Tidak ada daya juang atau kemauan untuk mencoba adalah faktor utama yang membuat seseorang menjadi orang gagal atau pecundang.
Di dunia ini, manusia terbagi menjadi dua kasta. Kasta pertama yakni orang-orang kaya yang punya gagasan, bergerak untuk kemajuan, dan menciptakan perubahan sehingga mereka mampu menciptakan peluang dan menemukan berbagai kesempatan.
Sedangkan kasta kedua adalah orang-orang yang tertindas, akses minim kepada berbagai kesempatan, dan akhirnya tidak bergerak kemana-mana.
Masyarakat sosial sekarang sering memberi istilah kepada orang-orang yang ada di kasta pertama sebagai orang yang privileged dan orang-orang yang menempati kasta kedua sebagai orang yang underprivileged. Akan tetapi, benarkah demikian?
Mari kita melihat sebuah contoh ilustrasi kasus dan mengambil pelajaran. Ketika kita melihat sebuah fenomena yang belum terpecahkan, misalnya seperti jasad orang sholih yang tidak membusuk sedikitpun padahal sudah dikubur berpuluh-puluh tahun. Akan ada setidaknya empat tipe orang dalam menyikapi kasus ini.
4 Tipe Manusia
Tipe pertama, mereka terperangah dan takjub lantas meyakini bahwa ini adalah bukti mukjizat Tuhan yang nyata. Sayangnya, beberapa dari mereka kemudian mengkultuskan orang sholih tersebut, mengeramatkan makamnya, dan mengambil tanah kuburannya untuk berkah.
Tipe kedua, adalah orang-orang yang berpikir sebab mengapa jasad orang ini tetap utuh meskipun telah lama sekali dimakamkan.
Tipe ketiga, adalah mereka yang membuat penelitian langsung terhadap jasad orang sholih tersebut. Entah itu dibawa ke laboratorium, kemudian dilakukan pemeriksaan DNA, atau apapun yang bisa menuntun mereka untuk menemukan jawaban secara ilimiah dan empiris.
Terakhir, atau tipe keempat adalah orang-orang yang tanpa berpikir panjang, mereka langsung meliput fenomena ini dengan narasi yang sensasional dan kemudian menjadikannya konten. Dari konten tersebut, mereka meraup pendapatan sebesar jutaan rupiah dan kontennya pun viral.
Pecundang Sesungguhnya
Siapakah di antara mereka yang pecundang? Mari kita bahas satu-persatu.
Tipe keempat bukanlah pecundang. Ia adalah seorang oportunis. Dia jeli melihat peluang dan memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi. Mungkin bisa dibilang jahat, tetapi ia cerdik.
Tipe ketiga, mereka adalah orang-orang cendekiawan. Mereka mungkin tidak akan mendapatkan kekayaan yang melimpah, tetapi memiliki sumbangsih untuk ilmu pengetahuan.
Tipe kedua digolongkan sebagai para pemikir atau filosof. Mereka pun tidak mendapatkan harta materi yang banyak, tetapi mereka menyumbangkan kemajuan atas pemikiran, sehingga masyarakat diharapkan akan lebih berintelek dan maju.
Tipe pertama adalah orang yang bisa dikategorikan sebagai pencundang. Kenapa demikian? Sebab mereka tidak menggunakan akalnya untuk berpikir dan mereka tidak mendapatkan keuntungan apa-apa.
Ciri Seorang Pecundang
Pecundang adalah orang-orang yang kalah dan tidak mau atau tidak mampu untuk melangkah. Setidaknya ada beberapa alasan mengapa orang-orang bisa menjadi seorang pecundang.
Ciri-ciri pecundang yang pertama adalah orang-orang yang membatasi pikirannya sendiri. Betul pikiran manusia itu terbatas, tetapi membatasi pikiran adalah sesuatu yang salah. Untuk mengetahui perbedaannya mari kita lihat analogi ini.
Seseorang dikatakan sudah sampai batasnya ketika dia berlari sejauh yang dia bisa sampai pingsan dan tidak berdaya. Sedangkan orang-orang yang dari awal mengklaim kalau dirinya hanya bisa berlari sejauh tiga meter adalah orang-orang yang membatasi dirinya sendiri.
Kebanyakan kebodohan adalah kebodohan semu. Seperti yang dilansir dari Comprehensive dictionary of Psychoanalysis, Salman Akhtar mengungkapkan bahwa proyeksi psikologis menciptakan penghalang untuk mempelajari sesuatu yang baru, dan dengan demikian membentuk kebodohan semu.
Tidak ada daya juang atau kemauan untuk mencoba adalah faktor utama yang membuat seseorang menjadi orang gagal atau pecundang. Oleh karena itu, privilege bukan alasan.
Pecundang Egois
Selanjutnya, orang-orang pecundang adalah ia yang hanya mementingkan dirinya sendiri.
“Udah ga usah mikirin sosial, politik, pemerintah, bisnis. Biar itu jadi urusan para pembesar saja. Kita pikirin aja besok mau makan apa.”
Pernah mendengar kalimat seperti itu? Terlihat sekali bahwa mereka memutuskan untuk menjadi orang yang kecil. Mereka memustakan perhatiannya hanya untuk diri sendiri. Mereka hanya ingin damai dan sejahtera sendiri.
Sayangnya, yang menyebarkan virus kepencundangan ini tak jarang berasal dari kalangan “agamawan” atau orang-orang “dianggap” memiliki ilmu dan otoritas.
Kita pasti sering mendengar isi ceramah yang bunyinya seperti ini:
“Tidak usah mengejar dunia, dunia ini fana. Lebih baik banyak ibadah supaya kehidupan tenteram.”
Betul, saya pun meyakini kalau hidup memang seharusnya berorientasi kepada akhirat. Tetapi, apabila kita mau berpikir lebih luas lagi, akan ada banyak kehidupan yang terselamatkan apabila kita menjadi kaya.
Lihatlah angka pengangguran yang jumlahnya sudah puluhan juta, lihatlah anak-anak terlantar yang kehidupan masa depannya dipertaruhkan, lihatlah lingkungan yang semakin hari semakin memburuk keadaannya.
Banyak kewajiban yang tertunaikan dan syariat yang terlaksanakan apabila kita menjadi kaya. Bukankah hakikat beragama adalah untuk saling mengasihi, membantu, dan menyejahterakan. Itukan fungsi kita sebagai khalifah?
Tidak Sadar Dimanfaatkan
Karakter selanjutnya yang merupakan ciri-ciri utama dari seorang pecundang adalah orang yang tidak sadar kalau dirinya dimanfaatkan. Kita lihat Korea, mereka bisa kaya sebab mereka menjual handphone kepada negara-negara miskin atau berkembang.
Negara-negara miskin dan pinggiran terus menajadi lebih miskin karena negara-negara inti yang maju menggunakan sumber daya mereka untuk menjadi lebih kaya. Secara teknis, bisa dibilang pihak yang kaya adalah orang yang mengambil keuntungan dari si miskin. Tetapi kenapa si miskin mau dimiskinkan?
Dunia ini seperti permainan catur. Sebab kekalahan kita adalah karena kita salah mengambil langkah dan strategi.
Betul bahwa faktor yang membuat seseorang menjadi sukses dan kaya raya itu banyak. Tetapi sebagai kaum underprivileged, kita sebaiknya sudah harus mengambil tindakan dan meluaskan pikiran. Privilege bukan alasan, menjadi sukses adalah hak semua orang.
Pilihannya tinggal mau apa tidak. Perjuangan orang-orang underprivileged mungkin akan lebih sulit karena tidak bisa mengakses kesempatan dengan mudah. Tetapi jika ada willingness bukan tidak mungkin kita akan menemui jalan kita sendiri kan?
Mari berhenti menyalahkan pihak luar dan mulailah meilihat ke dalam diri sendiri. Bukankah mental tahan banting itu juga privilege?
Editor: Lail
Gambar: Pexels
Comments