Pakai tas kain bikin go go green?
Selama mbak ART mudik Lebaran, frekuensi pesan makanan lewat ojek online pun meningkat. Sebelumnya, berdasarkan catatan transaksi di handphone saya, pembelian makanan rata-rata dua kali seminggu. Pembelian itu juga biasanya kalau lagi kebagian jatah WFO, jadi beli untuk makan siang di kantor. Dua minggu terakhir, hampir tiap hari saya membeli makanan lewat layanan pesan antar.
Jadwal mudik si mbak ART yang tidak diikuti oleh penyesuaian jadwal kerja membuat saya agak kerepotan membagi waktu. Sebagai ibu 3 anak dan juga bekerja di luar rumah, hal ini sungguh membuat saya memutar otak. Alhasil, untuk persediaan makanan buka puasa mengandalkan layanan pesan antar. Menariknya, hampir setiap merchant memberikan tas non plastik/kain. Jika dalam sehari, saya memesan dari 2 warung yang berbeda, maka saya akan mendapat 2 tas kain. Setelah saya hitung-hitung, dalam 2 minggu ini, saya mendapat 14 tas kain baru. Banyak juga rupanya…
Seingat saya, penggantian tas plastik pakai tas kain ini mulai marak digunakan sejak tahun 2019. Semangatnya tentu adalah untuk menyelamatkan lingkungan dengan mengurangi penggunaan plastik. Beragam tas belanja reusable dijual di supermarket dan swalayan untuk mendukung kampanye go green. Jadi konsumen sudah tidak lagi diberi kantong plastik atau kresek untuk belanjaannya. Sejak itu pula, saya sudah menyiapkan diri dengan membeli tas belanja ukuran kecil, sedang dan besar untuk keperluan belanja bulanan.
Sejak pandemi ini, koleksi tas reusable saya bertambah banyak sekali. Di luar 14 tas kain yang saya dapatkan selama 2 minggu terakhir, saya hitung-hitung, ‘koleksi’ tas kain saya ada 6 lusin! Tas kain beraneka tulisan nama warung makan maupun produk tersebut memenuhi kardus yang saya sediakan untuk menyimpannya.
Ketika ada momen buka puasa bersama di akhir Ramadan lalu, saya juga sempat rasan-rasan dengan tetangga. Acara buka puasa bersama tersebut diadakan dengan membawa makanan yang dibagi-bagi sesuai dengan kesepakatan. Tujuannya agar tidak ada menu makanan yang dobel. Saya kebagian membawa buah yang saya bawa dengan tas kain yang saya punya. Ternyata beberapa ibu-ibu yang hadir juga membawa tas kain senada, yang didapat juga dari produk atau toko.
Selanjutnya topik tas kain pun menjadi salah satu bahasan sore itu. Banyak tas kain yang akhirnya juga jadi sampah. Bagi kami yang awam tentang ilmu daur ulang, hal itu menimbulkan kesan bahwa pakai tas kain maupun tas plastik sama saja. Yaitu ujung-ujungnya akan berakhir di tempat sampah. Tersempil satu argumen di rasan-rasan sore itu, bahwa tas plastik juga bisa digunakan berulang. Guna tas kresek bekas itu misalnya untuk melapisi tempat sampah di dalam rumah. Sehingga penggunaan tas plastik juga bisa go green alias reusable. Memenuhi salah satu unsur 3R dalam prinsip go green itu bukan?
Kondisi ini menimbulkan dilema bagi saya pada akhirnya. Saya merasa apakah effort membuat tas dari bahan spunbond ini benar-benar efektif dalam mengurangi limbah pencemaran lingkungan. Bahan spunbond yang digunakan untuk pada hampir semua tas belanja yang saya dapatkan, juga digunakan untuk bahan masker. Secara sifat bahan, spunbond terkenal ramah lingkungan dan higienis.
Pembuatan tas kain ini di satu sisi juga memerlukan penggunaan banyak sumber daya lain dalam proses produksinya. Produksi tas dari kain misalnya memerlukan kapas sebagai bahan bakunya. Untuk menghasilkan tas kain, maka dibutuhkan proses tanam kapas, pupuk, dan seterusnya hingga menjadi serat tekstil siap pakai. Bagi saya, proses ini tidak sepenuhnya ramah lingkungan.
Memang benar, bahwa tas tersebut bisa digunakan berulang kali dan bisa dicuci. Namun, dengan pola distribusi tas seperti yang saya alami, maka akan terjadi penumpukan yang berujung menjadi waste. Bukannya ini juga menjadi masalah baru?
Selain pakai tas kain, saya ingat juga sempat booming penggunaan sedotan reusable yang terbuat dari besi atau stainless steel. Sedari awal saya mikirnya apa iya sedotan metal itu bisa mengurangi kerusakan lingkungan? Yang terbayang lagi-lagi adalah proses pembuatan sedotan metal yang butuh lebih banyak energi daripada sedotan plastik.
Yang jelas sedotan metal ini sempat jadi tren yang dipuja-puja para SJW lingkungan. Untuk terlihat edgy dan kekinian, kafe-kafe ternama pun mengemas sedotan metal dengan kemasan fancy. Padahal untuk membuat sedotan metal tersebut melibatkan penebangan pohon dan penggalian tanah. Lha malah lebih merusak lingkungan bukan?
Di balik kampanye-kampanye sejenis, bahwa gaya hidup yang go green tampaknya masih berupa konsep amburadul dan belum jelas. Bisa dibilang masih dalam taraf mengaku-aku go green tapi malah menimbulkan masalah baru. Ngoyo-ngoyo bikin tas kain, kalo ga dikontrol dengan baik ya malah mbel….
Comments