Apa jadinya jika seorang anak memiliki Bapak, Ibu, dan Kakak yang berprofesi menjadi seorang guru? Pasti kalian berpikir anak tersebut akan bersemangat mengikuti jejak keluarganya yang sudah terlebih dahulu berkecimpung di dunia tersebut. 

Belum lagi banyak teman, tetangga, hingga sanak saudara yang ikut memojokkan anak tersebut menjadi seorang guru juga. Itulah yang terjadi pada saya, seorang anak yang akhirnya memutuskan tidak bercita-cita menjadi guru.

“Bapak e guru fisika, ibune guru olahraga, mas e guru agama. Iki sing cilik dadi guru opo sesuk? (Bapaknya guru fisika, ibunya guru olahraga, kakaknya guru agama. Nah, yang kecil besok jadi guru apa, ya?). Entah sudah berapa kali kalimat tersebut masuk ke kuping kanan saya, terkadang mengendap dalam pikiran, dan akhirnya tetap keluar dari kuping kiri.

Pada kenyataannya, saya justru memutuskan untuk nggak pengen jadi guru setelah melihat keluarga saya seluruhnya berprofesi sebagai guru. Untuk alasannya, berikut saya beri rangkuman. Sila disimak~

Jarang Memiliki Waktu Bersama Keluarga

    Guru adalah profesi yang erat kaitannya dengan pendidikan. Ia mendedikasikan dirinya untuk mendidik anak dari berbagai macam latar belakang, tak terkecuali. Namun, saya sendiri sebagai anggota keluarga inti justru merasa profesi yang ditekuni keluarga saya justru merenggut kebersamaan kami. Saat saya bersekolah, Bapak dan Ibu harus mengajar di tempat lain. Waktu akhir pekan mereka dihabiskan untuk beristirahat setelah 6 hari bekerja (syukurnya sekarang sudah 5 hari). Saat libur panjang, mereka tak jarang tetap masuk untuk mengikuti jadwal piket.

    Sayangnya, pekerjaan guru memang tak semudah mengajar lalu pulang. Carut marutnya kebijakan di sektor pendidikan membuat guru-guru harus bekerja ekstra. Kurikulum gonta-ganti, kadang lembur menyusun materi, belum lagi kemarin sektor pendidikan kebingungan diterpa pandemi. Fasilitas belum memadai, eh pemerintah malah sibuk dengan urusan diri sendiri. Ah tai!

    Bagaimana lagi, saya sebagai anak juga harus mengerti kesibukan keluarga saya. Awal semester guru harus sudah siap menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang formatnya berubah seiring bergantinya nama menteri yang menjabat. Ganti menteri, ya nanti berubah lagi. Akhir semester, saat keluarga lain mulai mempersiapkan rencana berlibur bersama, keluarga saya masih berkutat dengan rapor dan evaluasi satu tahun.

    Menjadi Guru adalah Tekanan Besar

    Dengan carut marutnya sistem pendidikan di Indonesia, orang tua para siswa yang menitipkan anaknya ke sekolah juga memberi tekanan yang besar. Anaknya harus menjadi pintar, memiliki attitude baik, matang secara pikiran, dan lulus sekolah dengan ekspektasi yang begitu tinggi. Padahal, banyak juga orang tua yang lepas tangan saat anaknya sudah berada di rumah tanpa diberi ilmu lain yang mungkin tidak sempat didapatkan di bangku sekolah.

    Ekspektasi seperti itu rasional jika Indonesia memiliki sistem pendidikan yang jelas, kualitas guru top, fasilitas sekolah yang merata, dan kondisi anak yang punya kemauan berkembang. Namun, kenyataannya sekolah negeri di Indonesia tak semuanya memenuhi kondisi ideal seperti itu.

    Orang tua pengen anaknya lulus dengan spesifikasi seperti Bill Gates, tapi guru tidak boleh memberi tindakan kedisiplinan kepada anaknya. Fasilitas sekolah dan kualitas guru diminta setara luar negeri, tapi maunya sekolah digratiskan hingga tingkat tertinggi. Kalau negara ini kondisinya sedang “waras” sih bisa saja membiayai warganya, tapi nyatanya pajak yang kita bayarkan larinya ke kantong orang yang di atas sana. Akhirnya, guru yang lagi-lagi menjadi tumbalnya. Banyak kasus guru dilaporkan karena memarahi siswa, seolah guru merupakan sosok antagonis utama kegagalan pendidikan di Indonesia. Memang ada beberapa oknum guru yang tak bisa dibenarkan, tapi rasanya tetap tak adil untuk guru-guru yang telah berdedikasi ikut merasakan getahnya.

    Apresiasi Kurang

    Beban kerja yang berat ditambah tekanan pekerjaan yang begitu besar seharusnya berbanding lurus dengan apresiasi yang didapatkan. Ealah, sepertinya itu hanya angan-angan yang terjadi di universe lain. Kenyataannya, masih banyak guru honorer yang digaji ratusan ribu dalam satu bulan. Ya benar! Ratusan ribu untuk satu bulan, edann~

    Tak perlu jauh-jauh, profesi guru juga kurang diapresiasi oleh beberapa orang awam yang berselancar di internet. Mereka menganggap guru merupakan profesi yang tak perlu apresiasi besar, padahal hasil survei yang dilakukan Ikatan Guru Indonesia (IGI) pada tahun 2020 menyatakan bahwa 94% guru memiliki gaji kurang dari Rp2 juta.

    Saya seakan menjadi saksi bagaimana sulitnya guru untuk mencapai kesejahteraan. Syukurlah, keluarga saya sekarang memiliki kondisi yang lebih dari cukup. Namun, melihat banyaknya hal yang dikorbankan Bapak, Ibu, dan Kakak saya saat mendedikasikan diri mereka menjadi sebagai pengajar membuat saya salut. Saya benar-benar bangga menyaksikan mereka ikut serta berkontribusi pada sektor pendidikan. Dari profesi itu juga, saya dapat mengenyam pendidikan hingga bangku perkuliahan kini.

    Pada akhirnya kebanggaan saya cukup sampai disitu. Beberapa alasan yang sudah disebutkan membuat saya berkata “nggak dulu” ketika ditanya cita-cita melanjutkan profesi guru.