Masih hangat dalam pemberitaan dua sosok menteri yang berada dalam Kabinet Indonesia Maju tersandung kasus korupsi. Keduanya ditetapkan menjadi tersangka usai terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus ini juga menambah daftar panjang keterlibatan pejabat publik yang menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan yang dimilikinya untuk melakukan tindakan memperkaya dirinya sendiri serta membuktikan bahwa budaya korupsi masih ada hingga sekarang.
Lantas, mengapa praktik-praktik korupsi semacam ini marak terjadi dan dilakukan oleh pejabat publik di Indonesia dari dulu hingga saat ini?
Sejarah Panjang Korupsi di Indonesia
Korupsi adalah sebuah realita sosial yang senantiasa memiliki keterkaitan dengan dinamika kehidupan masyarakat Indonesia sejak dulu hingga sekarang. Sebagai sebuah tindakan, korupsi tidak dapat disebut sebagai sebuah fakta yang muncul dan bersifat tunggal, melainkan ada faktor-faktor lain yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan tersebut. Sebuah penelitian menyebutkan, bahwa tindakan korupsi yang dilakukan oleh banyak masyarakat Asia dilatarbelakangi oleh rasa loyal kepada keluarga, suku, agama, ataupun kelompoknya masing-masing.
Tidak terkecuali di Indonesia, sejak era kerajaan hingga saat ini praktik korupsi memang banyak dilatarbelakangi oleh kepentingan pribadi dan kelompoknya masing-masing. Hal ini tidak terlepas dari prinsip yang menyebutkan bahwa sikap loyal kepada keluarga atau sanak saudara jauh lebih utama dibandingkan sikap loyal kepada negara. Sikap seperti ini jugalah yang kemudian mendorong para penguasa untuk melakukan praktik-praktik korupsi ketika memiliki kekuasaan.
VOC dan Pejabat Korup
Sejarah berlanjut pada masa Vereenidge Oostindische Compagnie atau yang lazim dikenal dengan nama VOC. Kongsi dagang yang berasal dari negeri Belanda ini banyak mewarnai sejarah panjang birokrasi politik di Indonesia. Sebelum gulung tikar, perusahaan ini pernah tercatat sebagai perusahaan multinasional pertama dan terkaya sedunia. Perusahaan ini berhasil memonopoli perdagangan rempah-rempah dari Afrika Selatan hingga Kepulauan Maluku.
Meski demikian, pada akhir abad ke-18, perusahaan ini resmi ditutup. Selain karena kalah saing dengan perusahaan dagang dari negara lain, permasalahan internal yang dialami oleh VOC juga menjadi faktor pendorong. Permasalahan korupsi yang dilakukan oleh pegawai VOC sudah menjalar di berbagai lini. Korupsi tidak hanya dilakukan oleh pegawai dengan posisi strategis saja, melainkan oleh hampir seluruh pegawai dari tingkatan atas hingga bawah.
Minimnya gaji yang diterima oleh para pejabat VOC pada saat itu, keinginan untuk berperilaku hedonis, hingga minimnya integritas yang dimiliki para pegawai semakin menyuburkan perilaku korup di antara mereka. Kebiasaan tersebut tidak hanya dilakukan oleh pegawai dari negeri belanda saja, melainkan juga dilakukan oleh para pegawai dan pejabat dari Indonesia yang pada saat itu memiliki jabatan strategis dalam pemerintahan. Parahnya, kebiasaan ini juga lah yang diadaptasi secara turun temurun oleh para pejabat pada era-era selanjutnya.
Budaya Korupsi yang Terwariskan
Akar tradisi korupsi yang dilakukan oleh para pejabat di Indonesia pada saat ini rasa-rasanya memang salah satunya merujuk pada faktor sejarah. Fenomena korupsi telah marak terjadi di Indonesia, bahkan ketika hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor jauh lebih kejam dibanding putusan pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) pada saat ini. Minimnya integritas serta budaya pemberian gratifikasi kepada pejabat yang sudah lazim terjadi menjadikan korupsi semakin merajalela.
Pada saat ini, praktik korupsi yang dilakukan oleh pejabat tidak serta merta didasari oleh kepentingan pribadi saja, melainkan juga oleh dorongan kelompok yang mengantar mereka menduduki jabatannya. Maraknya politik transaksional yang dilakukan oleh para politikus dengan mengucurkan sejumlah uang untuk memperoleh jabatan membuat mereka kehilangan moral. Korupsi lah yang kemudian banyak dijadikan sebagai jalan terakhir bagi para pejabat untuk mengembalikan modal politik yang sudah dihabiskan.
Editor: Nirwansyah
Comments