Pernahkah Anda menemui bangkai tikus di jalan? Saya yakin, hampir semua masyarakat Indonesia pernah. Kenapa yakin? Karena meski masa berganti dari zaman Eyang Suharto hingga Pakde Jokowi, pemandangan bangkai tikus di jalan akan selalu ada. Bisa jadi akan jadi cerita dari masa ke masa, siapa pun pemimpin negerinya.
Entah sejak kapan kebiasaan membuang bangkai tikus ke jalan ini bermula? Sedari saya kecil hingga dewasa, pemandangan ini di jalanan selalu saya temui. Mungkin kalau bagi mereka yang bermobil tidak akan bermasalah karena tidak terlalu terlihat saat di dalam mobil.
Namun bagi yang biasa bermotor dalam aktivitas kesehariannya, keberadaan bangkai tikus di jalan sungguh membuat tak nyaman. Baik tak nyaman dari sisi keindahan, keamanan, kebersihan, kesehatan bahkan rasa prikebinatangan saya pun terusik.
Dari sisi keindahan, tentu saja penampakan bangkai tikus di jalan akan sangat merusak pemandangan. Bagaimana tidak merusak, saat pagi-pagi kita sedang jalan santai dan menikmati view yang indah dan ambiance yang sempurna, tetiba tergeletaklah hewan pengerat yang sudah mati di jalanan yang akan dilalui. Rasa-rasanya ambyar sudah atmosfir pagi yang indah.
Bagaimana tidak ambyar, gaess. Bayangkan saja, daging dan darah merah sang tikus berceceran di jalanan saat dilindas tanpa ampun roda-roda mobil yang lewat. Jalanan yang tadinya bersih selepas diguyur hujan semalam, mendadak jadi ternoda oleh isi perut bangkai tikus.
Dari sisi keamanan, bangkai tikus di jalanan apalagi jenis tikus got yang berukuran sebesar kucing ini akan membuat kaget siapa pun yang melihatnya di jalanan meski sudah jadi bangkai sekalipun. Hal ini pernah saya alami sendiri saat menunggangi motor menjelang tengah malam usai sebuah pengajian. Saya tak menyadari bangkai tikus got sebesar kucing tergeletak di jalanan yang akan saya lalui.
Sontak, saya mengelak dengan bermanuver ke tepi jalan. Saat saya berhenti sejenak dan mengamatinya, ternyata bangkai tikus, saya pikir kucing. Jingan betul orang yang melemparkannya ke jalan!
Meski sudah jadi bangkai, tak urung bangkai tikus di jalanan bikin jantungan. Ukurannya yang serupa kucing bikin siwer di malam hari, saat bulan beranjak malu-malu dari persembunyiannya di balik awan. Laah ‘kan agak repot jika yang ditabrak kucing. Perlakuannya harus spesial. Bahkan pernah tetangga saya yang menabrak kucing di jalan hingga mati, merelakan baju kerjanya sebagai kain kafan si kucing saat dikuburkan dengan tangannya sendiri.
Dari sisi kebersihan, sungguh sangat mencederai hakekat kebersihan itu sendiri dengan kebiasaan membuang bangkai tikus ke jalanan, Mylov. Padahal kita tahu, kebersihan bagian dari iman. Hingga barang siapa yang menyingkirkan duri di jalan saja masuk dalam cabang iman yang ke-70 dan jenis sedekah tenaga kalau dalam agama. Laah, ini malah nambahin bangkai tikus. Alih-alih menyingkirkan duri di jalan, malah nambah bangkai tikus. Praktis sih, bagi dia, tapi merugikan lingkungan, ngab! Ditarok dimana otaknya ‘tuh orang, ya?
Dari sisi kesehatan, tentu saja sangat mengganggu kesehatan dan berpotensi menularkan penyakit-penyakit disebabkan tikus, sebut saja salah satunya adalah Leptospirosis yang disebabkan dari air kencing tikus. Dengan adanya bangkai tikus berserak di jalanan, potensi penyakit disebabkan tikus lainnya akan sangat potensial muncul seperti Pes atau bahkan HFRS.
Saat bangkai dan isi perutnya berantakan di jalan, otomatis baunya pun akan membuat penciuman kita terganggu. Belum lagi jika ada bibit penyakitnya, maka udara akan menghantarkannya ke banyak orang di sekitar.
Dari sisi prikebinatangan, sungguh sangat jauh sekali, bro sis. Tak ada tanggung jawab dari pelaku pembunuhan tikus tersebut. Meski tikus masuk kategori yang boleh dibunuh dalam agama, namun setidaknya setelah dibunuh tetap diperlakukan sebagaimana layaknya mahluk hidup, yakni dikubur misalnya.
Namun memang sudah nasibnya si tikus, meski matinya dengan cara diracun atau dilem misalnya, tapi seolah-olah dikesankan ditabrak mobil atau motor di jalanan. Lempar batu sembunyi tangan namanya kalau begitu.
Sebenarnya jika mau capek sedikit, bangkai tikus tadi dapat dikubur di tanah, hingga tak merugikan banyak orang. Selanjutnya biarkan urusan cacing tanah dan mikro organisme lainnya yang bekerja mengurai sang tikus. Pastilah si cacing dan keluarganya sangat senang mendapatkan tikus gemuk seukuran kucing tersebut. Atau bisa juga dibakar, tapi dengan catatan sudah mati atau jadi bangkai, ya. Tidak diperkenankan kita membakar hidup-hidup binatang, menyiksa itu namanya.
Cara lainnya adalah dengan dibungkus terlebih dahulu bangkai tadi. Tak harus plastik, berkas kardus juga bisa, sehingga tujuan tidak menimbulkan bau sekaligus menjaga alam dari unsur plastik dapat tercapai. Apalagi yang tinggal di perkotaan, kan sudah sulit menemukan tanah untuk mengubur tikus.
O, ya, jangan sampai pula bangkai tikus dibuang ke sungai. Masih banyak saudara-saudara kita yang masih menggantungkan sungai sebagai sarana mencuci pakaian bahkan mandi.
Meski diperlakukan tak berprikebinatangan, dibunuh tanpa dikubur, tikus tetap banyak saja jumlahnya dan tetap konsisten melakukan job desk-nya sebagai tikus. Tak heran, karena memang kemampuan reproduksi tikus yang tinggi, membuatnya mampu berkembang biak dengan sangat cepat.
Tak kurang satu ekor tikus dapat beranak pinak hingga lima kali setahun, rerata beranak hinga sampai 10 anak tikus. Wuiih, bayangkan. Itu baru satu induk. Dan si anak tikus pun sudah siap kawin dalam usia tiga bulan.
Jadi, wahai bro sis, menurut saya, tindakan mereka yang membuang sembarangan bangkai tikus di jalanan sungguh terlalu. Apa sih maksudnya? Shock terapy para tikus-tikus? Nggak ngaruh! Buktinya, para tikus tadi tetap eksis dalam dunia pertikusannya. Jumlahnya tak berkurang. Kelakuannya tetap tak berubah.
Yang harus berubah itu adalah manusianya! Supaya hidup bersih! Hingga para tikus nggak akan mampir ke rumah! Kalau masih juga jorok, ya jangan kesal dengan si tikus, hingga membuangnya ke jalan.
Editor : Hiz
Comments