Lagu yang belakangan ini viral di berbagai sosial media dengan dimensi romantis. Banyak yang menginterpretasikan lagu ini adalah kerinduan untuk orang tersayang. Namun, ada juga yang berasumsi kerinduan dengan sosok Sang Pencipta. Terlepas dari itu, lagu “Kepada Noor” ini sangat banyak yang menggemarinya.

Lagu “Kepada Noor” ini adalah hasil dari konversi puisi karangan Moch. Syarip Hidayat menjadi sebuah lagu dengan judul yang sama. Puisi tersebut ditujukan kepada sang istri yang bernama Siti Nurbaya. Sebenarnya ada tiga karangan puisi untuk pujaan hatinya mulai dari “Kepada Noor 1”, “Kepada Noor 2” dan “Kepada Noor 3”. Karangan “Kepada Noor 3” inilah yang kemudian dimusikalisasi menjadi lagu “Kepada Noor”.

Dalam tulisan ini, penulis mencoba menggali makna lagu “Kepada Noor” dengan pendekatan teologis. Namun, alangkah lebih baiknya jika pembaca berkenan mendengarkan lagu tersebut sambil membaca tulisan ini. Penulis mencoba memaknai ulang lirik lagu ini dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan beberapa kitab tafsir.

Sebelumnya, penulis ingin menegaskan bahwa pemaknaan di sini bukanlah pemaksaan makna apalagi “cocoklogi” ayat Al-Qur’an ke dalam lagu ini. Namun, penulis mencoba menghubungkan ayat-ayat Al-Qur’an yang relate dengan lirik lagu “Kepada Noor” ini, terlebih dengan penafsiran Al-Qur’an. Penulis berasumsi hal ini sejalan dengan istilah yang dipakai oleh Hasan Hanafi yaitu penafsiran transformatif atau pemaknaan aktual Al-Qur’an Mohammad Arkoun yang disebutkan dalam buku Madzahibut Tafsir karya Abdul Mustaqim.

Pemaknaan Teologis Lagu “Kepada Noor”

Secara bahasa, makna dari “noor” atau “nur” di sini ialah “cahaya”. Memaknai dari Tafsir As-Sa’di, Q.S. Al-Baqarah ayat 257 bahwa “nur” atau “cahaya” itu ialah wahyu dan keimanan. Puncaknya yaitu Sang Pemilik Cahaya itu sendiri, yaitu Allah. Dari pemaknaan tersebut, kita bisa memahami judul lagu ini diperuntukkan kepada Allah Sang Pemilik Nur.

Seperti burung yang sedang membuat sarang
Dari rumput dan ilalang
Kususuri setiap keindahan
Di wajah-Mu kusematkan

Dalam Q.S. Al-Mulk ayat 19 disebutkan:

Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu.”

Memahami dari Tafsir al-Madinah al-Munawwarah, Prof. Imad Zuhair Hafidz menyebutkan burung yang terbang tinggi adalah bukti rahmat dan anugerah Allah. Sejalan dengan lirik lagu di atas bahwa analogi burung yang menikmati keindahan alam adalah bukti kekuasaan Tuhan. Hal ini pun sejalan dengan buku Menjadi Hamba Menjadi Manusia karya Fahrudin Faiz yang menyebutkan perumpaan pancaran Dzat Tuhan yang berada di alam semesta.

Rindu adalah perjalanan mengurai waktu
Menjelma pertemuan demi pertemuan
Catatannya tertulis di langit malam
Di telaga dan di ujung daun itu

Rindu biasanya terjadi karena adanya perpisahan setelah pertemuan. Namun, ketika kerinduan dengan Allah, lalu muncul pertanyaan, kapan manusia bertemu dengan- Nya? Dalam Tafsir Kemenag, memaknai Q.S. Al-A’raf ayat 172 bahwa proses penciptaan manusia dari air mani hingga menjadi manusia terjadi pengakuan ruh manusia akan adanya Allah, kepercayaan kepada Allah. Hal ini membuktikan bahwa sejak manusia dilahirkan sudah mengalami perjumpaan dengan Allah, sangat pantaslah jika manusia kembali merindukan pertemuan dengan Allah. 

Merindukan perjumpaan dengan-Nya, dimanifestasikan dengan ibadah malam yang dalam lirik ini tergambar dalam lirik “Catatannya tertulis di langit malam”. Hal ini karena ibadah malam sangatlah spesial, ibadah salat tahajud, sebuah ibadah diabadikan dalam Al-Qur’an, yaitu Q.S Al-Isra ayat 72. 

Sejalan dengan pemaknaan Q.S Al-Isra ayat 72 dalam Tafsir Al-Wajiz, Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa diharapkan dengan ibadah malam tersebut, Allah membangkitan kita pada hari kiamat di tempat terpuji. Tempat terpuji pada bait lirik ini tergambarkan dengan “telaga”, sejalan dengan pendapat Hamry Gusman dalam buku 7 Mukjizat Finansial menjelaskan, telaga yang berisikan air yang berasal dari sungai Al-Kautsar yang berada di surga.

Rindu mengekal menyebut nama-Mu berulang-ulang
Rindu mengekal menyebut nama-Mu berulang-ulang

Begitulah kerinduan, ia tidak bermakna apa-apa jika tidak melakukan sesuatu. Jika dianalogikan kita yang rindu dengan seseorang, maka perlu bertemu untuk mengobati rasa kerinduan itu. Maka, ketika rindu dengan Allah perlu melakukan tindakan yang nyata untuk mengobati kerinduan tersebut. Menghidupkan ibadah malam salah satunya, dan puncaknya kerinduan itu dibuktikan dengan selalu mengingat Allah. 

Hal demikian digambarkan dengan lirik bait “rindu mengekal menyebut nama-Mu berulang-ulang” ini mengisyaratkan senantiasa berzikir kepada Allah. Baik berupa salat sesuai Q.S. Thaha ayat 14 ataupun membaca Al-Qur’an sesuai yang diisyaratkan Q.S Al-Hijr ayat 9 dan dipertegas Q.S Al-Qamar ayat 17. 

Kerinduan Terhadap Tuhan Perlu Kesadaran Hamba

Terakhir, walaupun pemaknaan dengan pendekatan teologis ini tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh pencipta lagu. Terlepas dari itu semua, penulis ingin menyampaikan bahwa pemakanaan lagu “Kepada Noor” dengan pendekatan ini mengajarkan kepada kita untuk pemaknaan kerinduan terlebih kepada pemilik “Nur” itu sendiri, yaitu Allah, perlu kesadaran dan pembuktian dari seorang hamba. 

Sadar akan anugerah dan rahmat-Nya, kemudian dari kesadaran itu, perlu pembuktian atas perjalanan kerinduan. Mulai dari melaksanakan ibadah spesial di malam hari, dan ujungnya ialah dengan tujuan selalu mengingat Allah. Konsekuensi dari zikir tersebut ialah mendapat ketenangan sesuai Tafsir As-Sa’di dalam memahami Q.S Ar-Ra’d ayat 28 dijelaskan sudah seyogyanya dengan mengingat-Nya akan menjadi tenang. Itulah yang menjadi puncak kenikmatan dalam perjalanan merindukan-Nya.

Gambar: Instagram Pribadi Panji Sakti

Editor: Yud