Sebagai orang yang baru pernah ke Jogja, bolehlah kiranya saya memberi testimoni tentang daerah istimewa ini.

Beberapa tahun belakangan, beranda media sosial sangat rapi memotret Jogja sebagai kota yang cukup romantis. Keindahan setiap sudut kotanya terbukti telah melahirkan sastrawan sekaligus penyair terkenal.

Sebut saja nama besar seperti Emha Ainun Nadjib, Joko Pinurbo, Agus Noor dan Gunawan Maryanto. Mereka berproses dan besar di tanah Jogja, kota yang konon terbuat dari rindu, pulang dan angkringan.

Romantisme Jogja

Saya kemudian berandai-andai dan mulai memperkirakan berapa banyak jiwa yang telah bersatu di Tugu Jogja, berapa jumlah syair dan puisi yang ditulis sepulang dari berkeliling Malioboro, serta berapa banyak caption menye-menye yang menyertai postingan Instagram di Titik Nol Kilometer. Rasanya tak akan habis romantisme Jogja di setiap sudutnya.

Lantas, karena alasan itulah sebagai penghuni Jakarta, saya merasa ingin segera mengunjungi Jogja lantaran telah dibuat muak oleh hiruk pikuk ibukota dengan segala carut marut tata kotanya.

Lha kok ndilalah saya punya pacar orang Jogja. Kalo kata pepatah, “pucuk dicinta, ulam tiba.”

Ya, sebetulnya nggak ndilalah banget, sebelumnya saya telah mengerahkan segala kemampuan yang saya miliki untuk menjalani masa PDKT ke gebetan saya yang sekarang menjadi pacar.

Sebab alasan rindu bercampur penasaran, kemudian saya memutuskan ke Jogja untuk kali pertama.

Ekspetasi Romantisme Jogja Tak Seindah Kenyataannya

Sesampainya di sana, Yogyakarta ternyata tak seindah ekspektasi saya. Saya datang disambut oleh kumuhnya terminal Giwangan serta susahnya mencari pekerjaan, eh anu, maksud saya mencari penginapan.

Sependek pengetahuan saya, mencari kerja di Jogja tidak cukup susah, hanya saja UMR-nya yang rendah cukup menyusahkan para pekerja di sana.

Namun, tidak patut rasanya memperjelas secara rinci UMR Jogja yang sudah masyhur sangat rendah itu. Sudah banyak artikel yang misuh-misuh perihal masalah yang satu ini.

Dua hari saya habiskan berkeliling Jogja mengendarai sepeda motor. Tentu saja dipandu oleh tour guide yang teramat istimewa.

Bermodal Google Maps yang sesekali salah baca, kami sampai ke beberapa titik tempat wisata. Dari mulai Malioboro, Alun-alun Kidul, Titik Nol Kilometer, dan Taman Pintar.

Kota Klitih

Selain romantisme Jogja, terpotret rapi pula dalam media sosial sisi lain dari kota ini . Sudah kesekian kalinya Jogja trending twitter lantaran ketidakseriusan yang mulia Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam memberantas aktivitas klithih yang kerap meresahkan masyarakat ketika malam tiba.

Tidak berhenti sampai disitu, ketidakmampuan pemerintah mengurus keamanan kota ini dibuktikan dengan pecahnya tawuran di kawasan Babarsari, berulang-ulang kali.

Kawasan sekitar SCBD Jogja (Seturan, Concat, Babarsari dan Demangan) selain menjadi kawasan bisnis dan hiburan malam, daerah ini juga seperti memiliki agenda tahunan bernama tawuran.

Kalo nggak ada tawuran, kok yo nggak Barbarsari banget. Lagi-lagi ini karena ketidakseriusan pemerintah menyelesaikan permasalahan ini secara tuntas. Lebih jauh dari konflik kesukuan, daerah ini memang lahan ‘emas’ yang memang layak diperebutkan.

Saya berkesempatan mendatangi kawasan Babarsari, bukan untuk meliput tawuran yang terjadi, melainkan ikut mengantri Mie Gacoan bersama mbak pacar.

Kawasan ini memang jantungnya Jogja, di sisi kanan kiri banyak terdapat restoran, kafe, karaoke, hotel sampai tempat hiburan malam. Seperti menjadi sebuah hukum, kawasan pontensial selalu diiringi dengan perebutan lahan cari makan.

Sekembalinya ke Jakarta, pikiran saya jatuh pada kesimpulan tentang Jogja bahwa, jangan sekali-sekali mengelilingi Jogja seorang diri, salah-salah kamu bisa kena sasaran klithih. Tapi kalau sama ayang, lain cerita lagi.

Konsepnya, kalau nggak ada mbak pacar, Jogja cuma tempat romantis yang sebetulnya nggak romantis-romantis amat. Lebih jauh dari itu, banyak kesenjangan yang terjadi di daerah istimewa ini. Teruntuk mbak pacar, asal sama-sama, Jogja selalu istimewa. Hehe

Editor: Lail

Gambar: Google