Cak Pardi, seorang tukang becak, membereskan posisi duduknya. Sepertinya gestur tubuhnya menunjukkan bahwa ia tidak terima dengan pendapatku.

Lha tapi kan urusan pendidikan bukan sekedar urusan mengatasi kesenjangan, mendekatkan negara dengan rakyat, mengangkat derajat mereka yang kere dan lain sebagainya melalui teknologi canggih. Ya memang kita ini harus melek berhadapan dengan kemajuan zaman, tetapi kan harus punya budi pekerti yang luhur…” Cak Pardi berkata-kata sangat serius. Sorot matanya yang tajam tertuju ke mataku.

Wis gak ngerokok tho Cak?” Aku mengalihkan perhatiannya.

Wis prei suwe (sudah lama libur). Aku kepingin hidup sehat. Aku ingin anak-anakku bisa sekolah tinggi, lalu bisa menjadi orang yang berguna bagi agama, negara, bangsa dan kemanusiaan.” Sorot matanya kini melambung tinggi ke langit. Tampak burung-burung di atas hinggap di kabel listrik, memilih posisi yang nyaman, berhenti, ketimbang terbang jauh ke awan.

Cak Pardi meneruskan, “Sudah banyak yang ahli teknologi, tetapi justru jadi orang jahat. Kemarin saya baca berita di hape, ada anak pinter program komputer kemudian membobol rekening perusahaan asing. Dengar-dengar kalau mau perang sekarang sudah gak perlu tentara, tapi bisa pencet tombol di laptop untuk menerbangkan roket dan bom.

Selain itu, arek-arek cilik wis gak gelem budal ngaji (anak-anak kecil tidak mau pergi mengaji), malah milih mainan game online. Kanca-kancaku mbecak yo ngono (teman-teman tukang becakku juga begitu), judi online. Mbok De Marsinah yang punya warung, lebih sibuk dengan hape, baca-baca gosip artis, ngegibah ketimbang melayani tamu-tamunya yang mau sarapan. Wis, embuh lah. Menurut perasaanku, mudarat teknologi juga besar.”

“Ya justru itu Cak, Mas Menteri didatangkan untuk mengatasi soal akhlak anak bangsa, agar pandai-pandai memanfaatkan teknologi untuk urusan kebajikan.” Sanggahku.

“Lha tapi kan soal akhlak perlu diserahkan kepada ahlinya. Pak Menteri Muhadjir yang dulu misalnya, kan memang ahli pendidikan. Sekurang-kurangnya, mengerti betul soal bagaimana urusan akal budi anak-anak dibangun. Ada tujuan agar anak-anak pinter, sekaligus baik. Kalau sudah pinter dan baik, baru kemudian menyelesaikan masalah. Buat apa pendidikan diarahkan untuk mengurus perekonomian bangsa dan membuatnya mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia, sementara sebenarnya anak-anak yang kurang berakhlak di masa depan justru sifat dan peringainya merusak?

Menurutku, intinya, urusan pendidikan ini tidak sederhana. Ya, saya tahu, saya ini tukang becak dan gak pernah makan bangku sekolahan. Tetapi apa ya keliru kalau saya punya mimpi memiliki anak-anak yang baik, pinter dan berguna di masa depan? Tapi, entahlah, siapa sih yang sudi mendengar ocehan wong melarat?”

“Cak Pardi, wis, mikir yang baik-baik aja, yang positif. Mungkin, Mas Menteri juga punya pikiran yang sama seperti Cak Pardi. Saya yakin, Gojek kan untuk kebaikan, bukan diciptakan untuk menindas kemanusiaan. Karena itu, saya juga yakin, Mas Menteri memperlakukan kebijakan pendidikan juga dengan cara yang sama: demi kebajikan.” Aku mencoba menenangkan kecamuk hati sahabatku yang khawatir atas masa depan anak-anak bangsa.

“Kang, sampaikan salamku untuk Mas Menteri ya. Mudah-mudahan sehat terus dan tidak mudah-mudah sakit. Kerjaan menteri itu banyak dan harus sungguh-sungguh. Mas Menteri mesti berbesar hati mendengar pendapat orang rendahan seperti saya. Saya nitip masa depan anak-anak saya. Kalau bisa sih, dengan sekolah, kuliah, ngaji dan teknologi yang baik, anak-anak saya bisa jadi anak-anak yang membuat bahagia orangtuanya dan bangsa Indonesia.” Cak Pardi berpesan sungguh-sungguh, seolah-olah sahabatnya dekat dengan orang-orang berpangkat itu. Padahal, sama-sama orang pinggiran.

“Iyo Cak, insya Allah tak sampaikan. Bismillah.” Jawabku yang tak mungkin menjawab tidak, demi menjaga perasaannya.

Inilah cerita pinggiran dari kelompok orang-orang terpinggir, yang menaruh harapan besar bagi Mas Menteri, Nadiem Makarim. Saya berdoa, melalui tulisan ini, mudah-mudahan Allah memberikan kesempatan Mas Menteri mendengarkan curahan hati Cak Pardi, tukang becak itu. Toh mereka berdua kan sama, sederajat, sama-sama manusia dan sama-sama hamba Allah yang mulia, yang penduli mengenai pentingnya pendidikan.[]

Penulis: Hasnan Bachtiar

Ilustrator: Ni’mal Maula