Belakangan media heboh mengabarkan Taliban menguasai Afganistan. Namun, kejatuhan Kabul dan Saigon bisa kita katakan sama secara peristiwa sebagai sebuah tragedi kekalahan Amerika dan sekutunya dalam perang yang tidak secara baik mereka selesaikan akibat perubahan visa politik.
Namun, dalam konteks ruang dan waktu ada perbedaan dalam cara masyarakat menanggapi kejatuhan Saigon dan Kabul pada yang pertama kala itu. Di tahun 1970-an, masyarakat global belum sepenuhnya menjadi produsen dan konsumen dari informasi terkait yang mereka dapat.
Tentu berbeda pada saat kejatuhan Kabul, apalagi di tengah pandemi yang semakin membuat waktu kita lebih lama di depan layar untuk menjadi prosumen yang pro terkait kejatuhan ini. Dampak dari sikap prosumen ini sering kali tidak dibarengi dengan literasi yang memadai terhadap game politics. Akibatnya, kita cenderung pro maupun kontra dengan opini yang kita bangun dari fondasi-fondasi kebencian, glorifikasi, dan euphoria.
Game politik tentunya memainkan peranan dalam menguatkan kerapuhan fondasi beropini yang tidak berujung ini. Ironisnya, permainan politik ini sebenarnya hanya melibatkan sedikit pemain yang tujuannya cuma untuk menguasai manusia lain agar sibuk memperdebatkan yang dangkal sementara mereka merebut resources yang vital.
Perasaan euphoria di pihak pro dibenturkan dengan perasaan ketakukan di pihak kontra sehingga kita melihat kejatuhan Kabul secara abu-abu. Padahal, terjebak pada dikotomi Government is good vs Taliban is bad nyatanya keliru.
Afganistan
Fakta objektif jika pemerintahan Afganistan yang identik dengan boneka asing telah melakukan korupsi yang luar biasa, tidak bisa kita bantah. Maka tidak heran kenapa tentara Afganistan bisa begitu cepatnya collapse hanya dalam waktu hitungan hari.
Dari segi geopolitik, seperti sudah lagu lama tentang cara Amerika Serikat dan sekutunya masuk ke negara orang lain “atas nama demokrasi” terus memasang presiden yang ramah sama kepentingannya. Kita harus akui, It works on some part seperti bagaimana Soeharto bisa memimpin 32 tahun dan eratnya kerja sama dengan USA. Sehingga, membuat mereka balik modal dengan sangat cepat bahkan Amerika kemudian menyebut Indonesia itu teman yang ramah, karena tentunya kepentingan modal mereka terhadap kita sangat besar yang ironisnya tidak mendatangkan kemakmuran sampai hari ini.
Ada paradoks juga yang dibawa oleh Amerika dan sekutu, yaitu perihal respons terhadap pelanggaran HAM. Ada jejak di mana Amerika yang mempromosikan demokrasi justru diam ketika pelanggaran HAM terjadi di era Soeharto. Bahkan Noam Chomsky, intelektual publik asal Amerika yang pandangannya sering kali dimusuhi oleh pihak penguasa membenarkan pola-pola yang sama terjadi di Filipina, Iran, Kuba, El-savador, dan masih banyak lagi.
Dan Pola yang sama ini mau dibuat di Afghanistan, tetapi sayangnya gagal sama seperti di Vietnam, they have everything to die for, tanah mereka, loyalitas pada ideologi dan garis pimpinan, dan agama mereka dalam konteks Afganistan. Singkat cerita, proyek mereka akan selalu gagal di tempat yang memiliki root perjuangan yang kuat.
Meskipun Amerika bisa memberika uang dan senjata buat melatih dan merekrut banyak orang Afganistan untuk menjadi tentara dan polisi, tetapi ingat mereka tidak punya alasan kuat mengapa mereka harus mati untuk “negara boneka”.
Bahkan Asraf Ghani saja yang jadi presiden duluan kabur. Bagi saya, literally nobody really care about “nationalism” on USA made government. Semua akan kembali pada urusan perut masing-masing.
Taliban Menguasai Afganistan
Jangan heran ketika Taliban menguasai Afganistan, semua pada lari meninggalkan peralatan perang yang super canggih itu. Apalagi di saat yang bersamaan Amerika yang mengucurkan dana sudah pergi terlebih dahulu bahkan mereka meninggalkan Bagram basecamp yang merupakan base terbesar mereka di Afganistan tanpa memberitahu pihak Afganistan sebulan yang lalu.
Kalau kita menonton dokumenter dari Rory stewart yang judulnya “The Great game”, Amerika dan sekutunya yang mempromosikan demokrasi dengan nilai-nilai kemanusiaan itu justru memiliki trik dalam membela pelanggaran HAM selama si pelanggar itu sekutunya. Akan tetapi, kalau kepentingan berseberangan, maka mereka akan ciptakan dikotomi “ Si A jahat si B baik” dan dikotomi itu akan bergeser seiring waktu seperti saat mereka mendukung pejuang Taliban kala melawan Soviet dulu.
Lalu bagaimana sebaiknya respons kita dengan Taliban sekarang? Seiring dengan kedekatannya dengan China dan Rusia yang notabene musuh dari Amerika, kita perlu berhati-hati dalam mengambil sikap baik pro maupun kontra secara terang-terangan. Sebaiknya yang perlu kita lakukan sekarang lebih memperbanyak literasi perihal game politik dan geopolitik agar bisa belajar lebih banyak strategi dan lihat kepentingan siapa di balik apa dalam soal Afganistan ini.
Editor: Nirwansyah
Gambar: Suara.com
Comments