Pengalaman divaksin AstraZeneca yang patut kalian baca.
Saya bukan penganut teori konspirasi anti pandemi, bukan pula golongan ekstrem yang terlalu takut mati sampai bikin tembok tinggi sekeliling rumah. Buat saya, yang penting hidup tetap dilalui hari per hari, lakukan protokol kesehatan sesuai anjuran, kerja tetap jalan, biaya hidup bulanan tetap dikeluarkan.
Syukurlah sampai saat ini saya belum pernah terkonfirmasi positif Covid-19, belum juga kena tracing dari kawan atau rekan kerja yang nggak sedikit juga pernah positif. Generasi 90-an atau generasi milenial seperti saya memang sejak awal nggak terlalu berharap dapat jatah vaksin. Usia masih dibawah 30 tahun, nggak ada penyakit bawaan atau komorbid potensial, tiap hari juga sehat-sehat saja.
Sampai akhirnya jatah vaksin di beberapa rumah sakit kawasan Jogja mulai didistribusikan. Banyak kabar burung yang beredar, mulai dari wajib KTP DIY yang boleh vaksin, sampai harus usia di atas 30-an. Meskipun demikian, setelah saya datangi secara langsung salah satu rumah sakit dekat Malioboro yang menyediakan vaksin gratis, ternyata boleh kok. Nggak ada syarat.
Penting usia di atas 18 tahun, mau KTP Pemalang atau Madiun juga fine-fine ajah. Sementara beberapa berita vaksin di luar Jogja masih di prioritaskan untuk lansia, disini boleh untuk semua kalangan. Ya meskipun awalnya nggak ngoyo, demi ngadem-ademke keluarga dan rekan kerja yang lebih tua, ikutlah saya ambil nomor antrian vaksin.
Jadi, jatah dosis yang disuntikkan setiap hari di rumah sakit ini sekitar 250-300. Merk vaksin yang digunakan AstraZeneca, lumayan bikin tenang lah, dikembangkan oleh Oxford je. Saya mengambil antrian tanggal 8 Juni lalu, baru besoknya jadwal suntik vaksin saya dilayani. Pembagian nomor antrian dimulai sekitar pukul tujuh pagi. Dan menurut penuturan petugasnya, waktu untuk memvaksin 50 orang sekitar satu jam.
Jadi, saat itu saya mendapat nomor antrian 250, dan yang saya tidak tahu, ternyata ada tiga ruang tunggu berturut-turut sampai benar-benar masuk ruang suntik vaksin. Ruang tunggu di luar gedung, di dalam gedung pertama, di dalam gedung kedua, lalu terakhir di bilik suntik.
Nah, saat menunggu di luar gedung, saya sudah tahun bahwa sepuluh antrian sebelum saya sudah dipanggil masuk. Saya optimis tinggal bentar lagi dong giliran saya. Dan ternyata eh ternyata, saya datang ke rumah sakit jam 09.30, dan baru selesai disuntik jam 12 siang.
Jadi, tips vaksin pertama dari saya, ora usah kesusu. Nomor antrian kelewat nggak masalah, disuruh masuk aja dan menyela nomor antrian yang sedang berjalan. Ya tapi mungkin tiap rumah sakit beda-beda lah ya metode rekayasa antrinya. Santuy lah, ora perlu nesu.
Nah, setelah vaksin, saya diberikan kartu vaksin yang isinya tanggal vaksin saat itu, dan jadwal vaksin dosin kedua, di bulan September nanti. Ada juga selembar kerta penjelasan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang kurang lebih isinya efek samping ringan. Misalnya mual, myalgia, arthralgia, malaise, dan lain-lain.
Yang saya rasakan, tentu saja bahu kiri bekas suntikan kemeng dan pegal, berasa berat. Kemudian, malamnya saya demam, sampai pagi! Sekitar subuh agak mendingan demamnya. Gantinya malah pusing, banget nget nget. Kepala berasa berat banget. Mual sih nggak.
Beberapa rekan kerja saya yang pengalaman divaksin AstraZeneca punya berbagai cerita. Ada yang demam doang, nggak sampai pusing. Ada yang cuman pegal di area bahu saja. Ada juga yang nggak merasakan Kejadian Ikutan Pasca Vaksinasi (KIPI) sama sekali. Saya pikir kok KIPI saya paling aneh ya? Apakah saya akan berubah menjadi titan? Udah excited dong saya kalau bisa jadi kayak Eren.
Begitulah pengalaman divaksin AstraZeneca yang saya alami. Sayang sekali setelah saya tunggu-tungguh sampai sekarang, saya belum juga bisa henshin jadi titan. Sepertinya saya memang nggak punya darah Eldia. Terima nasib saja dan lanjutkan kerja lembur bagai kuda. Dasar para generasi ahli leyeh-leyeh.
Editor : Hiz
Foto : Pexels
Comments