Bagi netizen, hal paling menarik di balik terpilihnya Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) adalah becandaan lewat status dan meme-meme di media sosial soal analogi aplikasi Go-Jek di dunia pendidikan; subsidi pendidikan diganti voucher diskon, bayar SPP pakai Go-Pay, murid rajin dapat Go-Point, guru teladan diberi bintang lima. Begitulah, maha bahagia netizen dengan segala ciutannya. Saya pun menikmati lelucon-lelucon itu.

Narasi lelucon itu tak bisa dipandang sepele. Itu artinya Nadiem akan sangat disorot. Benar bahwa dari sisi keterpilihan menteri, Prabowo Subianto paling menyita perhatian. Dari lawan jadi kawan (atau bawahan). Namun, dalam situasi seperti ini, dinamika perihal ketahanan negara tak akan banyak dirasakan akar rumput. Sebaliknya, soal pendidikan tentu dirasakan (hampir) semua kalangan. Sehingga, benar bahwa soroton politik akan menyasar Prabowo, tapi sorotan kinerja bakal mengarah pada Nadiem.

Sorotan paling mainstream tentu saja soal keraguan. kita semua bertanya-tanya; Nadiem Makarim tahu apa soal pendidikan? Bukankah sangat banyak stok guru besar ternama di bidang pendidikan yang amat pakar dan berpengalaman? Atau para mantan rektor dari kampus-kampus terbaik negeri ini? Namun, ibarat guru, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak mengambil jalan paling aman; memilih murid paling pintar jadi ketua kelas. Jokowi lebih  memilih murid yang gesit dan kreatif. Dan itulah sosok Nadiem, enerjik dan inovatif. Hasil pembacaan saya tampaknya Jokowi ingin agar pendidikan kita tak begitu-begitu saja; formalisme, penuh basa-basi, tak jauh-jauh dari pemenuhan status sosial dan syarat administratif. Jokowi menginginkan terobosan besar.

Menariknya, merujuk teori generasi Strauss-Howe, Nadiem Makarim adalah satu-satunya menteri milenial di Kabinet Indonesia Maju. Dalam teori itu, disebut bahwa milenial adalah generasi yang lahir antara tahun 1980an-2000an (Millennials Rising: The Next Great Generation, Vintage Books, 2000). Penulis buku Fast Future: How the Millennial Generation is Shaping Our World (Beacon Press, 2014), David Burstein mengatakan, milenial merupakan generasi pro-realitas, yang terfokus pada tindakan yang berdampak nyata. Burstein menyebut generasi ini memiliki ciri pragmatic idealism (idealisme pragmatik); yang memadukan prinsip moral dengan hal-hal pragmatis.

Sociopreneurship (kewirausahaan sosial) adalah bentuk paling khas dari idealisme pragmatik. Peraih nobel Muhammad Yunus menyebutnya sebagai social business atau social enterprise. Yunus mewujudkannya dengan membuat program banking for the poor melalui Grameen Bank sebagai upaya pengentasan kemiskinan di Bangladesh. Yunus menjadi inspirasi bagi banyak generasi milenial terdidik. Daripada bekerja di sektor formal, generasi ini lebih suka membuat startup yang bisa mendapat keuntungan, tapi juga punya dampak sosial.

Perlu diketahui, Yunus mendirikan Grameen Bank setelah kembali ke negaranya selepas mendapat gelar doktor (PhD) di bidang ekonomi dari Vanderbilt University di Tennessee, Amerika Serikat (AS). Di Indonesia, cukup banyak contoh serupa. Muhammad Iman Usman mendirikan startup di bidang pendidikan, Ruangguru, selepas lulus S2 dari Columbia University, di New York, AS. Ruangguru ia dirikan bersama Adamas Belva Syah Devara yang juga lulusan S2 dari Harvard University dan Stanford University. Azalea Ayuningtyas mendirikan Du’Anyam, sebuah kewirausahaan sosial berbasis pemberdayaan wanita di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), setelah meraih master di bidang kesehatan masyarakat dari Harvard University. Nadiem pun mendirikan Go-Jek selepas meraih gelar S2 di bidang Administrasi Bisnis di Harvard University.

Sejumlah startup berbasis pemberdayaan sosial lain seperti KitaBisa.com (platform penggalangan dana dan donasi online untuk program sosial), Indonesia Medika (platform digital di bidang pelayanan kesehatan) dan TaniHub (layanan aplikasi on-demand untuk pengiriman kebutuhan sayuran dari lahan pertanian ke rumah tangga), juga didirikan para anak muda yang sangat gemilang secara akademik. Belum lagi kita menghitung e-commerce berstatus unicorn seperti Bukalapak, Tokopedia, Traveloka, yang semuanya didirikan oleh mereka yang tergolong generasi milenial.

Yang menarik adalah, para milenial diatas memiliki kekhasan; mereka idealis, memiliki standar tinggi, menyukai kolaborasi, ingin menyederhanakan sesuatu yang rumit, dan berhasrat untuk memiliki dampak nyata. Bagi mereka, idealisme, demikian pula nilai-nilai moral, bukanlah sesuatu yang harus terus dibicarakan dan diperdebatkan. Nilai-nilai itu sudah final, saatnya dibuktikan melalui tindakan nyata.

Penulis : Subhan Setowara

Ilustrator : Ni’mal Maula