Beberapa hari yang lalu, Saya dihubungi seorang kawan. Sebut saja Intisari, Ia seorang mahasiswi jurusan Kesehatan Masyarakat di sebuah universitas di Semarang. “Aku nggak jadi magang di Kemenkes. Banyak faktornya, selain Jakarta sedang zona merah, aku juga udah nemu tempat magang di Tegal.” Begitu kalimat yang kubaca saat membuka layar whatsapp.

Di tulisan ini, saya tidak akan menceritakan panjang lebar isi chat kami, toh nggak perlu juga. Namun, ada satu hal yang menarik untuk saya ceritakan di sini. Di akhir obrolan kami, kawan saya ini bilang, “Aku nggak mau nutup jalan adik tingkat buat magang di Kemenkes, jadi aku menolak dengan halus, sehalus mungkin.” Hal itu kemudian Ia buktikan dengan tangkapan layar percakapannya bersama pihak Kemenkes.

Yang menarik di mana?

Sekarang coba kita berandai-andai, andai saja waktu itu kawan saya menolak dengan bahasa yang kurang mengenakkan, padahal Ia sendiri yang sebelumnya melamar untuk magang di tempat tersebut. Jika demikian kenyataannya, sangat mungkin kesempatan adik tingkatnya untuk magang di tahun-tahun berikutnya sampai akan tertutup. Atau paling tidak, kesempatannya akan menurun sekian persen. Masuk ya?

Selanjutnya, hal tersebut senada dengan cerita seorang kawan saya yang lain, Jufri. Ia merupakan mantan pekerja kontrak di sebuah pabrik di Kawasan Industri MM2100 Cibitung, Bekasi, Jawa Barat. Jufri bercerita, ketika Ia masih bekerja di pabrik, ada satu dua orang pekerja asal Tegal yang membuat kesalahan terbilang fatal. Apa konsekuensinya? PHK, sudah pasti. Akan tetapi yang sangat disayangkan, pabrik tersebut kemudian enggan menerima karyawan asal Tegal dalam kurun waktu yang belum ditentukan.

Fatal bukan? Lalu yang dirugikan siapa? Orang lain. Yap, orang yang sama satu almamater, bahkan orang-orang yang memiliki kesamaan secara primordial.

Kelihatannya sepele memang, namun kita tidak pernah tahu, hal kecil apa yang kita perbuat kemudian berdampak demikian besar. Kalau dampak dari tindakan kita itu membawa manfaat tak jadi masalah. Akan tetapi, kalau akibat dari tindakan yang kita lakukan membawa dampak yang kurang baik bahkan cenderung merugikan, langkah yang bisa kita lakukan hanya satu, yaitu mencegah.

Upaya preventif ini bisa kita lakukan dengan membangun kesadaran sebagai apa dan siapa posisi kita dimanapun dan bagi siapapun. Kita musti sadar betul, bahwa ada hal selain knowledge dan skill yang sangat penting untuk kita miliki, ialah attitude. Jangan sampai karena attitude kita, orang lain yang terkena getah yang padahal bukan kesalahan mereka.

Forum perekrut tenaga kerja, kolom pakar di media massa internasional, bahkan berbagai riset. Belakangan, cukup sering membahas topik pilihan antara skill dan attitude dalam perekrutan tenaga kerja baru. Hasil yang didapat, secara umum attitude menempati posisi di atas skill.

Mark Murphy, penulis Hiring For Attitude, dalam wawancaranya dengan Forbes edisi Januari 2012 menyebutkan, 46 persen dari 20.000 pekerja baru yang disurvei kedapatan gagal dalam 18 bulan. Yang mengejutkan, 89 persen dari kegagalan mereka adalah karena alasan attitude. Selebihnya, hanya 11 persen yang disebabkan alasan skill. Lebih lanjut ia menjelaskan, skill juga penting untuk dimiliki. Namun, skill jauh lebih mudah untuk di takar, cukup dengan tes kecakapan, kapasitas skill calon pegawai sudah bisa diketahui.