Menjadi miskin sungguh susah sekali. Apalagi jika nama tercatut dalam SK penerima KIP-K. Hati-hati, siapa tahu nama dan juga tangkapan layar profil instagram telah tersebar. Lebih apes lagi, bisa-bisa nomor sepatu atau catatan perjalanan vakansi kita sedang dibicarakan oleh warganet dalam forum terbuka. Gila!

Bagaimana tidak? Sudah terhitung lebih dari lima unggahan mengenai aduan penerima KIP-K yang berfoya-foya jadi viral dari akun menfess di platform X oleh beberapa mahasiswa dari universitas negeri di beberapa pekan terkahir ini.

Fenomena “witch hunting” atau “spill kelakuan”mahasiswa-mahasiswi bergaya dengan uang KIP-K membuat keresahan yang membakar ceruk diskursus akhir-akhir ini di sosial media. Ada yang resah karena penerima KIP-K ini justru didominasi orang kaya, sedang di satu sisi ada yang cemas lantaran perkara ini dapat membongkar privasi.

Dua spektrum kecemasan ini diadu oleh realita yang akan terus terjadi, yang kaya semakin kaya dan yang miskin makin sulit mendapatkan aksesnya. Ketimpangan terus merajalela, dan tentu, yang miskin makin merana.

Kebencian Kelas

Seakan-akan ada sebuah kutukan buat mereka yang miskin untuk tak boleh bahagia. Tak boleh pergi ke kafe dan juga berfoto di sana dan memakai baju bagus sesekali. Tak boleh ini-itu dan hal-hal lainnya. Ada sebuah stigma yang terus dipelihara tentang kelas ekonomi bawah. Bahwasanya semua sepakat membenci dan menghindari (menjadi) orang miskin.

Stigma ini nampak jelas ketika diskursus di sosial media menjadi sebuah kontrol moral bagaimana mahasiswa penerima KIP-K seharusnya. Sekat-sekat yang terbangun dalam pandangan kita mengenai kemiskinan patut dipertanyakan karena pandangan ini cukup berbahaya.

Adela Cortina dalam bukunya “Aporophobia: Why We Reject The Poor Instead of Helping Them” membaca sebuah lanskap sosial yang turut menyudutkan masyarakat kelas bawah. Pada dasarnya respon ini merupakan sebuah kenyataan asimetri sosial. Secara tak sadar perilaku Aporofobia didasari oleh perasaan lebih “mulia” dan mencipta subordinasi antar kelas.

Sehingga alih-alih melihat kasus KIP-K sebagai kegagalan sistemik, diskursus kita hanya jalan di tempat pada dimensi personal. Bahwasanya kegagalan dan kemiskinan itu implikasi dari kurangnya kerja keras diri. Dalam satu studi  tentang benefit stigma (Baumberg, 2016) lekat sekali paradigma masyarakat miskin sebagai pemalas dan tak beradab. Kemudian dalih ini menjadi sebuah premis yang membabat habis struggles of the poor.

Diskursus yang terjadi kemudian jadi wahana asik buat membenturkan satu sama lain. Adu domba bagi orang-orang yang memang berhak tapi dituduh menyalahgunakan dana. Kemudian kita saling gigit satu sama lain. Kini tajuk mulai merembet menjadi penerima KIP-K versus semua orang di dunia. Padahal UKT tetap saja tinggi. Pendidikan juga tak pernah berpihak pada rakyat.

Kebencian Salah Alamat

Makin keruhnya kasus ini meneguhkan premis bahwa pendidikan bagi semua adalah utopia belaka. Program-program beasiswa layaknya KIP-K, LPDP, IISMA selalu menguntungkan yang kaya. Kita sudah tak asing lagi dengan bagaimana penerima KIP-K yang ternyata mampu, awardee LPDP yang tak pulang-pulang atau awardee IISMA yang bisa jalan-jalan ke luar negeri sendiri. Cerita lama tentang kegagalan sistem tak kapok-kapoknya menyadarkan betapa kebencian kita ini salah alamat.

Padahal yang punya kewenangan dalam peraturan dan evaluasi sistem ini yang seharusnya dikejar habis-habisan. Bagaimana bisa kita terus-menerus kebobolan, teriak maling sedangkan yang bertugas menjaga gerbangnya malas-malasan?

Sudah sepatutnya kita mundur sejenak dalam melihat keruhnya diskursus ini dan melihat bagaimana mitigasi akan hal yang serupa dapat terjadi. Maka alangkah baiknya kita bisa berimajinasi untuk memiliki peran pengawasan dan keterlibatan yang adil dalam hak-hak milik kita. Bisa jadi juga bagaimana mekanisme pengawalan program ini dapat dilakukan bersama. Jadi kita tak akan jatuh pada kubangan keruh yang salah alamat lagi.

Bahkan, bisa jadi kita melihat lebih kompleks lagi, atas bagaimana kemungkinan-kemungkinan bahwa pendidikan itu gratis! Semua orang sama haknya untuk mendapatkan pendidikan. Dengan begitu kita bisa menyimpan kebencian kita terhadap penerima KIP-K, karena sudah tidak ada program-program karitas palsu yang bikin kita debat melulu! Lantas kebencian kita terhadap orang miskin sudah tidak laku!-Eh, tapi kita betul-betul ingin memerdekakan pendidikan, bukan?  

Editor: Pratama

Gambar: Tim Gouw on Unsplash