Pekan lalu, saya diajak kakak saya untuk mengunjungi Jogja. Tentu saja bukan untuk balik ke kosan, melainkan liburan. Perjalanan memang selalu meninggalkan kisah, pembelajaran, serta kebaruan dalam memandang kehidupan. Liburan kemarin setidaknya membuat saya menyadari bahwa integritas saya sebagai anak kosan daerah Timoho perlu dipertanyakan. Ya gimana, saya ini ngekos loh. Masak mau ke Taman Sari aja harus pake GPS, ndlogok tenan.

Tidak hanya itu, ketika ditanya tentang makanan enak yang ada di Jogja, saya cuma bisa menyebutkan Olive Fried Chicken. Iya, ayam ditepungin yang harganya tujuh ribu itu loh, yang gratis es teh kalau  makan di tempat. Selain memang susah ngapalin jalan, saya baru sadar kalau kriteria makanan enak bagi saya adalah murah. Alhasil, kalau ditanya makanan enak, saya susah memberi rekomendasi, tapi kalau pertanyaannya adalah makanan murah, sambil kayang juga bisa saya sebutkan.

Saya bahkan hafal di luar kepala tempat makan mana aja yang tidak harus bayar parkir, atau outlet tertentu yang ketika magrib, tidak ada tukang parkirnya. Bagaimana pun juga, sebagaimana anak kosan lainnya, menjadi anak kosan di Jogja tak selalu menyenangkan. Anak kosan Jogja selalu dianggap bahagia karena bisa jalan-jalan tiap hari di Malioboro.

Hal ini membuat kami menjadi mangsa empuk kaum mendang-mending. Alhasil, ketika mau sambat betapa brengseknya hidup di dunia ini, kami langsung dihantam dengan kalimat, “ah masih mending kalau susah bisa jalan-jalan di Malioboro.” Padahal, jika sudah tinggal di Jogja, Malioboro tak akan punya daya magis lagi. Bahkan jalan tersebut cenderung tidak dilewati karena terlalu padat.

Tidak hanya itu, konsekuensi Jogja sebagai kota wisata memang mendesak anak kosan daerah Jogja agar hafal rute perjalanan menuju ke tempat wisata, sejarah tentang Jogja, sekaligus dapat menyebutkan rekomendasi wisata. Dan ketika kami gagal menjawab, kalimat “ah masak tinggal di Jogja nggak tahu” akan langsung meremukkan segala visi misi anak kosan yang memilih hidup hemat untuk bertahan hidup.

Padahal kalau ditelisik, ada perbedaan yang mendasar antara wisatawan dan anak kosan. Jika wisatawan bertujuan untuk wisata, anak kosan tidak demikian, tujuan ngekos ya bertahan hidup. Karena itu kami tak bisa tiap hari jalan-jalan sambil mempelajari sejarah dan latar belakang tiap wisata Jogja. Ha yo tulung.

Jogja memang sering sekali dikunjungi. Ketika tinggal di sini, saya sudah menerima 5 kunjungan lebih dari teman saya. Ini bukan berarti saya tak suka dikunjungi. Saya malah senang bisa ngobrol sama teman lama. Hanya saja, ekspektasi yang timbul selalu berlebihan. Mereka rata-rata datang ke Jogja dengan rute yang masih diawang-awang. Seakan-akan ke Jogja dulu, nanti rute tinggal nanya temen. Nah, di sinilah tanggung jawab tersebut harus kami emban.

Kami tak mungkin membiarkan seseorang yang jauh-jauh ke Jogja hanya untuk pindah tempat tidur saja. karena itu kami punya beban moral untuk membuat paket wisata yang cocok bagi segala keterbatasan waktu yang mereka punya. Kami juga harus memikirkan kondisi kantong mereka, kira-kira wisata mana yang pas, dan bakal meninggalkan kesan agar mereka balik lagi ke Jogja. Benar-benar tanggung jawab yang berat bagi anak kosan yang menjadi member tetap kafe Basa-Basi.

Lirik lagu “selalu ada sesuatu di Jogja” menambah beban ekspektasi kami untuk memberikan penyegaran timeline bagi galeri foto mereka. Beban ini setara dengan tugas biro perjalanan profesional. Benar-benar berat sekali. Terlepas dari romantisasi tentang Jogja, kota ini memang menyenangkan untuk dikunjungi. Tapi kalau ditinggali beda lagi. Percayalah, bagi anak kos, hal terpenting ketika tinggal di kota orang adalah bertahan hidup. Karena itu, kalau kami tiap hari jalan-jalan, meski berkedok self-reward, yo sisok ora sido mangan, Buos.