Ada yang berbeda pada Lebaran tahun ini. Selain kita semua masih harus berhadapan dengan pandemi sekaligus kebijakan pemerintah yang membikin banyak orang ikut-ikutan plin-plan, saat ini, bertolak belakang dengan beberapa tahun sebelumnya, pertanyaan yang diawali dengan kata “kapan” dengan segala pembahasannya, terkesan biasa saja. Tidak menyebalkan, tidak pula memancing keributan.

Jika sebelumnya pertanyaan kapan nikah, kapan lulus, kapan punya anak—termasuk nambah anak—dan sebangsanya memiliki kesan menyebalkan sekaligus sangat dihindari untuk dibahas karena cukup mengganggu dan hampir selalu dipikir dari sisi negatifnya, kini, sepertinya sebagian orang sudah cuek dengan hal tersebut. Sebaliknya, narasi serupa justru memiliki kesan yang biasa saja dan baiknya dilihat juga sisi positifnya.

Setelah dipikir berulangkali, saya sepakat dengan utas singkat tersebut. Sejak kapan segala pertanyaan berawalan “kapan” memiliki kesan ofensif? Bukankah pertanyaan basa-basi tersebut sudah dilakukan sejak dulu oleh para saudara dan orang tua ketika kumpul keluarga? Lagipula, tidak semua orang yang bertanya demikian punya niatan salty, nyinyir, atau mengejek, kan?

Belum lagi sebagian orang yang merasa dirinya paling swag dan keren ketika bisa merespons segala pertanyaan kapan dengan jawaban yang savage—dirasa membuat orang lain yang bertanya mati kutu, ketus, punya kecenderungan untuk menyakiti seseorang yang bertanya.

Parahnya, tidak sedikit pula yang mengirimkan screenshot percakapan serupa ke akun Twitter anonim. Sehingga dibaca oleh banyak orang dan menimbulkan perdebatan di kolom reply—seperti yang sudah-sudah.

Pada titik tersebut, seseorang boleh saja merasa tidak nyaman atau justru termotivasi dengan segala pertanyaan kapan. Kendati demikian, merespons dengan jawaban yang savage sampai membikin orang yang bertanya mati kutu, rasanya terlalu berlebihan. Apalagi kita belum mengetahui motif dibalik pertanyaan yang diajukan.

Jika niat orang lain justru mau memberi solusi atau membantu, bukannya malah bisa jadi menyakiti perasaan seseorang? Kalaupun membikin risih, ya jawab seadanya aja gitu. Semisal, “Iya, nih. Belum rezekinya. Hehehe.” Atau “Ada, deh. Nanti juga kalau udah waktunya dikabarin, kok.” Percaya, deh. Orang yang niatnya kurang baik saat mengajukan segala pertanyaan kapan, ketika nggak mendapat respons sesuai, ujung-ujungnya akan merasa malas untuk melanjutkan.

Boleh jadi, meski menyebalkan dan seringkali bikin mangkel, pertanyaan berawalan kapan justru bentuk lain dari perhatian sanak famili yang jarang sekali bertemu—bisa jadi hanya setahun sekali dan jarang berkomunikasi via chat atau telepon. Sehingga, untuk mengetahui kabar terkini, tidak jarang diawali dengan pertanyaan yang di luar dugaan.

Nggak semua orang, khususnya orang tua, main Twitter dan punya wawasan yang sama dengan generasi muda zaman sekarang. Nggak semua orang tahu bahwa, ternyata pertanyaan kapan bisa membuat perasaan seseorang kurang nyaman. Nggak semua orang tahu, pertanyaan kapan ternyata bisa menjadi viral di Twitter karena digiring ke arah yang terkesan negatif.

Sekali lagi, bagaimana jika ternyata seseorang yang bertanya, justru punya niat menawarkan bantuan, atau bahkan sebagai perantara Tuhan dalam memberi solusi dari permasalahan yang sedang kita alami? Lantas, karena jawaban savage, orang yang bertanya malah berpikir, “Kok mau ditawarkan bantuan responsnya malah kurang menyenangkan, ya?” kemudian malah mengurungkan niat baik tersebut.

Namun, di sisi yang lain, sulit dimungkiri bahwa, segala pertanyaan kapan, akan mendadak sangat menyebalkan jika ditambah unsur mendikte ini-itu seakan tahu segalanya, menghakimi tanpa bertanya terlebih dahulu apa saja kesulitan yang dihadapi, dan pilihan hidup yang dijalani. Misalnya saja soal, “Kapan nikah? Kok usia segitu belum menikah? Apa lagi yang ditunggu? Teman-temanmu sudah pamer foto di Instagram bareng anaknya, lho.”

Daripada berdebat dan merespons dengan jawaban yang sok savage, rasanya akan jauh lebih baik jika memberikan jawaban apa adanya dan logis. Selalu ada alasan dibalik kenapa belum menikah, kenapa belum lulus, dan seterusnya, dan seterusnya, kan?

Orang yang bertanya dan peduli akan kesulitanmu, akan menjadi pendengar yang baik. Kalaupun hanya sekadar bertanya tanpa punya niatan mendengarkan lebih jauh, ya jawab seadanya saja, kawan.

Editor : Hiz