Adakah korelasi antara puasa dan pemberantasan korupsi?

Dalam ajaran Islam, terdapat beberapa jenis puasa baik yang bersifat sunnah maupun wajib. Salah satu ibadah puasa yang dinantikan oleh umat Islam adalah ibadah puasa Ramadan. Ibadah puasa Ramadan bersifat fardhu ain (wajib) sebagaimana tertuang dalam QS AL-Baqarah ayat 183 “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”.

Secara harfiah, puasa merupakan derivasi dari kata saumu yang menurut bahasa arab memiliki arti “menahan diri”. Menahan diri di sini memiliki eksistensi makna yang luas, tidak sekadar menahan diri dari makanan dan minuman semata, tetapi juga menahan diri dari hawa nafsu dan segala perbuatan buruk yang melekat dalam fitrah manusia.

Hakikat dari pada ibadah puasa Ramadan sendiri adalah agar umat Islam bertaqwa. Secara sederhana, taqwa dapat diartikan sebagai transformasi sikap untuk menjauhi larangan-larangan Allah SWT dan taat pada perintah-perintahNYA. Ada beberapa nilai-nilai yang inheren melekat dalam ibadah puasa Ramadan.

Pertama, nilai kesabaran dan perjuangan. Ibadah puasa Ramadan mengharuskan seorang yang berpuasa untuk menahan lapar, haus, amarah, dan hawa nafsu dari subuh hingga magrib. Hanya dengan memiliki kesabaran dan perjuangan (untuk menahan), orang akan dapat menjalankan ibadah puasa.

Kedua, nilai kejujuran. Ibadah puasa Ramadan mengharuskan seseorang untuk menjauhi sikap-sikap buruk, salah satunya adalah berbohong. Karena pada hakikatnya, puasa bertujuan untuk membersihkan hati, jiwa, dan pikiran dari hal-hal yang bisa merusak nilai ibadah puasa itu sendiri.

Ketiga, nilai egaliter. Ibadah puasa Ramadan berlaku pada semua orang yang beriman, tanpa memandang status sosial, status ekonomi, maupun status pendidikan. Sepanjang memenuhi syarat sah berpuasa, maka mau dia orang kaya, orang miskin, lulusan S3, lulusan SD wajib berpuasa.

Keempat, nilai empati dan kebersamaan. Pahala atas segala perbuatan baik maupun dosa atas segala perbuatan buruk dalam bulan Ramadan akan dilipatgandakan oleh Allah SWT. Hal ini secara tidak langsung menjadi stimulan untuk menumbuhkan rasa empati dan kepedulian untuk berlomba-lomba mencari pahala. Rasa kebersamaan juga semakin kental. Mengingat hanya di saat Ramadan inilah masjid dan mushola akan penuh terisi oleh para jamaah khususnya saat ibadah salat tarawih.

Keempat nilai di atas merupakan makrifat dari nilai ibadah puasa Ramadan yang tujuan akhirnya adalah untuk mensucikan manusia agar dapat menjadi insanNYA yang bertaqwa. Dalam konteks dimensi sosial, nilai makrifat dari ibadah puasa juga dapat diejawantahkan sebagai ghiroh untuk mendukung pemberantasan korupsi.

Mengingat nilai makrifat dari ibadah puasa Ramadan merupakan antitesis dari perilaku-perilaku korupsi. Artinya, jika nilai makrifat puasa dari puasa Ramadan dapat ditransplantasi secara masif, maka akan dapat menjadi reduktor bagi pemberantasan sikap-sikap koruptif (ketidakjujuran, keserakahan dll) yang menjadi causa terjadinya korupsi.

Sebagaimana kita ketahui bersama, korupsi masih menjadi musuh akut bangsa ini untuk maju dan sejahtera. Korupsi terjadi dalam segala lini. Baik di pusat, daerah, hingga desa. Baik dilakukan oleh eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. Konkretnya, korupsi adalah hambatan aktual sekaligus laten bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh menjadi negara maju.

Berdasarkan data ICW, sepanjang semester I tahun 2020 (1 Januari hingga 30 Juni 2020) terdapat 169 kasus korupsi di Indonesia yang disidik oleh penegak hukum, tersangka yang ditetapkan sejumlah 372 orang, dengan total kerugian negara mencapai Rp 18,1 triliun rupiah. Yang mencengangkan, 44 dari 169 kasus korupsi tersebut terjadi pada sektor anggaran dana desa. Hal ini menjadi sebuah realitas bahwa korupsi kini telah menjamah hingga sekup terkecil negara, desa.

Fenomena korupsi di Indonesia seakan menjadi penegas pendapat Syed Husein Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption (1968) bahwa perkembangan korupsi pada awalnya dimulai secara sporadis dan terpusat kemudian merebak dan meluas dan akhirnya akan membunuh masyarakatnya sendiri.

Faktanya, korupsi di Indonesia awalnya juga bersifat sporadis dan sentralistik kemudian merebak dan meluas ke daerah-daerah bahkan hingga desa. Hanya saja, korupsi di Indonesia belum sampai membunuh masyarakatnya dan itulah yang harus kita cegah bersama. Salah satunya adalah dengan meningkatkan daya kemanusiaan dan religiusitas melalui internalisasi nilai makrifat dari ibadah puasa Ramadan.

Puasa Ramadan sendiri hanya dapat menjadi harapan bagi tumbuhnya spirit pemberantasan korupsi secara masif jika ibadah puasa Ramadan dapat dikerjakan oleh umat Islam secara substantif. Artinya, umat Islam harus bisa menjalankan ibadah puasa secara kaffah tidak sekadar harfiah. Umat Islam harus mampu menginternalisasikan nilai makrifat ibadah puasa secara perenial (kontinu tertanam dalam jiwa) tidak sekadar sporadis (hanya di bulan Ramadan saja).

Artinya, nilai-nilai yang melekat dalam ibadah puasa Ramadan yakni nilai kesabaran dan perjuangan, nilai kejujuran, nilai egaliter, nilai empati dan kebersamaan harus menjadi nilai yang melekat dan kontinu dalam hati, jiwa, dan pikiran setiap umat muslim setelah melaksanakan ibadah puasa Ramadan.

Editor : Hiz

Foto : Merdeka.com