Ada satu penyakit dalam diri saya yang rasanya sulit disembuhkan, yakni sok tahu. Antara terlalu percaya diri, goblok, dan sok tahu, bergabung menjadi satu dan jadilah saya ketika memutuskan sesuatu. Pilihan-pilihan nggak masok hingga yang acap kali menyulitkan diri saya sendiri, tak jarang terlibat terlalu banyak dan menghadirkan kisah tersendiri. 

2018 lalu contohnya, ketika saya memutuskan untuk pergi ke salah satu kota Laos, bernama Luangprabang. Katanya, di sana hotel sangat mahal harganya. Kota ini bisa dikatakan sebagai Bali-nya Laos. Semua wisatawan, plesirnya ke Luangprabang. 

Eh, saya jadi kepikiran, anak-anak Luangprabang kalau darma wisata ke mana, ya? 

Setelah berselancar di mesin pencarian, saya menemukan satu tempat yang harganya wagu karena murah sekali. Terlampau murah sekalipun pembandingnya hotel yang ada di Jogja atau Solo. Tempatnya pun mbois sekali. Pinggir Sungai Mekong, dekat Night Market. Tanpa banyak bersenda gurau, saya memutuskan untuk tidur di sana. 

Satu hal yang harus teman-teman tahu walau saya yakin nggak penting-penting amat, saya ini hanya belaga jadi backpacker. Saya terlalu banyak baca blog yang indah-indah yang jebul realitasnya nggak begitu. Hal paling dasar saja saya nggak ngulik lebih dalam. Contohnya adalah perbedaan hotel dan hostel. 

Bentuk Hostel yang Mencengangkan

Sampailah saya di lokasi. Diantar oleh penjaga hostel yang semuanya pakai baju putih. Batin saya, ueloook, udah murah, rapi, terus tiap pagi saya dijanjikan makan omelette. Sumpah, saya pikir omelette itu makanan unik khas para bule, jebul hanya ndog ceplok tanpa kecap. 

“Di sini ruangannya,” kata blio si penjaga. Blas nggak ada adegan film yang minta tip gitu. Padahal saya sudah menyiapkan beberapa Kip–mata uang Laos. Sampai saat ini, saya masih menyimpan Kip tersebut di dalam dompet saya. “Kalau ada apa-apa, silahkan ke bawah,” kata si penjaga. 

Saya langsung masuk menggunakan kunci bertuliskan “12B”. Saya mbatin lagi, kenapa harus ada B-nya? Tapi saya langsung lupa ketika melihat kamarnya luas minta ampun. Kamar mandi kering, WC duduk, bathtub, dan….. 4 kasur! 

Pertamanya saya emosi. Ya, tahu badan saya ini sama seperti kulkas dua pintu, tapi ya apa harus ada 4 kasur begini? Kasurnya model tingkat. Jadi hanya ada 2 tetapi masing-masing kasur bertingkat. Saya pun meletakkan tas. Jiwa backpacker saya belum muncul karena perjalanan Jakarta – Singapura – Luangprabang, sungguh melelahkan. Jam 8 pagi saya tertidur. 

Jam 12 saya bangun. Kok rasanya berisik banget, suara-suara obrolan berasa sangat dekat, ditambah bau kaos kaki yang bikin pengen muntah. Ketika saya membuka mata, mak tratap rasanya seperti diseruduk kebo. Sakit sih enggak, tapi bikin kaget setengah mati. Saya seakan ingin cosplay jadi Naysilla Mirdad dan bilang, “jangan dekat-dekat, aku jijik sama mas!”

Nih, ya, teman-teman. Saya kan tidur dalam keadaan sehormat-hormatnya. Hanya pakai celana bokser, kaos lekbong alias kelek bolong, dan entah ngapain saja selama saya tidur. Kok ya bisa-bisanya pas bangun ada 3 bule. Itu pun satunya cewek pula. Ya, bukannya apa-apa, ini kali pertama saya tidur satu ruangan dengan lain jenis selain sama kakak saya yang tidurnya moshing itu. 

Teman Kamar Tidak Dikenal 

Saya yang bangun pun pura-pura tidur lagi. Namun saya sadar, seleksi drama di kampus saja nggak lolos apa lagi babagan dunia nyata seperti ini. Dengan cepat, mereka mendeteksi bahwa saya sudah bangun. Bajilak, bangun-bangun ngobrol sama manusia yang entah berasal dari mana. 

“Apa aku ganggu tidur kamu?” tanya salah satu yang sadar saya sudah bangun. Sebuah pertanyaan paling basa-basi yang pernah saya dengar. Sebagai orang Indonesia yang kaffah, saya pun tersenyum dan menjawab bahwa mereka nggak ganggu sama sekali. Batin saya ya bilang mbrebeki woi!

Ternyata mereka juga baru saling kenal. Dua cowok masing-masing berasal dari Eropa dan yang cewek berasal dari Afrika Selatan. Saya yang pah poh plongah-plongoh pun bertanya, kok bisa kita satu kamar? Mereka menjelaskan bahwa hostel itu sejatinya bukan kamar privat. Tempat ini hanya untuk persinggahan istirahat saja, tidak lebih. Saya hanya bisa misuh dalam hati dan nggumun pantas saja harganya murah. 

Bangun sendiri lalu bangun ada 3 orang asing dari negara-negara berbeda itu rasanya seperti film-film fiksi ilmiah. Jangan-jangan kami nanti ditugaskan unruk melawan robot yang ada di luar ruangan? Kalau nggak, rasanya saya ini seperti atlet atau delegasi Indonesia yang sedang mewakili acara internasional. Wes to, pokoknya campur aduk. 

Di balik hal yang mangkeli, saya bisa tahu tabiatnya anak muda negara lain walau ini agak menggeneralisasi. Mulai dari kakinya bau, ngorok, hingga mengigau sedang jadi anak band pun ada. 

Sebelum saya ngece, saya pun mikir, setelah mereka tidur bersama saya seperti ini, hal apa yang mereka pikirkan tentang Masyarakat Indonesia, ya? Itu sebuah misteri, tapi yang jelas pasti terpikirkan satu hal setelah mereka kenal saya; orang Indonesia itu doyan sambat!