Kasus Kekerasan seksual merupakan penderitaan yang menyakitkan terutama bagi korban dan keluarganya. Bagaimana tidak, rasa malu dan aib yang ditanggung seumur hidup dalam lingkungan sosial bagaikan ungkapan “hidup segan, mati tak mau.” Bukan cuma tugas keluarga, wajib rasanya sahabat, tetangga hingga masyarakat pada umumnya untuk bersama-sama memberikan semangat dan dukungan untuk bangkit guna mendorong pemulihan kesehatan mental korban dan keluarga. 

Mayoritas masyarakat mungkin sudah tidak asing lagi dengan istilah playing victim. Suatu perilaku jahat yang diumpamakan layaknya serigala berbulu domba. Seseorang yang berlakon seolah-olah dia adalah korban, padahal sebaliknya merupakan mastermind dari suatu tindak kejahatan. Perilaku playing victim hanya akan merugikan orang lain dan  menghancurkan citra si pelaku sendiri.

Selain dari playing victim, ada istilah lain yang maknanya saling bertolak belakang yaitu victim blaming. Jika playing victim pelaku berpura-pura layaknya korban, maka victim blaming korban seolah-olah dianggap sebagai pelaku. Perilaku victim blaming ini sudah menyebar luas di kalangan masyarakat dan menjadi seperti suatu kenormalan. Padahal, victim blaming dapat merusak kesehatan mental bahkan bisa berujung depresi berat bagi sang korban.

Pemahaman masyarakat yang kurang dan budaya patriarki menyebabkan korban menjadi orang pertama yang selalu disalahkan atas kasus kekerasan seksual. Entah karena busana korban yang terbuka dan mengundang birahi para pria bukan berarti korban penyebab utamanya. Sesat berpikir seperti ini merupakan sebuah kesalahan fatal yang harus dibenahi. Iman dan takwa adalah benteng utama yang mencegah seseorang untuk berbuat maksiat termasuk kekerasan seksual.

Mengapa Korban Kekerasan Seksual Cenderung Disalahkan?

Pertanyaan ini menggelitik nurani kita, dalam hati banyak yang berujar “salah sendiri jalan-jalan malam sendirian”, atau “pantesan aja pakaian lo seksi gitu”. 

Psikolog Sosial & Kesehatan Juliana Breines, Ph.D. dari Psychology Today menyebut ada 5 alasan kenapa masyarakat cenderung menyalahkan korban kekerasan seksual:

  • Ingin melihat kelemahan personal korban
  • Menjauhkan diri dari korban secara moral
  • Lebih berempati terhadap pelaku
  • Dehumanisasi korban
  • Memiliki kepribadian yang buruk

Alasan ini pula yang menjadi penyebab mengapa korban kekerasan seksual enggan melapor karena malu dan merupakan aib bila diumbar ke publik.

Adapun ciri-ciri korban yang mengalami victim blaming diantaranya menyalahkan dirinya sendiri, takut melaporkan kejadian kekerasan, merasa tak berdaya, tertekan, hilangnya kepercayaan diri dan lainnya.

Siaran Pers Kemendikbudristek Nomor 368 Tahun 2023 menerangkan bahwa hasil Survei Asesmen Nasional Tahun 2022 mengungkap 1 dari 3 peserta didik (34,51%) berpotensi mengalami kekerasan seksual dan 1 dari 4 peserta didik (26,9%) berpotensi mengalami hukuman fisik. Lalu sebanyak 1 dari 3 peserta didik lain (36,31%) berpotensi mengalami perundungan (bullying).

Mau apapun ceritanya, korban itu harus mendapat hak perlindungan baik perlindungan hukum ataupun perlindungan sosial. Instrumen negara seperti Lembaga Perlindungan Saksi & Korban (LPSK) memiliki peran untuk itu. Publik dilarang menjustifikasi korban sebelum ada keputusan hukum yang final dan mengikat dari lembaga yang berwenang. 

Cara Melenyapkan Budaya Victim Blaming

Korban kekerasan seksual bukan untuk dijauhi, dihardik atau diasingkan dari pergaulan, melainkan untuk dibela, dilindungi dan dipulihkan nama baiknya. Pemimpin mulai dari tingkat pusat hingga kepala lingkungan harus pro aktif melindungi masyarakatnya dari potensi kekerasan seksual.

Berikut cara melenyapkan budaya victim blaming:

  1. Memperdalam Literasi Soal Kekerasan Seksual

Edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tetap menjadi langkah pertama dan utama dalam menghentikan budaya victim blaming

  1. Percaya Penuh pada Korban

Korban adalah penderita yang paling dirugikan. Percaya pada kesaksian korban menjadi kunci untuk menyelesaikan victim blaming yang tak berkesudahan.

  1. Korban Berani Mengungkapkan Hal yang Sebenarnya 

Berani menyuarakan kebenaran dan speak up untuk memecah kebisuan tentang kekerasan seksual.

  1. Menggalang Dukungan untuk Korban 

Berbagai platform sosial media dan website bisa menjadi sarana menggalang dukungan untuk korban.

  1. Terduga Pelaku Harus Bertanggung Jawab

Tak ada jalan lain bagi pelaku selain mempertanggungjawabkan perbuatannya. Jika terbukti melakukan hal bejat tersebut, maka pelaku harus siap menerima hukuman.

Semoga dengan cara tersebut dapat memusnahkan budaya victim blaming dari bumi Indonesia. Kekerasan seksual harus dihentikan selama-lamanya.

Gambar: Google

Editor: Bunga