Saya pernah jadi kepala humas sebuah rumah swasta di Yogyakarta. Saat itu sempat beberapa kali menemui kasus konflik, baik yang ringan maupun yang agak kompleks, juga dapat saat sharing sesama humas dalam forum silaturahmi.

Titik Rawan Konflik antara Keluarga dan Rumah Sakit

Beberapa potensi konflik antara keluarga dan rumah sakit yang biasanya terjadi, yaitu:

Pertama, Miskomunikasi

Ini terjadi karena apa yang dimaksudkan oleh dokter atau rumah sakit tidak tersampaikan dengan baik atau tidak dipahami oleh pasien atau keluarga. Menurut pengalaman saya, ini memiliki persentase tertinggi.

Untuk mencegah ini, sesungguhnya RS sudah menyiapkan lembar informasi dan edukasi. Dokter menjelaskan kepada pasien dan/ atau keluarga, lalu dokter menuliskannya dalam lembar itu. Penerima informasi menandatanganinya sebagai bukti bahwa ia telah mengerti. Mungkin inilah, yang dalam kasus Covid sementara ini disebut “pihak RS minta keluarga menyetujui/ tandatangan persetujuan diagnosis Covid.” Padahal itu lembar informasi dan edukasi.

Kedua, Kesalahan petugas

Baik dokter atau petugas juga manusia yang bisa salah. Kesalahan dalam layanan kesehatan sangat bervariasi: dari administratif, etik hingga malpraktek. Untuk dokter, prosedur yang ada cukup ketat untuk mencegah terjadinya kesalahan ini. Dari edukasi, guideline, pemberlakuan protap, Clinical Pathway, pengawasan oleh komite medik rumah sakit, sampai sidang Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Kalau terbukti malpraktek, bisa dicabut izin prakteknya. Bila menyangkut pidana, bisa dihukum sesuai aturan yang berlaku.

Maka bila ada dugaan kesalahan petugas dalam penanganan Covid, sudah ada saluran aspirasi, kompain dan gugatannya, baik biro hukum rumah sakit, dinas kesehatan atau langsung ke hotline aduan Kementerian Kesehatan. Laporkan, tuntaskan.

Ketiga, Tidak sinkronnya harapan atau asumsi pasien/ keluarga dengan kenyataan medis

Ada pasien dan keluarga yang memiliki harapan atau asumsi tertentu sebelum datang ke rumah sakit/ dokter. Contohnya langsung saja ke soal Covid:

Dari 3 contoh kasus yang saya tulis kemarin, di situ ada titik rawan konflik, yaitu asumsi dasar keluarga pasien. Kasus pertama, pasien kecelakaan. Kasus kedua, sakit jantung yang kumat-kumatan. Kasus ketiga, sakit tua.

Jadi, keluarga sudah punya diagnosis sendiri sebelum masuk rumah sakit yang membuat mereka tidak bisa menerima diagnosis yang dilakukan oleh dokter (dalam hal ini, suspect covid dan positif covid).

Kalau pasien datang dengan riwayat hipertensi, selalu dipikir bahwa semua penyakit yang dialami musti terkait atau disebabkan oleh hipertensinya itu. Padahal tidak demikian.

Contoh lain, banyak pasien kecelakaan yang saya bius ternyata ketahuan punya diabetes. Apakah rumah sakit men-diabetes-kan? Tidak, diabetesnya ketahuan karena screaning/ tes yang dilakukan sebelum pasien dioperasi.

Kalau saya baca-baca unggahandi medsos mengenai tuduhan dicovidkan, tampaknya yang nomor tiga itu yang terjadi. “Sakit maag kok covid”, “Stroke lama kok covid”, “Jantung sudah lama kok covid”. Ujungnya, kesimpulan gegabah, “Apa-apa kok covid”. Itu karena asumsi awal berbeda dengan realitas medik yang diketahui melalui serangkaian pemeriksaan di rumah sakit.

Kadang saya menanyakan, bagaimana riwayat masuk hingga keluar rumah sakit serta data-datanya? Kebetulan kok si pengunggah tidak menjelaskan kronologinya secara medis, ditambah data-data umumnya. Jadi, saya tidak bisa bantu analisis di mana tidak sinkronnya. Padahal sesungguhnya, saya yakin kalau ada yang tidak cocok, bisa ditemukan titik missed-nya kalau semua data pasien tersebut dibuka–karena data dan dokumen rumah sakit itu sangat lengkap (Saya pernah cerita bagaimana saya harus mengisi berlembar-lembar dokumen setiap pasien yang saya tangani).

Nah, sesungguhnya buka-bukaan data ini (termasuk identitas pasien dan data rahasia lainnya) bisa dilakukan di forum resmi audit sesuai dengan aturan yang berlaku. Barulah ditemukan di mana letak missed-nya.

Jadi, kalua ada pejabat bilang “Jangan semua kematian karena covid” itu apakah sudah melakukan audit? Ataukah hanya mendengar keluhan-keluhan yang masih banyak kemungkinan lain selain benar-benar “dicovidkan” secara malprektek? Poin saya dari kemarin itu adalah, audit dulu baru ngomong ke publik.

Semoga manfaat.

Penulis: dr. Ahmad Muttaqin Alim

Penyunting: Aunillah Ahmad