Idulfitri atau lebaran merupakan hari raya umat muslim setelah satu bulan penuh berpuasa di bulan Ramadan. Umat muslim di seluruh dunia merayakannya dengan sukacita kemenangan.

Banyaknya suku dan budaya di Indonesia menyebabkan beragamnya tradisi masyarakat dalam merayakan lebaran. Lebaran memang identik dengan makanan yang biasa disantap saat hari raya karena sudah menjadi tradisi, seperti opor ayam, ketupat, rendang, hingga kue kering.

Namun, setiap daerah tentunya memiliki makanan khas yang biasa disajikan dalam merayakan hari kemenangan, termasuk beberapa tradisi adat yang sudah turun-temurun dilakukan. Seperti halnya di Madura, Jawa Timur yang memiliki tradisi bernama Ter Ater. Nama tradisi ini berasal dari bahasa Madura yang berarti “Anter-anter” atau “Hantaran”.

Ter Ater merupakan tradisi mengantarkan makanan ke para tetangga atau saudara dengan menggunakan nampan yang biasanya terdiri dari lauk, sayur, buah, dan kue. Kegiatan ini dilakukan pada hari-H lebaran dengan tujuan berbagi rasa makanan dengan orang lain sekaligus bersilaturahmi.

Pandemi Dilupakan

Tradisi menjadi identitas bagi sebuah suku atau bangsa. Tradisi yang terdapat di setiap daerah memang sudah sepatutnya untuk dilestarikan. Namun, saat ini dunia sedang dilanda pandemi COVID-19 yang sudah menginfeksi jutaan orang di seluruh dunia.

Dalam masa pandemi seperti ini, semua orang sedianya harus tetap di rumah untuk menghindari penyebaran yang lebih luas. Imbauan untuk tetap di rumah datang dari pemerintah demi menekan angka orang yang terinfeksi virus. Pemerintah bahkan sudah mengeluarkan peraturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di seluruh daerah yang termasuk ke dalam zona merah.

COVID-19 bisa menyerang siapa saja, tak terkecuali anak muda, pejabat, bahkan dokter sekalipun. Namun, masih banyak masyarakat yang tidak menghiraukan imbauan pemerintah untuk tetap berada di rumah.

Tradisi Ter Ater tetap Terlaksana

Tradisi Ter Ater yang telah menjadi kegiatan rutin saat lebaran tetap terlaksana sebagaimana biasanya di saat pandemi seperti ini. Seperti yang terjadi pada warga di Desa Tragah, Kabupaten Bangkalan, Madura yang tetap mengantarkan makanan dari rumah yang satu ke rumah lainnya saat Idulfitri beberapa hari lalu.

“Iya, lebaran kemarin kita masih ngadain ter ater ke rumah-rumah kayak tahun yang lalu,” ucap seorang warga Desa Tragah, Ika Fadilla. Tradisi Ter Ater biasanya dilaksanakan saat hari-H lebaran saat pagi hari sebelum salat Idulfitri atapun pada siang hari.

Adapun makanan yang dihantarkan antara lain makanan khas, Dun Adun (sejenis opor ayam) dan aneka kue. Biasanya Dun Adun disajikan dengan makanan pelengkap lainnya seperti sambal goreng kentang dan serundeng kelapa.

Tradisi Ter Ater memang mempunyai makna tersendiri bagi masyarakat Madura. Tradisi ini dikenal sebagai ajang untuk berbagi rasa makanan. Jika tren terkini orang memeri hampers atau parsel, masyarakat Madura sudah memiliki tradisi berbagi makanan ini sejak lama.

Walaupun terdapat perbedaan jenis makanan yang dibagikan, namun esensinya tetap sama, yakni untuk memberikan rasa yang sama kepada orang lain. Tradisi Ter Ater juga sebetulnya tidak wajib untuk dilakukan bagi orang dengan pendapatan ekonomi dibawah rata-rata. Hal ini menjadi nilai moral yang terkandung dalam tradisi Ter Ater, yakni membantu sesama yang membutuhkan.

Dengan banyaknya hantaran makanan yang diberikan, diharapkan seseorang tidak kelaparan saat merayakan lebaran. Tradisi ini juga dijadikan sebagai ajang bersilaturahmi dan maaf-memaafkan yang identik dengan Idulfitri.

Kenapa harus langsung diantarkan ke rumah-rumah?

Karena yang menjadi tradisi itu termasuk di dalamnya proses pengantaran makanan tersebut. Bagaimana mereka beramai-ramai saling bergantian mengantarkan makanan terbaiknya. Serta bagaimana mereka berjalan membawa piring-piring lauk di atas nampan (biasanya dibawa di atas kepala) dan saling menyapa dalam perjalanan menuju rumah lainnya. Hal itulah yang juga menjadi esensi dari tradisi Ter Ater.

Sebenarnya, tradisi Ter Ater memiliki banyak manfaat. Terutama bagi kehidupan sosial masyarakat. Namun, yang menjadi masalah ialah dilupakannya imbauan pemerintah untuk tetap berada di rumah selama pandemi ini berlangsung.

Imbauan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait pelaksanaan salat Idulfitri di rumah bagi daerah yang termasuk dalam kategori zona merah juga diacuhkan. Masyarakat Madura yang saat ini berada di zona merah, seharusnya memperhatikan ketentuan dalam merayakan atau melaksanakan sebuah tradisi di masa pandemi.

Terlebih lagi, banyaknya masyarakat yang sepertinya belum sadar betul akan bahaya dari COVID-19, ditemukan tidak mematuhi protokol kesehatan yang berlaku. Masih banyak warga yang tidak memakai masker serta tidak menjaga jarak aman saat melaksanakan tradisi ini. Hal-hal tersebut menjadi sesuatu yang sulit dilakukan mengingat proses pengantaran makanan yang diantar langsung dari satu rumah ke rumah lainnya oleh sang pemberi makanan.

***

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa masih banyak masyarakat yang seakan-akan melupakan pandemi ini demi melestarikan tradisi yang sudah berlangsung sejak dahulu. Suatu tradisi di sebuah daerah memang selayaknya dilestarikan agar tidak hilang tergerus perubahan zaman. Namun, alangkah bijaknya jika suatu masyarakat mengerti dan bekerja sama dengan pemerintah untuk bersama-sama mencegah penyebaran COVID-19 di Indonesia.

Penulis: Chusnul Hotima

Penyunting: Aunillah Ahmad