Desember, orang-orang di daerah saya biasanya memaknai dengan “Derese Sumber (Derasnya Sumber)”. Hal ini didasarkan pada intensitas hujan yang tinggi di bulan tersebut. Oleh sebab itu, bulan Desember merupakan salah satu bulan yang paling nyaman bagi para pluviophile. Mereka menikmati hujan dengan cara masing-masing. Selain itu, pilkada 2020 juga digelar pada bulan Desember yang juga menyisakan beberapa kenangan.
Saya sendiri lebih memilih menikmati hujan dengan suguhan secangkir Luwak White Coffee dan pisang rebus. Kalau nggak ada, Youtube jadi penggantinya. Jika tak punya kuota internet, tidur adalah pelariannya.
Di sisi lain, hujan (katanya) membawa kenangan. Itu sih berdasarkan postingan-postingan di Instagram dan status Whatsapp kontak saya. Setelah apa yang terjadi, ternyata tak hanya hujan yang membawa kenangan. Pilkada 2020 kemarin pun juga membawa kenangan. Ya, 9 Desember 2020, sebanyak 270 daerah menyelenggarakan pilkada secara serentak, termasuk daerah saya. Hal ini tentu membuat jalanan penuh dengan baliho-baliho besar yang menawarkan kandungan glukosa tinggi kepada rakyat. Namun, itu adalah hal yang biasa.
Adapun beberapa hal yang (menurut saya) cukup menarik untuk di ceritakan, di antaranya:
1. Libur Nasioanal Hanyalah Mitos
Sebelum hari-H pelaksanaan pilkada, saya sempat searching di Google apakah tanggal 9 Desember 2020 merupakan hari libur nasional. Semua sumber menunjukkan bahwa pemerintah telah menetapkan 9 Desember 2020 sebagai hari libur nasional. Meski begitu, saya masih agak ragu karena pihak kampus belum mengeluarkan surat edaran terkait hal tersebut.
Nahas, apa yang saya khawatirkan benar terjadi. Tanggal 8 Desember, ‘salah satu’ dosen saya mengirim pesan di group Whatsapp bahwa besok (9 Desember) tetap masuk. Esok harinya, dosen tersebut kembali mengirim pesan di group Whatsapp. Beliau menyuruh semua mahasiswa untuk segera masuk di “Google Meet.” Beruntungnya, hal tersebut terjadi di kelas sebelah, bukan kelas saya. Saya pun mengucap syukur masih bisa menikmati liburan.
2. Pilkada dan Iman yang Luntur
Kalau yang ini terjadi sebelum hari-H pilkada. Waktu itu, salah satu paslon ada yang datang di desa saya untuk kampanye. Jujur, desa saya baru waktu itu didatangi oleh calon bupati-wabupati. Karena hal tersebut, ya pastinya yang datang ke tempat kampanye buanyak. Di antara mereka, bagi yang ikut menyiapkan kedatangan sang paslon―seperti memasang baliho, bendera partai, dan sebagainya―masing-masing diberi uang 50 ribu.
Hal ini membuat salah seorang dari timses sebelah merasa iri. Akhirnya orang tersebut menegur masyarakat―selesai shalat maghrib berjamaah di masjid―dengan mengatakan, “Masa Cuma gara-gara uang 50 ribu, imannya pada luntur”. Lalu, ada satu orang yang menyahut, “Nggak usah nyinggung iman kalau dalam politik. Iman itu urusan manusia dengan Tuhan. Nggak ada hubungannya dengan hak pilih dalam pilkada”. Orang dari timses (yang merasa iri) tadi pun terdiam tanpa kata.
3. Serangan Fajar tanpa Amplop
Ini terjadi saat hari-H, sekitar jam 5 pagi. Ketika saya baru bangun tidur, saya buka HP kemudian ada chat Whatsapp masuk. Ternyata chat tersebut berasal dari seorang anggota timses yang menyinggung iman tadi. Ia mengajak untuk memilih paslon pilihannya, tapi tidak dikatakan secara eksplisit. Setelah saya bercerita kepada beberapa teman, ternyata mereka juga mendapat chat yang sama dari orang tersebut.
Teman-teman saya sepakat bahwa hal tersebut merupakan serangan fajar yang sia-sia. Orang-orang desa sekarang sudah tak percaya dengan apa yang disebut “Integritas pejabat”. Jangankan mereka yang punya gelar sarjana, orang-orang yang setiap harinya pergi ke sawah/memanjat kelapa/kuli, sesuara mengatakan, “Memilih yang mana saja tak ada bedanya. Siapa pun yang jadi nantinya, nasib rakyat tetap sama, tak berubah sama sekali”.
Editor: Nirwansyah
Comments