Siapa yang tidak kenal jobseeking? Sebuah istilah yang sudah seringkali terdengar di telinga kita tatkala melihat para wisudawan wisudawati yang tengah bergembira melepas status mahasiswanya di depan rektorat masing-masing.
Mengapa demikian? Karena wisudawan-wisudawati yang telah menamatkan studi mereka akan dituntut untuk mengaplikasikan apa yang telah selama ini mereka pelajar di bangku perkuliahan dalam dunia industri.
Baik wisudawan-wisudawati terbaik, tercepat, termuda, bahkan yang terkesan meh atau medioker. Sekalipun akan merestart kembali proses mereka menjadi 0 ketika sudah terjun dalam fase jobseeking.
Fase jobseeking atau yang bisa diterjemahkan secara literal sebagai fase pencarian kerja. Sebuah fase dimana seseorang yang telah menamatkan pendidikannya diberikan ekspektasi untuk bisa “menguangkan” hasil dari ilmu serta tenaga yang telah dicurahkan selama studi mereka. Ketika mereka dapat melewati fase tersebut, pastinya akan ada kebanggan tersendiri baik dari lingkup keluarga maupun orang-orang terdekat. Tentunya, apabila semua berjalan lancar pastinya hal itu akan terasa seperti sebuah kisah indah.
Namun, kenyataan tidak selalu sesuai dengan apa yang kita harapkan. Fase jobseeking nyatanya malah menjadi sebuah fase yang kerapkali menjadi momok bagi para fresh graduate. Berikut adalah 5 alasan mengapa fase jobseeking adalah fase terberat dalam hidup kita.
1. Secara resmi menjadi pengangguran setelah lulus, penuh akan kegabutan
Ketika kita sudah resmi lulus dari institusi pendidikan yang kita enyam setelah sekian tahun. Maka, kewajiban kitapun mulai bergeser dari yang semula hanya dituntut untuk belajar sekarang dituntut untuk berkontribusi kepada masyarakat (baik tenaga maupun ilmu) dengan imbalan berupa upah.
Kita tidak lagi berkutat dengan kesibukan berupa mengerjakan pr, tugas kelompok, presentasi dsb. Fokus kita beralih menjadi bagaimana kita mengasah skill yang kita punya dalam sebuah biodata diri yang sering disebut dengan CV, yang nantinya bisa membuat rekruiter terkesima dan tertarik untuk memperkerjakan kalian.
Fase inilah yang seringkali membuat hampa banyak orang karena masa menganggur. Fase yang seringkali diartikan sebagai masa dimana kalian tidak mempunya target per hari. Maupun kegiatan atau aktivitas sehari-hari yang bisa diberikan imbalan berupa upah.
1 bulan mungkin kalian akan merasakan ketenangan yang luar biasa bisa terbebas dari deadline tugas dan segala jenis tetek bengek perkuliahan atau sekolah. Tetapi, setelah 2,3,4 bulan berlalu kalian akan merasakan kerinduan akan kesibukan-kesibukan kalian semasa kalian berkuliah maupun sekolah dulu.
2. Tuntutan keluarga dan masyarakat agar menjadi manusia berguna
Menjadi pengangguran seringkali memiliki konotasi negatif di masyarakat kita. Seringnya, seorang pengangguran dikaitkan dengan berbagai hal yang berbau negatif seperti pemalas, beban keluarga, sampah masyarakat, dll.
Sungguh naas apabila seorang pengangguran yang tengah berjuang keras dalam mencari pekerjaan pertamanya harus berhadapan dengan stigma-stigma negatif yang bahkan bisa jadi bukan merupakan kesalahannya.
Mungkin bagi sebagian orang yang memiliki lingkungan suportif dan paham akan sengitnya dunia kerja bisa memaklumi akan fenomena tersebut. Akan tetapi, kita seseorang tersebut tumbuh dan besar di lingkungan yang segalanya dituntut serba instan? Dimana orang tua mengharapkan anak yang sudah dikuliahkan, disekolahkan mahal-mahal agar bisa menghasilkan uang, namun sampai berbulan-bulan mereka beranggapan bahwa anaknya hanya bisa diam menatap layar laptop di kamar saja? Oh boy, I couldn’t even imagined it.
3. Merasa tertinggal dari teman-teman yang lain
Penulis sedikit kontra akan frasa apabila hidup adalah sebuah ajang balapan. Hal ini tak terlepas dari fakta bahwa sebenarnya tiap-tiap orang memiliki start yang berbeda-beda. Bisa jadi ada orang yang memang baru mulai mencari kerja ketika dirinya sudah menyelesaikan studinya.
Adapula orang yang sudah sedari kuliah maupun sekolah mengumpulkan berbagai pengalaman kerja dengan mengorbankan waktu belajarnya. Sehingga nanti ketika sudah lulus tidak perlu susah payah melewati fase jobseeking. Bahkan, yang paling mencengangkan adalah ketika kita bertemu dengan orang-orang yang memiliki kode referal. Alias orang dalam untuk memuluskan jalan dia dalam mengalahkan calon-calon pelamar yang lainnnya hahaha.
Sedikit contoh di atas sudah memberikan gambaran bahwasanya start orang memang terkadang berbeda-beda, tergantung dari apa yang telah mereka korbankan sebelumnya. Namun, seringnya di fase menganggur dan jobseeking seperti ini seringkali kita hanya bisa melihat ke teras tetangga yang jauh lebih hijau, alias melihat progress teman-teman kita yang lain yang sudah melenggang jauh sementara kita masih stagnan disini-sini saja meratapi nasib.
4. Merasa cemas akan masa depan yang suram tak tentu arah
Akumulasi dari semua hal di atas akan membuahkan sebuah perasaan-perasaan negatif yang seringkali menyakiti kondisi mental kita. Merasa tertinggal, tuntutan dari orang tua serta tetangga kanan kiri, belum pula dengan gengsi gelar yang sudah diperoleh. Namun, masih tidak kunjung mendapatkan kesibukan di luar menatap layar situs lowongan kerja yang sudah tersebar kemana-mana.
Perasaan-perasaan akan merasa diri sendiri tidak mempunyai value, skillset yang mumpuni serta masa depan yang tidak terjamin bagai jarum berduri yang menusuk-nusuk bagi para jobseeker dalam melewati hari demi hari mendapat pinangan dari rekruiter.
5. Sekalipun sudah mendapatkan tawaran pekerjaan, tetapi sayang gaji yang ditawarkan tidak sesuai yang diharapkan
Imbas dari bonus demografi salah satunya ialah keleluasaan dari rekruiter dalam mencari calon pelamar yang begitu melimpah ruah. Rekruiter tak perlu pusing-pusing apabila satu atau dua pekerjanya resign ataupun dipecat karena mereka yakin sudah banyak calon pelamar disana yang mengantri untuk mengisi posisi tersebut.
Disinilah leverage dari pihak rekruiter, yang mana mereka merasa jauh lebih superior dalam memberikan posisi pekerjaan kepada calon pelamar. Calon pelamar yang terkadang tidak satu suara dengan rerkruiter mengenai pembagian gaji yang disodorkan, seringnya akan mendapatkan jawaban template seperti berikut : “Ya sudah kalau kamu tidak mau, masih banyak orang di luar sana yang mau bekerja disini.”
Editor : Assalimi
Gambar : Pexels
Comments