Dewasa ini, media informasi dan komunikasi terus-menerus mengalami perkembangan. Dengan mudahnya informasi didapatkan hanya dengan melalui gawai yang biasa tergenggam di tangan, tanpa terikat oleh tempat dan waktu. Dunia yang kita pahami sebagai tempat yang begitu luas, mampu terlipat ringkas menjadi global village (desa global), sebab kecanggihan teknologi informasi yang membuka seluruh informasi di berbagai belahan dunia. 

Media sosial menjadi sebuah media baru yang digandrungi pertama kali oleh kaum milenial, kemudian disusul oleh kaum gen z. Di sinilah, kehadiran media sosial di tengah masyarakat menjadi tantangan tersendiri bagi penggunanya. Entah membawa dampak positif, atau negatif, semua kembali kepada seberapa mampu pengguna mampu mengendalikan media sosial yang dipegangnya. 

Fenomena Pendakwah di Era Digital 

Pendakwah merupakan sosok yang bertindak mengajak umat manusia untuk berada di jalan yang benar, dan mencegah kemunkaran. Mengikuti perkembangan zaman, media dakwah juga turut berkembang. Jika dulu harus mendatangi tempat pendakwah untuk mendengar dakwahnya, maka kini mampu dilihat dan didengar jarak jauh hanya dengan genggaman gawai. 

Di media sosial sendiri, pendakwah dari kalangan pesantren, akrab dengan sebutan Gus, Kiai, Cak, Ning, dan sebagainya. Tentunya beliau-beliau berkompeten dalam bidang keilmuan, khususnya ilmu agama Islam. Melalui riyadhoh yang cukup panjang, belajar di beberapa pesantren, dan tentunya dengan waktu yang tidak singkat. Eksistensi pendakwah di media sosial menjadi peluang yang begitu besar untuk merangkul khalayak mempelajari ilmu-ilmu agama, khususnya ilmu hal.    Melihat kasus sekarang, tidak jarang kita mendapati orang-orang di media sosial begitu antusias membagikan sosok pendakwah yang masyhur dengan jumlah followers membludak. Baik kepopuleran itu sebab keluasan ilmu yang dimiliki dengan penyampaian bahasa komunikatif, bahkan ditambah juga sebab kecakapan fisiknya. Tampilnya pendakwah di media sosial, memerankan diri sebagai penunjuk jalan kebenaran bagi khalayak melalui media yang mampu diakses dengan mudah, baik Instagram, YouTube, Facebook, Telegram, WhatsApp, dan masih banyak lainnya.

Eksistensi Pendakwah di Media Sosial: Ta’dzim Terhadap Guru Semakin Terkikis?

Ta’dzim merupakan tindakan penghormatan. Ta’dzim  atau menghormati guru yang telah mengajarkan ilmu, merupakan ajaran Rasulullah SAW sebagai upaya untuk mencapai keberkahan dan kemanfaatan ilmu. 

تَعَلَّمُوْا وَعَلِّمُوْا وَتَوَاضَعُوْا لِمُعَلِّمِيْكُمْ

Belajarlah kamu semua, dan mengajarlah kamu semua, dan hormatilah guru-gurumu. (HR Tabrani)

Jika kita melihat fenomena yang ada sekarang, definisi ta’dzim kepada ‘guru’ di kepala orang-orang kini seolah ada syarat dan ketentuan berlaku. Sehingga ta’dzim yang dilakukan hanya kepada guru tertentu. Bukankah siapapun yang telah mengajar kita adalah guru? Meski itu guru TK, guru ngaji alif ba’ ta’, semuanya. Sehingga para guru yang telah mengajar kita, wajib dita’dzimi.
Mirisnya, kenyataan yang ada adalah tidak sedikit orang yang lebih ta’dzim terhadap seorang ‘alim atau ‘alimah yang populer, namun melupakan ta’dzim terhadap guru mereka bernotabane tidak populer yang lebih lama mendulang ilmu. Bukan melarang menta’dzimi kiai, bu nyai, gawagis, atau nawaning. Tapi ta’dzim terhadap guru lainnya jangan dihilangkan. Keta’dziman jangan diukur dengan kepopuleran, ya.

Contoh yang tak jarang terjadi, ketika silaturahim ke ndalem-nya guru. Karena merasa bukan dari kalangan keluarga kiai, etika bertamu menjadi kurang diperhatikan. Seperti duduk simpuh, kepala menunduk, tidak guyon (kecuali guru mendahului, dg tetap memperhatikan etika), tidak bermain hape, menuntun kendaraan hingga pagar rumah beliau, dan lain sebagainya. 

Bukan sebuah larangan, mendengarkan ilmu dari pendakwah di media sosial, dan men-ta’dziminya. Namun, sudah sepatutnya untuk tidak melupakan ta’dzim terhadap guru-guru kita di dunia nyata. Sebab keberkahan dan kemanfaatan ilmu itu didapat salah satunya ialah bersikap ta’dzim terhadap para guru. Wallahu A’lamu.

Editor: Bunga

Gambar: Google