“Orang bilang, kesedihan akan berkurang apabila kita tak bersedih sendirian… Kita tertarik pada orang malang, seperti halnya kita tertarik pada orang yang sebanding dengan diri kita. Dua orang yang sama-sama bersedih akan saling menghibur.” Zadig, Voltaire
Tulisan Voltaire itu terus terngiang-ngiang di kepala saya. Padahal sudah tiga tahun yang lalu saya membaca novel tersebut. Untaian kalimat itu terus menghantui saya bukan justru saat saya duduk termenung dalam kamar sendirian. Bayangan kalimat itu tiba saat saya pulang dari perantauan dan menetap di desa, bertemu orang-orang di desa, dan bercengkrama dengan mereka.
Jadi begini ceritanya.
Sebagai orang desa, mau tak mau saya harus turut serta dalam kegiatan-kegiatan desa yang ada, srawung, dan yang pasti kumpul-kumpul dengan teman lama. Tentu obrolan yang pasti disajikan untuk menghangatkan suasana ialah saling berbagi pengalaman, terutama saya, yang bertahun-tahun merantau di Yogyakarta dan pada akhirnya kembali ke tanah masa kecil saya.
Setelah saya dan teman-teman saling berbagi pengalaman, obrolan pun makin gayeng sebab ada beberapa kawan lama saya sudah resmi menjadi kepala keluarga alias sudah menjadi ayah. Sebut saja Jono dan Anu, keduanya merupakan kawan lama saya yang sudah berkeluarga, beranak-pinak, dan bisa dikatakan sudah banyak mencicipi asam garam kehidupan.
Bagi saya, ini sebuah hal yang tak lazim, pasalnya mereka dulu tak pernah akur. Sejak kecil mereka doyan berantem, bahkan hingga remaja pun mereka pernah terlibat perkelahian, geger geden, yang menyangkut organisasi mereka masing-masing. Namun kenapa saat mereka sudah berkeluarga dan sama-sama punya anak malah justru akur dan sering nongkrong bersama di sela-sela pekerjaan?
Setelah lama bercerita, ternyata yang menyatukan mereka adalah kecemasan yang sama. Keadaan tertekan yang sama dan rasa frustasi yang sama—soal keluarga. Tak berhenti di Jono dan Anu, ternyata mereka berdua juga dekat dengan bapak-bapak dan ibu-ibu di lingkungan sekitar mereka juga karena perasaan yang sama tersebut. Padahal teman saya yang bernama Jono tersebut dulunya seorang anak yang kerap jadi bahan gosip tetangga, ya, karena dia sering bikin onar—kira-kira kalau di Jogja dia layaknya gento yang kerap meneror orang dengan pertanyaan “KTP endi, Su?”
Baiklah, kembali lagi ke cerita singkat obrolan saya dengan teman lama tersebut. Setelah beberapa minggu di kampung halaman dan berinteraksi dengan orang-orang, termasuk dengan Jono dan Anu, saat itulah kalimat-kalimat Voltaire itu terus datang dan menghantui saya.
Desa, yang bagi orang kota selalu diromantisir bahwa kehidupannya bersahaja, sak madya, mangan ora mangan kumpul, dan menenangkan, nyatanya tak seindah itu. Silakan coba membedah isi kepala orang di desa satu per satu, saya berani menjamin bahwa di setiap isi kepalanya ada kelelahan yang menumpuk. Ada kecemasan yang membisu. Ada kemarahan yang terkubur.
Yang Penting Rukun
Kalimat itu salah satu kalimat yang paling sering saya dengar saat ada konflik perorangan di desa-desa. Termasuk saat saya KKN dulu, saya juga kerap mendengar kalimat itu saat terdapat konflik yang seakan-akan tak boleh diselesaikan dengan didudukkan perkaranya.
Di desa saya, pernah suatu waktu si Anu terlibat masalah dengan mertuanya. Singkatnya, si Anu ini dijelek-jelekkan oleh mertuanya pada tetangga-tetangga. Alih-alih menyelesaikan atau membicarakan secara kekeluargaan dengan sang menantu, mertua si Anu justru berkata bahwa hal itu tak apa-apa, yang penting terlihat rukun di hadapan orang banyak. Ironi. Sebuah kedamaian yang semu.
Kabar itu pun mau tak mau terdengar di telinga si Anu. Sebelum Anu tersulut emosi, tetangga yang mengatakan itu juga mengatakan padanya agar dibiarkan saja, namanya juga orang tua. Yang paling penting tetap rukun.
Hal itu tak menenangkan si Anu, akhirnya ia pun cerita pada Jono dan saya sambil ngopi. Ternyata Jono juga beberapa kali menghadapi hal yang sama. Apa yang disarankan Jono? Ya, sudah bisa ditebak, bahwa Jono juga menyarankan agar tetap diam saja dan membiarkannya sebagai angin lalu, yang penting rukun.
Akhirnya saya pun turut bicara. Saya meminta mereka agar jujur, sebenarnya apakah kata-kata “yang penting rukun” itu menyelesaikan masalah, atau justru menambah masalah? Mereka serempak mengatakan bahwa sebenarnya kalimat itu memang menambah masalah, namun bukan masalah sosial, melainkan masalah internal. Gejolak batin dan rasa tertekan yang terampuni.
Satu kalimat yang selalu saya ingat dari Jono ini yaitu, “sing penting keluargaku tetap nyawiji masio mentalku remuk.” (yang penting keluargaku tetap bersatu meskipun mentalku hancur).
Mereka Sadar Mental itu Penting, Tapi Ada yang Lebih Penting
Dari apa yang dirasakan Jono, Anu, dan warga desa yang lain, sebenarnya mereka mengerti bahwa ada mental yang penting untuk dirawat. Ada kewarasan yang harus mati-matian untuk dijaga. Kesadaran tersebut merupakan keniscayaan yang didapatkan karena era digital saat ini. Hampir semua warga desa saya sudah mampu mengakses gawai dan bermedia sosial, khususnya yang masih berusia di bawah 50 tahun.
Namun, bagi mereka, memeriksakan keadaan mental saat sedang tertekan, depresi, atau cemas dirasa sangat mahal dan membuang-buang waktu. Lebih baik bekerja atau berangkat ke sawah, lalu malamnya ngopi-ngopi.
Saat ngopi itulah pertukaran kecemasan dilaksanakan. Sepengamatan saya, meski ada beberapa yang masih ada yang mengadu nasib atau kaum mendang-mending, namun hal itu bukan penghalang, sebab setelah itu mereka saling bercerita, saling menguatkan dan saling menghibur. Tapi apakah problem mental mereka selesai? Tentu tidak. Bahkan beberapa kali saya dapat kabar ada yang melakukan percobaan bunuh diri.
Jika dengan ngopi bapak-bapak di desa saling menukar cemas, maka para ibu-ibu saling bertukar kecemasan dan kelelahan dengan ngerumpi. Di sela-sela bertukar gosip, ibu-ibu biasanya juga bertukar keluh kesah saat ngerumpi belanja sayur atau saat rewang di dapur pemilik hajat.
Pernah saya menanyakan ke ibu saya, mengapa kok mengeluhkan suatu hal tentang keluarga yang sebenarnya ibu sudah tahu cara menyelesaikannya? Ibu saya menjawab dengan enteng menjawab bahwa hal itu dilakukan agar hidup jadi enteng. Mungkin hal itu dilakukan ibu guna mendapat afirmasi positif dari para ibu-ibu yang mungkin juga mengalami hal yang sama.
Setelah berbulan-bulan saya tinggal di desa, saya pun menyadari bahwa kesedihan, penderitaan, dan perasaan tertekan seseorang yang disampaikan di hadapan orang yang mengalami hal serupa akan menjadikan perasaan tersebut menjadi lebih ringan.
Boro-boro ke psikolog, selain biaya yang tak mumpuni, orang di desa saya lebih mementingkan srawung dan saling cerita guna mendapatkan kewarasan, meskipun semu sekalipun.
Sudahkah kesetaraan kesehatan mental merata? Agaknya itu kecemasan saya saat menuliskan ini.
Editor: Yud
Gambar: Google
Comments