Cinta merupakan hal-hal yang penuh dengan keindahan, kebahagiaan, dan berbagai cita-cita ideal lain yang pernah kalian bayangkan. Untuk menyatukan manusia, yang dibutuhkan adalah rasa cinta. Begitupun ketika kita ingin menyatukan puluhan hingga jutaan manusia, dibutuhkan sebuah konsep cinta agar dapat mewujudkan hal itu. Alasan untuk menyatukan jutaan manusia biasanya dibutuhkan untuk mencintai sebuah negara. Kecintaan terhadap negara sendiri lebih kita kenal dengan konsep nasionalisme.

Konsep nasionalisme bukan hanya tentang kita mencintai sebuah negara saja, tetapi juga tentang bagaimana kita menjadi orang yang setia, bangga, dan juga rela berkorban demi negara yang kita cintai. Bagi warga negara Indonesia, nasionalisme sudah ditanamkan sejak kita masih ada di bangku sekolah dasar, atau bahkan dari taman kanak-kanak dengan berbagai macam dongeng kepahlawanan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan negara Indonesia yang penuh sekali dengan gejolak. 

Relationship Antara Rakyat dan Negara

Jika kita lihat, sebenarnya kecintaan rakyat Indonesia terhadap tanah airnya sendiri tidak perlu untuk dipertanyakan lagi, walaupun dalam kenyataannya tidak sedikit juga rakyat Indonesia yang memutuskan untuk melepas kewarganegaraannya dan bahkan sampai berkhianat kepada negara ini. Sikap mereka ini biasanya terjadi ketika mereka sudah merasa kecewa dan muak dengan negara yang mereka cintai itu. Segala pengharapan terhadap negara yang dicintai dihadapkan dengan kenyataan yang ada, negara yang dicintai itu justru malah tidak dapat memenuhi harapan mereka, negara yang tidak dapat memfasilitasi rakyatnya dengan baik, negara yang para pejabatnya doyan korupsi, pemutusan kebijakan yang semrawut, dan hal-hal lain yang menjadi akar dari kekecewaan para rakyat terhadap negara ini.

Keadaan negara yang seperti ini menimbulkan sakit hati yang mendalam bagi jutaan rakyat. Yang lebih parah lagi, di tengah-tengah kondisi negara yang seperti ini, masyarakat masih dituntut untuk menjunjung tinggi nasionalisme terhadap negaranya sendiri. Saat ini, masyarakat seakan-akan sedang menjalani toxic relationship dengan negaranya sendiri.

Mungkinkah Rakyat dan Negara Menjalani Toxic Relationship?

Toxic relationship sendiri merupakan istilah yang sering digunakan untuk sebuah hubungan yang tidak sehat, hubungan ini tidak hanya melulu hubungan dengan kekasih, tetapi juga dengan teman, kolega, bahkan keluarga. Lantas, apakah hubungan antara negara dengan rakyatnya dapat mengalami toxic relationship? Jika kita melihat dari pengertiannya, maka jawabannya adalah iya. Toxic relationship bisa kita artikan sebagai hubungan tidak sehat yang membuat seseorang merasa tidak dipahami dan didukung atau merasa direndahkan. Hubungan yang tidak sehat ini kemudian akan menyebabkan seseorang berada dalam situasi tidak nyaman dan tertekan. 

Dari pengertian itu, sekarang kita coba lihat bagaimana keadaan negara ini. Cukup persis, bukan? miris, tetapi hal ini benar-benar terjadi di tengah-tengah kita. Meskipun Indonesia sudah berdiri sejak lama, 79 tahun, umur yang sangat matang jika kita bandingkan dengan umur manusia, tetapi tidak cukup matang untuk berhasil memenuhi kebutuhan rakyatnya secara penuh. 

Kenyamanan Rakyat dengan Toxic Relatonship

Meskipun begitu, sepertinya rakyat Indonesia masih menikmati hubungan tidak sehat ini dengan negaranya, bahkan ada beberapa yang menganggap keadaan kita baik-baik saja. Miris. Ketidaksadaran rakyat Indonesia ini dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak disengaja, yang lagi-lagi adalah masalah yang menjadi tanggung jawab negara. Masalah yang bisa dibilang sangat struktural dan agaknya kultural, pendidikan. 

Ketidakberhasilan negara dalam menyelenggarakan pendidikan yang mencerdaskan rakyat menjadi akarnya. Penyelenggaraan pendidikan ini tidak hanya tentang proses belajar mengajar dan kurikulum pendidikannya saja, tetapi juga penopang proses tersebut, sebutlah seperti gaji guru yang kurang memadai, administrasi pendidikan yang super tidak masuk akal, dan sarana prasarana yang tidak merata.

Melihat keadaan negara yang semakin tidak jelas ini, menimbulkan berbagai macam reaksi dari rakyat, selain ada yang marah, ada juga yang merasa pesimis, pesimis bahwa negara ini akan menjadi negara maju, Indonesia Emas, katanya, tetapi untuk menyokong pendidikan yang layak saja sulit, memenuhi kehidupan rakyat miskin saja tidak bisa, menyediakan lapangan kerja bagi pengangguran saja masih tidak cukup. Pesimisme itu timbul sebagai reaksi kecewa atas stimuli ketidakbecusan negara dalam menjalankan kehidupan negara selagi memaksa rakyat mereka untuk tetap mencintai negara yang semakin lama semakin hancur atas nama nasionalisme. Membuat rakyat mereka berada dalam hubungan toxic relationship dengan negaranya sendiri, toxic nationalism.

Sejujurnya, Relationship ini Sebuah Bom Waktu

Keberadaan toxic relationship dalam hubungan antara rakyat dengan negaranya ini pada dasarnya merupakan bom waktu, tinggal menghitung kalanya ia meledak menjadi sebuah perubahan, entah itu dalam bentuk reformasi atau revolusi. Pengalaman bangsa Indonesia dengan barang bernama reformasi atau revolusi tidak lagi asing tercatat buat mereka. Sepanjang sejarahnya, mulai dari Zaman Klasik hingga Reformasi 1998 banyak sekali bentuk perubahan yang pernah dialami. Ada yang berhasil dan berkelanjutan jangka panjang, tak sedikit juga yang gagal atau tidak menghasilkan apa-apa.

Tugas kita yang sudah sadar dan paham akan masalah ini sedikit-dikitnya adalah mengingatkan, bahwa keadaan kita, Indonesia, sedang tidak baik-baik saja. Mengingatkan kepada siapa saja, melalui media apa saja, termasuk tulisan saya ini adalah sebuah ikhtiar saya dalam mengingatkan bangsa saya sendiri. Atas dasar kesadaran yang dicampur dengan pesimisme dan sedikit bumbu nasionalisme, mungkin, tetapi saya berusaha untuk realistis. Menurut saya, yang terpenting dalam memperjuangkan bukanlah hasilnya akan seperti apa, tetapi bagaimana kita berjuang untuk suara kita sendiri, berjuang untuk hidup kita sendiri, berjuang bagi kebaikan bersama. Sehingga, kita tidak terjebak dalam hubungan Toxic Relationship dengan negara kita sendiri, supaya orang-orang yang memegang wewenang untuk memutuskan kebijakan publik dapat lebih bijak lagi dalam membuat kebijakan, bukan malah egois dan apatis terhadap rakyat mereka wakilkan suaranya.

Editor: Pratama

Sumber gambar: iStock