Idealisme, nilai-nilai moral, kepedulian sosial dan kemuliaan karakter sebagai basis utama pendidikan (Indonesia) memang bisa dicarikan dan diajarkan prinsip universalnya. Tapi untuk penerapannya, setiap orang memiliki cara berbeda. Pendidikan masa depan harus dapat memadukan dua hal tersebut; secara universal membentuk murid berkarakter (idealis), dan secara partikular menghargai keunikan murid (pragmatis).
Guru masa depan, dan juga dosen, perlu menjadi pemandu nilai moral (universal) sekaligus pemandu bakat (partikular). Generasi ke depan adalah generasi (peserta didik) yang bakal makin sukar didikte, dan memang tak perlu. Hanya perlu diarahkan.
Neeta Baporikar dalam buku Innovation and Shifting Perspectives in Management Education (IGI Global, 2016) menyebut bahwa salah satu ciri penting pendidikan masa depan adalah inovasi berbasis cara berpikir sistemik (menyeluruh) dan non-linear (dinamis). Dalam konteks ini, tokoh pendidikan Abdul Malik Fadjar menyebut, inovasi akan terjebak di gang buntu jika kita terkurung dalam sekat-sekat disiplin ilmu. Sekat-sekat yang hanya akan melahirkan kacamata kuda-kacamata kuda baru, yaitu manusia berpandangan sempit dan berpikiran pendek. Jika begitu, kata Malik, lenyaplah jiwa-jiwa idealis yang mengagungkan institusi pendidikan sebagai rumah peradaban yang berkomitmen pada kepentingan kemanusiaan.
Dalam perspektif saya, yang ingin optimis, Nadiem adalah latihan bagi kita untuk berpikir sistemik dan non-linear. Ini menarik, karena nantinya Nadiem tak hanya akan mengurusi Pendidikan Dasar dan Menengah, tapi juga Pendidikan Tinggi (Dikti). Sebagaimana disampaikan Jokowi, urusan Dikti dikembalikan pada Kemdikbud.
Nadiem akan berduet dengan Bambang Brodjonegoro sebagai Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Ini seperti duet antara birokrat dan inovator, antara the experiencer dan the rising star, antara linearitas dan non-linearitas. Jika dilacak, dari perspektif linearitas, Bambang adalah contoh yang baik, dari S1 hingga S3 dia fokus pada Ekonomi Pembangunan. Sedangkan Nadiem S1 di jurusan Hubungan Internasional (Brown University) lalu S2 di bidang Administrasi Bisnis (Harvard University), bukan teladan linearitas yang baik bagi seorang menteri yang akan mengurusi Dikti. Untung saja, aturan soal linearitas sudah dicabut Menristekdikti tahun lalu.
Soal linearitas pernah menjadi masalah pelik beberapa tahun lalu, ketika aturan linearitas begitu ketat diterapkan. Aturan itu begitu mind-blowing, buktinya prinsip linearitas (yang kadang salah dimengerti) masih menjadi hantu pikiran bagi banyak akademisi, sekalipun aturannya sudah dicabut. Saya pun, misalnya, sebagai mahasiswa lulusan S1 Hukum Islam, ada saja yang mempertanyakan, mengapa lantas melanjutkan kuliah S2 Hubungan Internasional. “Itu kan tidak linear,” kata beberapa teman. Saya jawab dengan tak begitu serius, “Linear dong, kan sama-sama HI.”
Entah kenapa, pola pikir linear begitu kuat dalam imajinasi mereka. Sebagai orang yang sangat tertarik dengan politik Islam internasional, tentu tak menarik bagi saya jika harus mengambil S2 di bidang hukum, atau bahkan hukum Islam. S2 Hubungan Internasional tentu paling menarik, sekaligus paling tepat. Nantinya, perspektif saya soal politik Islam internasional akan lebih khas ketimbang mereka yang linear S1 dan S2 Hubungan Internasional. Apalagi ketika saya S1, mata kuliah yang paling saya sukai adalah hukum politik Islam (Fiqh Siyasah).
Kasus diatas mirip seperti cerita seorang teman yang tengah melanjutkan studi di bidang psikologi. Ia mengaku merasa kesulitan mencari dosen mata kuliah Psikologi Lintas-Budaya yang benar-benar pakar di bidangnya. Ternyata, penyebabnya adalah sebagian besar lulusan S1 Psikologi cenderung tetap mengambil S2 Psikologi sekalipun tertarik dengan Psikologi Lintas-Budaya. Mereka tak punya cukup keberanian untuk mengambil S2 Antropologi, yang mestinya akan lebih memperkuat perspektifnya, dan juga lebih menyenangkan, karena hal itu ia sukai.
Cerita tersebut merupakan sekelumit cerita soal pendidikan yang mestinya membebaskan, tidak mengurung. Pendidikan masa depan harus membuka ruang yang amat luas bagi inovasi. Tetap harus punya prinsip, tapi juga peka zaman. Benar bahwa pemilihan Nadiem punya celah besar yang bisa dicari-cari, dan netizen harus tetap optimis. Sebab itulah resiko terobosan. Tapi harus diingat, Nadiem tak gagap generasi. Jarak antara Nadiem dengan karakter peserta didik zaman now tak begitu jauh. Memilih seorang guru besar ternama memang langkah aman, tapi punya sisi lemah, dunia mereka terlalu jauh dengan anak didik saat ini. Bisa terjadi generational gap yang dapat membuat kebijakan pendidikan menjadi sangat normatif dan tak peka zaman.
Bagi saya, tantangan terbesar Nadiem saat ini adalah bagaimana ia memimpin Mendikbud dengan tim sangkar besi yang sudah kokoh bertahun-tahun. Yang sudah punya pakem. Seorang mantan staf Kemdikbud di sebuah group WhatsApp yang saya ikuti menulis, birokrasi Kemdikbud yang sangat gemuk dan mengakar dapat membuat anak muda ini (Nadiem) merasa kesepian. Tekanan Nadiem berada di atas-bawah. Di bawah, siap-siap dinyinyirin netizen. Di atas (tak selalu berarti atasan), siap-siaplah menghadapi ego para pakar dan birokrat. Karena tak semua orang bisa seperti padi, yang semakin berisi semakin merunduk. Anyway, selamat bekerja (mas) Nadiem, tetaplah optimis.
Penulis : Subhan Setowara
Ilustrator : Ni’mal Maula
Comments