Awal mula saya kenal dengan pramuka adalah saat saya duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah, tepatnya kelas 4. Namun, bila ditelisik lebih jauh, saya sebenarnya sudah kenal pramuka sejak TK. Bukan dalam bentuk kegiatan, melainkan tepuk tangan. Yah, setidaknya saat itu saya sudah mendengar istilah ‘pramuka’, meskipun nggak tahu kegiatannya seperti apa. Saat baru ikut kegiatan pramuka, rasanya saya cukup banyak nggrundel dalam hati. Lha gimana nggak? Saya yang waktu itu sedang menginjak usia dimana hasrat untuk bermain berada di level tertinggi, malah harus ikut upacara di bawah terik matahari.
Akan tetapi, ke-nggrundel-an saya tersebut perlahan memudar. Faktanya, dalam kegiatan pramuka saat itu saya masih bisa bermain dengan teman-teman. Saya mulai berpikir bahwa pramuka ternyata nggak buruk-buruk amat. Waktu saya duduk di bangku MI dulu memang kegiatan pramuka lebih banyak permainannya. Jika pun ada materi, biasanya yang diberikan hanya dasarnya saja. Sebagai contoh, tata cara baris-berbaris dengan atau tanpa tongkat. Atau kalau nggak gitu biasanya saya dulu disuruh menghafal trisatya dan dasa dharma.
Hingga di suatu waktu pembina saya mengumumkan bahwa sebentar lagi akan diadakan perkemahan untuk seluruh MI tingkat kecamatan. Mulai saat itulah kegiatan pramuka diisi materi dengan porsi yang lebih banyak ketimbang permainan. Saya dan teman-teman mulai diajari sandi kotak, sandi morse, semafor, hingga cara membuat tandu. Kegiatan pramuka jadi terasa cukup serius, tapi tetap seru dan menyenangkan. Saya sendiri cenderung lebih mudah paham saat materi semafor. Materi sisanya saya pasrah pada teman-teman yang lain. Saat tanggal perkemahan kian dekat, waktu pemberian materi ditambah. Awalnya hanya hari Jum’at saat pramuka, kemudian ditambah di hari Minggu (tapi tanpa atribut pramuka).
Ketika tiba hari-H perkemahan, seluruh materi tadi dilombakan. Saya dan teman-teman menjalaninya semampu kami. Tanpa disangka ternyata kami meraup lumayan banyak juara. Misalnya, kategori semafor kami dapat juara 2, kategori sandi kotak kami dapat juara 1, dan masih banyak lagi. Hasil akhirnya kami memperoleh juara umum 2. Hal tersebut tentu sangat menggembirakan bagi kami. Sejak saat itu, saya jadi makin suka dengan pramuka. Bila mau ada perkemahan lagi, saya merasa jadi tambah semangat. Entah kenapa selalu terbesit rasa percaya diri bisa dapat juara, meskipun bukan juara umum 1.
Sayangnya, seluruh ‘perasaan positif’ saya pada pramuka tersebut runtuh saat saya menduduki bangku Madrasah Tsanawiyah. Atmosfer pramuka yang saya rasakan di MTs benar-benar berbeda dengan saat saya masih MI. ada beragam alasan mengapa saya merasakan hal tersebut. Pertama, materi-materi yang pernah saya pelajari di pramuka MI sama sekali nggak muncul di pramuka MTs. Jangankan semafor dan sandi kotak, trisatya dan dasa dharma aja nggak pernah disinggung. Kedua, Dewan Galang saat itu tampak sekali nggak punya kompetensi di bidang kepramukaan. Kalau pun ada, itu hanya sebagian kecil. Musababnya adalah saat itu OSIS dengan Dewan Galang digabung. Artinya, mereka yang jadi OSIS akan otomatis jadi Dewan Galang. Karena didampingi oleh orang-orang yang kurang kompeten, pramuka jadi seperti bukan pramuka lagi.
Pramuka waktu saya MTs terasa seperti sekadar formalitas supaya ada ekstrakurikuler yang (wajib) diikuti oleh seluruh siswa kelas 7. Bungkusnya memang pramuka, tapi isinya sama sekali enggak. Kegiatan perkemahan pun demikian, sangat-sangat nggak ada rasa pramuka seperti saat saya masih MI. Dewan Galang waktu itu bahkan menyuruh kami melakukan hal-hal yang (menurut saya) sia-sia dan sama sekali nggak ada hubungannya dengan pramuka. Saya mbatin, “Hadeh! Iki opo-opoan to jane!?”. Akhirnya, perlahan saya pun mulai melupakan gambaran kegiatan pramuka yang memang benar-benar pramuka, bukan cuma bungkusnya. Sedikit demi sedikit saya lantas mulai lupa dengan materi pramuka yang pernah saya pelajari di MI dahulu.
Tak berselang lama, saya lantas memasuki jenjang Madrasah Aliyah. Saya yang waktu itu udah nggak terlalu suka dengan pramuka, lagi-lagi harus bertemu dengan kegiatan yang identik dengan seragam warna coklat tersebut. Awal mula berangkat ya…..saya nggak seantusias dahulu. Entahlah! Saya seperti merasa ada hal yang mungkin akan mengecewakan lagi laiknya pramuka yang saya temui di MTs. Namun, ternyata dugaan saya meleset. Pramuka waktu MA ternyata memiliki materi yang sama dengan pramuka waktu saya MI, tapi tentu dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi.
Oke! Dari segi materi saya sudah merasa cocok. Saya mulai kembali suka dengan pramuka. Akan tetapi hal tersebut kemudian tercemari oleh ‘oknum-oknum’ anggota Dewan Ambalan yang sok-sokan, menyebalkan, bajingan, dan bikin banyak orang ingin misuh dan meludahi wajahnya. Mungkin ada yang beranggapan bahwa kriteria yang saya sebutkan tersebut terasa berlebihan, tapi faktanya memang demikian. Dan, hal tersebut bukan cuma saya yang merasakan. Dimulai dari sikap arogan para ‘oknum’ tersebut saat menyuruh kami makan. Bukannya bilang baik-baik, mereka malah teriak-teriak nggak jelas. Nggak sadar apa kalo makanan yang disediakan didapat dari uang yang telah kami bayarkan pada mereka!?. Mereka sebenarnya nggak punya hak untuk bentak-bentak seenaknya.
Saat kita memberi makan hewan, kita mesti melakukannya baik-baik dan penuh kasih sayang. Lha ini nyuruh manusia makan pake buang-buang ludah segala. Alih-alih membuat para ‘oknum’ tersebut terkesan tegas dan layak disegani, perbuatan mereka justru malu-maluin dan bikin orang semakin benci. Padahal dasa dharma ke-2 dengan jelas terbaca, “Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia”, tapi mereka bisa-bisanya bikin orang pingin misuh aja!. Yah…..barangkali mereka bukan manusia, melainkan keturunan Dewa Zeus atau Dewa Odin atau bahkan Nyi Blorong. Jadi ya maklum kalo mereka nggak mengamalkan dasa dharma ke-2 tadi.
Berikutnya, perbuatan ‘oknum’ anggota Dewan Ambalan lain yang mencerminkan sosok bajingan adalah penyalahgunaan kekuasaan. Pernah saya bersama beberapa teman dipukul dan ditendang oleh ‘oknum’ tersebut hanya karena kesalahan yang terbilang sepele. Pertanyaannya, emang dia siapa kok berani-beraninya mukul dan nendang?. Jangankan ngasih nafkah, berusaha ngasih ketenteraman pada kami aja enggak!. Posisi ‘oknum’ tersebut cuma pendamping, nggak lebih. Dia nggak ada hak untuk mukul dan nendang. Kelakukan para ‘oknum’ bajingan inilah yang kemudian membuat saya mulai menjauh dari pramuka. Sebagai penutup, saya mau mengutip kalimat yang pernah dituturkan teman saya (dengan sedikit perubahan), “Jika saya jadi pradana di sebuah institusi dan saya menemukan banyak oknum bajingan, maka saya akan membubarkan pramuka di institusi tersebut!”.
Editor: Ciqa
Gambar: Pexels
Comments