Buat kamu yang suka baca buku, pernah gak kamu diejek hanya karena suka dengan genre bacaan tertentu?

Misalnya, kamu sering diejek punya selera bacaan yang rendah hanya karena suka baca novel romance atau teenlit.

Sementara orang yang mengejekmu merasa selera bacaannya lebih superior karena dia suka baca buku-buku filsafat atau politik. Seolah-olah penyuka bacaan bergenre percintaan itu receh, cringe, menye-menye, alay.

Sedangkan pembaca buku filsafat itu intelek, kritis dan lebih well-literate. Nah, perilaku suka merendahkan selera bacaan orang lain dan merasa seleranya lebih superior ini dikenal dengan istilah book shaming.

Selain merasa selera bacaannya lebih superior, pelaku book shaming juga suka menjelek-jelekkan penulis tertentu dan mengagungkan penulis favoritnya. Padahal setiap penulis punya minat, kemampuan, maupun gaya penulisan yang berbeda-beda.

Penulis karya-karya fiksi bukan berarti lebih buruk dari penulis karya-karya non fiksi. Penulis dengan gaya penulisan yang cenderung santai, nyleneh atau kocak bukan berarti lebih tidak bermutu dari penulis dengan gaya tulisan serius dan tajam.

Alih-alih tampak keren, melakukan book shaming justru membuatmu terlihat norak. Kenapa? Simak 3 alasan berikut dampak dari book shaming

Dampak Book Shaming Mengekang Kebebasan Seseorang dalam Membaca Buku

Setiap orang berhak membaca buku apapun yang mereka inginkan dan sukai. Hanya karena kamu tidak suka dengan jenis bacaan tertentu, bukan berarti kamu boleh mendikte bacaan orang lain.

Kamu yang suka baca bukunya Nietzsche tidak perlu mengejek mereka yang suka baca bukunya Tere Liye. Kamu juga tidak perlu mengatakan bahwa buku A lebih pantas dibaca daripada buku B, atau penulis A lebih keren daripada penulis B.

Ingat ya, tidak semua orang suka dengan bacaan yang berat. Sebab ada orang yang menjadikan aktivitas membaca buku sebagai self-healing, sehingga lebih suka dengan bacaan-bacaan ringan biar tidak perlu banyak mikir.

Dampak Book Shaming Menurunkan Semangat Berliterasi

Kita sering mengeluh tentang minat baca masyarakat Indonesia yang rendah. Kita juga mengeluh ketika anak-anak muda sekarang lebih suka scrolling timeline medsos, main Mobile Legend atau joget Tik Tok daripada membaca.

Namun, giliran ada teman suka baca tapi bacaannya —menurutmu gak banget—kamu mengejeknya.

Coba bayangkan kalau temanmu itu sedang membangun kebiasaan membaca. Secara tidak langsung kamu bisa menurunkan semangat berliterasinya.

Sudah bagus lho, dia ada niat membangun kebiasaan membaca. Sebagai teman yang baik, seharusnya kamu dukung dong! Bukan malah mengata-ngatai bacaannya gak berkualitas, receh dan sebagainya.

Saya saja yang sudah suka baca sejak kecil, tidak langsung baca buku yang berat kok. Saya yang bisa membaca berbagai jenis bacaan pun saat ABG pernah jadi penggemar teenlit.

Sampai sekarang juga masih suka baca komik dan novel romansa. Dan itu tidak masalah sama sekali.

Dampak Book Shaming Membatasi Seseorang untuk Berpengetahuan

Kata siapa baca buku fiksi itu tidak bermanfaat? Kata siapa buku fiksi itu isinya cuma khayalan dan tidak mendidik?

Novel legendaris Tetralogi Bumi Manusia, karya Pramoedya Ananta Toer sangat kaya akan nilai-nilai sejarah dan sosial kemanusiaan.

Meski bukan buku sejarah, Tetralogi Bumi Manusia mampu memberi kita gambaran tentang Indonesia pada masa kemunculan politik etis hingga awal periode kebangkitan nasional.

Novel Tetralogi Laskar Pelangi, karya Andrea Hirata punya kekuatan inspirasi dan motivasi untuk berani bercita-cita dan mewujudkannya.

Kisah-kisah yang ditulis dalam novel-novelnya juga kental dengan nilai sosial budaya sehingga secara tidak langsung kita diajak untuk menyelami kehidupan masyarakat Melayu di Belitong.

Buku karya Tere Liye berjudul Sepotong Hati yang Baru, bagi saya bukan hanya tulisan tentang cinta-cintaan melainkan ada juga nilai-nilai kehidupan yang dapat dijadikan pelajaran, seperti tentang kepercayaan, kesetiaan dan sebagainya.

Contoh ini tentu masih banyak lagi dan tidak akan cukup kalau saya tuliskan semua di sini. Jadi, membaca karya fiksi tetap bisa menambah pengetahuan sebagaimana halnya dengan membaca karya non fiksi.

Disadari atau tidak, karya fiksi seringkali dapat mengajarkan kita untuk melihat suatu masalah dari sudut pandang berbeda dengan cara yang lebih menyenangkan dan tidak menggurui.

Gimana guys, masih mau meremehkan mereka yang suka baca buku fiksi?

Begini ya teman-teman, selain selera, bacaan itu juga dipengaruhi oleh akses. Mereka yang tinggal di pelosok desa, jauh dari toko buku dan perpustakaan daerah, sangat mungkin bacaannya tidak sebanyak atau seberagam mereka yang tinggal di kota.

Mahasiswa yang aktif di organisasi pergerakan atau komunitas sastra, lebih mungkin untuk mengenal karya-karya Pram, Wiji Thukul dan Soe Hok Gie dibandingkan mahasiswa yang hidupnya hanya berputar di kuliah – kos – kafe.

Kamu yang punya privilese berupa akses dan lingkungan yang membentuk minat baca sedari kecil, bersyukurlah dan jangan melakukan book shaming.

Kita bebas kok memilih bacaan apa saja dan bebas pula untuk mengeksplor berbagai jenis atau genre bacaan. Jadi, jangan minder hanya karena bacaanmu dianggap receh oleh orang lain ya!

Editor: Lail

Gambar: Pexels

3 Alasan Book Shaming Tidak Membuatmu Terlihat Keren

Buat kamu yang suka baca buku, pernah gak kamu diejek hanya karena suka dengan genre bacaan tertentu? Misalnya, kamu sering diejek punya selera bacaan yang rendah hanya karena suka baca novel romance atau teenlit.

Sementara orang yang mengejekmu merasa selera bacaannya lebih superior karena dia suka baca buku-buku filsafat atau politik. Seolah-olah penyuka bacaan bergenre percintaan itu receh, cringe, menye-menye, alay.

Sedangkan pembaca buku filsafat itu intelek, kritis dan lebih well-literate. Nah, perilaku suka merendahkan selera bacaan orang lain dan merasa seleranya lebih superior ini dikenal dengan istilah book shaming.

Selain merasa selera bacaannya lebih superior, pelaku book shaming juga suka menjelek-jelekkan penulis tertentu dan mengagungkan penulis favoritnya. Padahal setiap penulis punya minat, kemampuan, maupun gaya penulisan yang berbeda-beda.

Penulis karya-karya fiksi bukan berarti lebih buruk dari penulis karya-karya non fiksi. Penulis dengan gaya penulisan yang cenderung santai, nyleneh atau kocak bukan berarti lebih tidak bermutu dari penulis dengan gaya tulisan serius dan tajam.

Alih-alih tampak keren, melakukan book shaming justru membuatmu terlihat norak. Kenapa? Simak 3 alasan berikut ini.

Book Shaming Mengekang Kebebasan Seseorang dalam Membaca Buku

Setiap orang berhak membaca buku apapun yang mereka inginkan dan sukai. Hanya karena kamu tidak suka dengan jenis bacaan tertentu, bukan berarti kamu boleh mendikte bacaan orang lain.

Kamu yang suka baca bukunya Nietzsche tidak perlu mengejek mereka yang suka baca bukunya Tere Liye. Kamu juga tidak perlu mengatakan bahwa buku A lebih pantas dibaca daripada buku B, atau penulis A lebih keren daripada penulis B.

Ingat ya, tidak semua orang suka dengan bacaan yang berat. Sebab ada orang yang menjadikan aktivitas membaca buku sebagai self-healing, sehingga lebih suka dengan bacaan-bacaan ringan biar tidak perlu banyak mikir.

Book Shaming Menurunkan Semangat Berliterasi

Kita sering mengeluh tentang minat baca masyarakat Indonesia yang rendah. Kita juga mengeluh ketika anak-anak muda sekarang lebih suka scrolling timeline medsos, main Mobile Legend atau joget Tik Tok daripada membaca.

Namun, giliran ada teman suka baca tapi bacaannya —menurutmu gak banget—kamu mengejeknya.

Coba bayangkan kalau temanmu itu sedang membangun kebiasaan membaca. Secara tidak langsung kamu bisa menurunkan semangat berliterasinya.

Sudah bagus lho, dia ada niat membangun kebiasaan membaca. Sebagai teman yang baik, seharusnya kamu dukung dong! Bukan malah mengata-ngatai bacaannya gak berkualitas, receh dan sebagainya.

Saya saja yang sudah suka baca sejak kecil, tidak langsung baca buku yang berat kok. Saya yang bisa membaca berbagai jenis bacaan pun saat ABG pernah jadi penggemar teenlit.

Sampai sekarang juga masih suka baca komik dan novel romansa. Dan itu tidak masalah sama sekali.

Book Shaming Membatasi Seseorang untuk Berpengetahuan

Kata siapa baca buku fiksi itu tidak bermanfaat? Kata siapa buku fiksi itu isinya cuma khayalan dan tidak mendidik?

Novel legendaris Tetralogi Bumi Manusia, karya Pramoedya Ananta Toer sangat kaya akan nilai-nilai sejarah dan sosial kemanusiaan.

Meski bukan buku sejarah, Tetralogi Bumi Manusia mampu memberi kita gambaran tentang Indonesia pada masa kemunculan politik etis hingga awal periode kebangkitan nasional.

Novel Tetralogi Laskar Pelangi, karya Andrea Hirata punya kekuatan inspirasi dan motivasi untuk berani bercita-cita dan mewujudkannya.

Kisah-kisah yang ditulis dalam novel-novelnya juga kental dengan nilai sosial budaya sehingga secara tidak langsung kita diajak untuk menyelami kehidupan masyarakat Melayu di Belitong.

Buku karya Tere Liye berjudul Sepotong Hati yang Baru, bagi saya bukan hanya tulisan tentang cinta-cintaan melainkan ada juga nilai-nilai kehidupan yang dapat dijadikan pelajaran, seperti tentang kepercayaan, kesetiaan dan sebagainya.

Contoh ini tentu masih banyak lagi dan tidak akan cukup kalau saya tuliskan semua di sini. Jadi, membaca karya fiksi tetap bisa menambah pengetahuan sebagaimana halnya dengan membaca karya non fiksi.

Disadari atau tidak, karya fiksi seringkali dapat mengajarkan kita untuk melihat suatu masalah dari sudut pandang berbeda dengan cara yang lebih menyenangkan dan tidak menggurui.

Gimana guys, masih mau meremehkan mereka yang suka baca buku fiksi setelah membaca dampak book shaming ini?

Begini ya teman-teman, selain selera, bacaan itu juga dipengaruhi oleh akses. Mereka yang tinggal di pelosok desa, jauh dari toko buku dan perpustakaan daerah, sangat mungkin bacaannya tidak sebanyak atau seberagam mereka yang tinggal di kota.

Mahasiswa yang aktif di organisasi pergerakan atau komunitas sastra, lebih mungkin untuk mengenal karya-karya Pram, Wiji Thukul dan Soe Hok Gie dibandingkan mahasiswa yang hidupnya hanya berputar di kuliah – kos – kafe.

Kamu yang punya privilese berupa akses dan lingkungan yang membentuk minat baca sedari kecil, bersyukurlah dan jangan melakukan book shaming.

Kita bebas kok memilih bacaan apa saja dan bebas pula untuk mengeksplor berbagai jenis atau genre bacaan. Jadi, jangan minder hanya karena bacaanmu dianggap receh oleh orang lain ya!

Editor: Lail

Gambar: Pexels