Ketika saya membuka catatan harian, teringat beberapa waktu lalu saya pernah menulis:
“Tidak selamanya perbedaan start dapat diterima sebagai alasan, atas ketertinggalan jauh kita dari orang lain. Jauh lebih berbahaya, selalu menjadikannya sebuah kewajaran, sampai mati kita punya saraf daya saing,”
Tentu saja kalimat tersebut lahir dari kondisi saya yang cukup menyedihkan. Di rumah tahfiz tempat saya tinggal, banyak yang lebih hebat hafalan dan kefasihan Alqurannya. Di kampus, saya masih tertegun melihat kualitas tanya-jawab mahasiswa Irak dengan dosen. Keberanian beberapa kawan Indonesia juga bikin minder. Sementara dalam berbagai diskusi, saya selalu saja merasa paling lambat dalam memahami kaidah sharaf (morfologi bahasa Arab).
Hampir genap tiga tahun saya berada di Mesir, menimba ilmu dari para ulama di Bumi Para Nabi ini. Seharusnya kemampuan berbicara bahasa arab saya sudah sefasih orang Arab, namun kenyataanya tidak semudah itu. Karena terlalu sering berinteraksi dengan sesama mahasiswa Indonesia, dan mungkin sedikit faktor kemalasan, kemampuan bahasa Arab saya belum seceplas-ceplos mahasiswa Nigeria. Ketika beberapa kali harus berdebat dengan mereka, saya harus lebih banyak terdiam, terlambat dalam merangkai kalimat.
Anehnya, berbagai ketertinggalan yang sudah cukup lama saya rasakan itu, tidak kunjung melahirkan peningkatan yang berarti. Saya sadar kalau tertinggal, namun rutinitas masih itu-itu saja; terlalu banyak waktu kosong berakhir sia-sia; tidur saya juga masih panjang.
Padahal siapapun tau, untuk menyamai bahkan melebihi seseorang, meniscayakan usaha yang lebih pula. Jika ia berlatih 3 kali seminggu, kita harus mampu 5 kali. Jika latihannya 7 kali, untuk mengalahkannya, kita harus mampu 8 kali, bahkan 10 kali dalam seminggu. Kira-kira begitu dulu guru Tapak Suci saya memberi nasihat.
Walaupun demikian, kondisi yang serba tertinggal ini jika disikapi dengan bijak dan bajik, akan melahirkan energi positif yang luar biasa. Kita seharusnya bersyukur atas kesadaran yang mahal ini. Betapa tidak sedikit orang tertinggal, namun tidak menyadarinya, bahkan merasa santai-santai saja; seoalah tidak tertinggal, padahal teman-temannya sudah jauh di depan. Setelah sadar, kita bisa memperbaiki, lalu melesat lagi, tentu saja.
Rahasia Orang-orang Hebat
Sejak berinteraksi cukup banyak dengan buku-buku biografi tokoh besar, saya menemukan satu titik kesamaan diantara mereka. Ada kebiasaan tertentu yang mereka lakukan, dan tidak dilakukan oleh orang biasa kebanyakan.
Sebut saja Imam Abu Hanifah yang tidak tidur malam selama hampir 40 tahun. Imam Nawawi yang setiap hari belajar 12 pelajaran siang malam. Ulama terkenal Mesir, Syekh Mutawali Sya’rawi, selama 8 tahun beri’tikaf di perpustakaan. Tidak keluar melainkan hanya untuk makan dan shalat berjamaah.
Mantan Wakil Presiden Pertama Muhammad Hatta, ketika masih sebagai mahasiswa di Belanda, lebih memilih berjam-jam membaca sampai sengaja menumpahkan tinta di bajunya, demi menolak ajakan pesta kawan-kawannya. Presidennya pun tidak kalah mengesankan. Sejak kecil, dibawah asuhan H.O.S. Cokroaminoto, Soekarno sudah biasa berdebat-berdiskusi dengan Musso (PKI) dan Kartosoewirjo (NII), sebelum akhirnya masing-masing mereka memilih jalan juangnya sendiri.
Mereka yang namanya dicatat dengan tinta emas sejarah pasti memiliki kebiasaan yang ‘tidak biasa’. Saya juga percaya, bahwa mereka yang saat ini berada diatas saya, disamping telah menempuh jalan ikhtiar yang lebih panjang pasti juga memiliki rahasia atau kebiasaan tertentu.
Kita tertinggal dari orang lain tidak mesti lantaran kita bodoh atau lebih lemah dari mereka. Tidak juga selalu karena mereka lebih pintar. Selain boleh jadi karena start mereka lebih awal, alasan paling adil untuk diterima adalah karena mereka telah berusaha jauh lebih banyak dari kita, berlatih lebih keras, dan menghabiskan kebodohan serta kegagalannya sedini mungkin.
Namun, apakah hanya karena mereka lebih dulu memulai, lantas kita mewajari ketertinggalan kita begitu saja?
Sebetulnya tidak ada yang salah dari mewajari sebuah ketertinggalan. Setidaknya itu cukup untuk meredakan kegelisahan atas ketertinggalan kita. Hanya saja, jika terus menerus terjebak dalam sikap mewajari ketertinggalan tersebut, tentu saja tidak akan melahirkan perubahan apapun. Seorang pecundang tetaplah pecundang, sampai ia mau berusaha dan bangkit, menantang siapapun yang menghalanginya.
Ketertinggal karena perbedaan start tidak semenyedihkan yang kita kira kok. Kalau mau dilihat dari sudut pandang lain, justru itu sebuah lecutan besar untuk kita. Mereka mampu memforsir dirinya sampai sejauh itu, mengapa kita tidak? Kata orang, kan sama-sama makan nasi.
Hemat saya sih, semua kembali ke bagaimana kita mengambil sikap. Ada banyak potensi dibalik ketertinggalan kita, menyisakan diri kita yang hendak merawat lalu melesatkannya jauh-jauh atau membiarkannya layu bersama kemalasan dan keputusasaan?
Akhir kata, saya tutup dengan kalimat ini deh, salah satu quotes di catatan harian saya:
“Jika benar-benar tertinggal, setidaknya kita sadar; sedang tidak berada di kelas yang salah. Jika harus tertinggal, setidaknya kita mengerti, ada banyak waktu harus diisi; menyelesaikan dua dalam satu hari, dan bukan sebaliknya”
Kairo, 20 April 2020.
Penulis: Hidanul Achwan
Comments