritis.

Yang lebih mengesalkan adalah hanya karena berangkat dari fenomena kecil saja, maka rusak jati diri masyarakat Madura. Seperti peribahasa: karena nila setitik, rusak susu sebelengga.

Oleh sebab itu, persoalan mengenai rendahnya jati diri masyarakat Madura bukan perkara yang mudah. Jika penulis Madura sudah mau menghabiskan waktunya untuk menulis buku demi mengubah pemikiran buruk terhadap masyarakat Madura, tidak membawa pengaruh. Lalu, apakah ini kesalahan dari rendahnya literasi masyarakat? Atau jangan-jangan masyarakat kita sudah mengalami degradasi moral?

Editor : Hiz

Foto : Radar Madura