Media Sosial pada pekan ini sedang ramai dengan postingan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dalam akun twitternya @aniesbaswedan. Pak Anies memposting fotonya yang sedang membaca buku dengan santai bersarung. Pak Anies menyapa para pengikutnya. Namun judul buku yang ia baca lebih menarik perhatian netizen dan menjadikannya viral, yakni “How Democracy Die”. Pak Anies seolah menyiratkan pesan khusus di balik fotonya itu. Tentu tidak semata-mata menunjukkan santai nya di akhir pekan, tapi lebih dari itu.
Di era digital ini, media untuk menyampaikan pesan sangat beragam. Tidak hanya tulisan, foto pun mampu menarasikan hal yang tak ada narasinya. Bahkan bisa jadi akan lebih dari sekedar tulisan artikel opini biasa. Terlebih jika foto itu sangat pas dengan momen yang terjadi kala itu.
Demikian halnya buku yang dibaca Pak Anies di tengah kondisi pro kontra pemberian sanksi pelanggar protokol kesehatan yang dianggap diskriminatif bahkan melanggar aturan garis koordinasi pejabat pemerintahan. Pasca menghadiri pengajian Maulid Nabi di kediaman Habib Riziq di Petamburan Jakarta, Pak Anies dipanggil oleh Kapolda Metro Jaya untuk memberikan laporan atas pelanggaran protokol kesehatan. Sontak, hal ini mengundang pro kontra netizen. Terlebih pasca pemerintah memperbolehkan Pilkada Serentak di tengah pandemi ini, tidak satu pun berita pemberian sanksi atas kerumuman kampanye yang nyatanya tentu lebih ramai dan lebih tidak teratur dari acara peringatan keagamaan.
Mendebat Demokrasi
Negara Demokrasi adalah sebuah sistem kenegaraan yang menjadikan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dengan slogan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sistem ketatanegaraan ini dinilai lebih cocok untuk diimplementasikan oleh negara majemuk seperti Indonesia. Nilai-nilai dalam demokrasi ini sesuai dengan sila keempat Pancasila, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.”
Di atas berbagai golongan yang majemuk, demokrasi pancasila harus mampu menaungi bangsa yang heterogen. Namun tatkala otoritanisme lahir di tengah oligarki kekuasaan, pejabat pemerintahan menghalalkan segala cara untuk menumbangkan opisisi supaya tidak menyalip kekuasaanya. Inilah sebenarnya indikasi dari matinya demokrasi.
Dalam bukunya “How Democracy Die”, professor politik dari Harvard University yaitu Levitsky dan Ziblatt mengutarakan kritiknya terhadap Demokrasi. Buku ini terinspirasi dari permasalan politik yang terjadi di Amerika pasca terpilihnya Donal Trump. Menurutnya, demokrasi di Amerika telah lama bermasalah. Terutama dalam hak-hak pemilih.
Levitsky dan Ziblatt mengawali bukunya dengan mengulas catatan sejarah matinya demokrasi di berbagai negara di dunia. Pada masa Perang Dingin, demokrasi dihancurkan dengan kudeta atau perebutan kekuasaan dengan paksa dan menggunakan kekuatan. Beberapa negara demokrasi hancur dengan cara seperti ini, yaitu Argentina, Brasil, Republik Dominika, Ghana, Yunani, Guatemala, Nigeria, Pakistan, Peru, Thailand, Turki, dan Uruguay.
Pasca Perang Dingin, demokrasi dikikis oleh pemerintah terpilih itu sendiri, bukan lagi disebabkan oleh jenderal dan tantara. Pejabat pemerintahan telah menumbangkan lembaga-lembaga demokrasi dan menghambat laju oposisi untuk berkompetisi secara politik. Di antara negara demokrasi yang hancur dengan cara ini adalah Venezuela, Georgia, Hongaria, Nikaragua, Peru, Filipina, Polandia, Rusia, Sri Lanka, Turki, dan Ukraina.
Levitsky dan Ziblatt menggambarkan kematian demokrasi pasca Perang Dingin ini dengan sejumlah tanda-tanda, di antaranya adalah 1) ketika seorang politisi mendiskreditkan lawannya secara palsu, 2) melemahnya toleransi atau sikap mendorong terhadap penggunaan kekerasan, dan 3) ungkapan keinginan untuk mereduksi hak-hak sipil seseorang atau lembaga, seperti tuntutan bahwa negara akan lebih baik tanpa kebebasan pers.
.
Demikianlah isi buku viral berjudul “How Democracy Die” yang semestinya generasi milenial harus tahu. Isi buku ini sangat relevan untuk dikaji di tengah tahun politik seperti saat ini. Milenial harus kepo terhadap politik dan aktif bersuara mengawal demokrasi.
Comments