Dimulai dari jazirah Arab, seorang Muhammad yang agung mensyiarkan Islam dan Allah yang maha esa sebagai satu-satunya Tuhan untuk disembah. Muhammad melewati ribuan kesedihan dan penderitaan. Namun dengan hati yang bersih, kini dunia jadi terang dan sekarang umat muslim sedunia berjumlah lebih dari 2,2 milliar.

Salah satu obsesi paling purba umat manusia adalah menjadi Dewa, menjadi Tuhan, menjadi puncak dari segala kekuatan dan tempat untuk bersandar.

Fir’aun Ramses II pernah dalam bingkai usaha itu, dan Yuval Noah Harari dalam buku yang ia tulis, Homo Deus menggambarkan obsesi manusia abad ini tentang keinginan untuk hidup abadi, seolah seperti jadi Tuhan.

Tapi di daratan Amerika Latin, tepatnya Argentina, seseorang hanya perlu menari di atas lapangan hijau, membuat tipuan elegan, berlari kencang dengan bola lalu mencetak gol indah dan kemudian membawa negaranya jadi juara, dan selang beberapa tahun ia dengan sangat takzim oleh para penggemarnya diangkat jadi Tuhan.

Ini bukan cerita yang adaptasi dari novel fiksi. Memang begitu adanya: seorang seniman sepak bola begitu dihormati sampai ke tingkat pemujaan. Hanya ada satu nama, dialah Diego Armando Maradona.

Asal Muasal Maradona Dianggap Tuhan

Argentina menantang Inggris dalam laga perempat final Piala Dunia 1986, ribuan pasang mata di Azteca Stadium, Mexico menyaksikan peristiwa penting dalam ajang paling bergengsi. Dan aksi Maradona membuat Inggris tak akan pernah melupakan laki-laki Buenos Aires setinggi 165 cm itu. Sebab kurang dari lima menit, seorang Maradona mampu menjebloskan dua gol yang tak biasa ke gawang Peter Shilton.

Separuh penonton terdiam, separuh lagi bersorak kegirangan. Tentu saja mereka yang terdiam adalah suporter Inggris sedang suporter Argentina berpelukan, berteriak, meloncat di tempat, memutar-mutar slayer bendera di udara, mereka berjingkrak-jingkrak seolah hidup cuma persinggahan untuk merayakan gol.

Tepatnya pada menit 51 dan juga menit 55, Maradona mempertontonkan ‘kelicikan’ tanpa tapi dan keindahan yang tiada banding. Ia membuat dua gol yang meruntuhkan reputasi (kelak akan menjadi kiper terbaik) dan Inggris sebagai tim yang waktu itu dianggap kandidat juara.

Lewat dua gol Maradona, Argentina melaju ke babak semifinal. Di fase ini Argentina kemudian mempermalukan juara Eropa 1984, Prancis. Sekali lagi, Maradona menyumbang dua gol.

Di partai perebutan juara, Maradona kembali dengan sihirnya: umpan silang dari jauhnya di penghujung babak akhir berhasil menjangkau Burruchaga yang lantas mengkonversi peluang jadi gol. Gol itulah yang memastikan skor 3-2. Argentina keluar sebagai juara.

Tapi ketimbang final, orang-orang justru lebih mengingat dan angkat topi untuk momen perempat final. Mungkin karena peristiwa itu ada muatan politis sebab tak lama dari perempat final itu, Inggris menjadi seteru Argentina dalam konflik saling klaim Pulau Malvinas. Lima menit yang membuat hidup Maradona terangkat dan negerinya Argentina berubah.

Begitulah Maradona. Pada saat-saat yang dibutuhkan, ia membuat bola bergulir sebanyak dua kali dan masuk ke tengah di antara tiang-tiang gawang yang berdiri kokoh. Gol pertama dengan sedikit lontaran tangan, gol kedua Maradona lewat solo-run dengan kaki.

Dan tampaknya Tuhan memang ada di kaki dan tangan Maradona. Pada hari itu, 22 Juni 1986, Maradona seolah menggenggam langit.

Dengan enteng dan nuansa post-factum, Maradona mengucapkan sebaris kalimat jenius. Mulutnya licin dan hanya sedikit yang punya kecakapan retorika sebanding.

Bacalah apa yang Maradona katakan:

“Itu bukan tangan saya,” kata Maradona, usai laga bubar, sebentar kemudian, ia meneruskan “tapi itu tangan Tuhan.”

Dengan enteng pula, selama beberapa tahun berselang, sekelompok orang lantas mendirikan rumah peribadatan. Ialah Alejandro Verón dan Hernan Amez, dua orang jurnalis yang tak lain adalah penggemar fanatik timnas Argentina menerjemahkan apa yang dikatakan Maradona secara ekstrim.

Rumah peribadatan itu bernama The Iglesia Maradoniana atau dalam bahasa kita, Gereja Maradona, sebuah tempat yang dijadikan sebagai pusat untuk sembah dan segala puja puji pada Maradona.

Mereka menganggap Maradona sebagai Tuhan dan menamainya dengan akronim “D10S” (berasal dari bahasa Latin dengan akar kata dios yang berarti “Tuhan”, diganti dengan “10”, nomor punggung identik Maradona).

Dengan kalimat yang lebih ringkas, para penggemar Maradona telah sampai pada kesimpulan: “Sepak bola adalah agama, dan Maradona adalah Tuhannya.”

Ajaran-ajaran Gereja Maradona

Gereja Maradona kali pertama dibikin pada tahun 1998 dan kini jumlah jemaatnya telah mencapai ribuan tersebar di pelbagai negara. Ajaran dalam Gereja Maradona sebetulnya mengadopsi ajaran Kristiani.

Mereka membagi waktu tidak dengan istilah sebelum atau sesudah Masehi, tapi dengan “Before Diego” dan “After Diego”.

Umumnya Natal dirayakan pada 25 Desember, tapi jemaat Gereja Maradona merayakan sejenis Natal pada 29 Oktober, tepat semalam sebelum lahirnya ‘sang juru selamat’ tim Tango. Mereka juga merayakan Paskah. Dan tanggal yang dipilih adalah 22 Juni, hari ketika Maradona menjebloskan bola ke gawang Inggris di perempat final Piala Dunia Meksiko 1986.

Gereja Maradona memiliki 10 pedoman sekaligus prinsip serius yang mereka pegang kuat-kuat, bila perlu keyakinan itu mereka ‘gigit dengan gigi geraham’. Inilah 10 ‘ayat’ bikinan itu:

1. Bola Tidak Pernah Kotor

2. Cintai Sepak bola Di Atas Segalanya

3. Nyatakan Cinta Tanpa Syarat untuk Diego Maradona dan Keindahan Sepak bola

4. Pertahankan Jersey Timnas Argentina

5. Sebarkan Berita Keajaiban Diego Maradona ke Seluruh Alam Semesta

6. Hormati Kuil (Stadion) Tempat Maradona Bermain dan Kostum Sucinya

7. Jangan Menyatakan Diego Maradona Sebagai Anggota Tim Manapun

8. Mengkhotbahkan dan Menyebarkan Prinsip-prinsip Gereja Maradona

9. Jadikan Diego Nama Tengah Anda dan Beri Nama Putra Pertama Anda

10. Jangan Lari dari Kenyataan dan Jangan Menjadi Bodoh dan Tidak Berguna

Selamat Jalan, Diego Maradona!

Maradona mengembalikan ‘Tangan Tuhan’ yang sempat ia pinjam. Tapi jika kita tarik dari runutan cerita di atas, saya berani bilang bahwa Tuhan telah mati. Saya pikir, secara harafiah kalimat itu ada benarnya, pada Rabu 25 November 2020 Maradona menghembuskan nafas terakhirnya.

Dan ia meninggalkan banyak hal untuk dunia sepak bola, dari cinta sampai kontroversi. Di luar semua itu, Maradona abadi. Hasta siempre, Diego!

Tabik.

Penulis: Gigih Imanadi Darma

Penyunting: Aunillah Ahmad